Pemerintah akhirnya merevisi PP gambut (PP No.71 tahun 2014) yang kontroversial. Namun, PP baru ternyata tidak menghapus atau merevisi klausul yang dinilai ‘tidak jelas’ dan bisa mematikan bisnis Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan kelapa sawit. Gambut dinilai rusak jika ketinggian muka air tanah dengan permukaan gambut lebih dari 0,4 meter. Pemerintah abai kemajuan iptek?
Keputusan pemerintah mengubah Peraturan Pemerintah (PP) No.71 tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (PP gambut) menjadi PP No. 57 tahun 2016 disambut ‘dingin’ kalangan pengusaha. Padahal, Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Karliansyah menyebut PP 57/2016 sudah lebih lengkap dan tegas. “Alhamdulillah, PP-nya baru saja diteken oleh Bapak Presiden,” kata Karliansyah, Jumat (2/12/2016).
Namun, terkait dengan kriteria kerusakan gambut yang dikritik banyak pihak, yakni batas muka air tanah dengan permukaan gambut 0,4 meter, Karli mengaku itu masih dipertahankan. Hanya saja, diatur penataannya sehingga lebih aplikatif. “Ada penambahan titik pemantauan. Maksudnya 0,4 meter itu diukur di poin mana. Nanti akan disepakati titik pantaunya. Titik ukurnya,” kata dia.
Penegasan ini yang memupus harapan pengusaha yang selama ini memanfaatkan lahan gambut untuk budidaya perkebunan maupun hutan tanaman. Kepala kompartemen riset lingkungan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Bandung Sahari menegaskan, penetapan batas 0,4 meter muka air sebagai indikator kerusakan gambut sangat tidak tepat. Selain tidak aplikatif, batasan itu juga tidak jelas dasar penetapannya.
Apalagi, indikator rusak itu berbeda dengan fakta di lapangan, yakni sawit masih bisa tumbuh dengan produktivitas yang sangat baik. “Jadi, dinyatakan rusak dari sisi apa? Kimia? Biologi? Fisika? Kenyataannya lahan itu bisa dimanfaatkan. Itu berarti kan tidak rusak,” katanya.
Ketua Himpunan Gambut Indonesia, Supiandi Sabiham juga mengritik dan menyebut batasan pemerintah itu sulit diterapkan. Bahkan, guru besar IPB ini menyebut pembatasan muka air gambut 0,4 meter tidak berkorelasi dengan upaya penurunan emisi karbon. “Emisi karbon pada lahan gambut dengan muka air pada rentang 0,4-0,7 meter ternyata tidak memiliki perbedaan secara nyata,” katanya.
Pakar ilmu tanah IPB, Basuki Sumawinata malah menyebut revisi PP gambut harusnya mengakomodir kemajuan ilmu dan teknologi. Jika tujuannya untuk menjaga kelembaban gambut, maka penerapan teknologi tata air sudah sangat tepat karena mampu menjaga gambut tetap basah. Jadi? AI