UU kehutanan yang telah berusia lebih dari 20 tahun dipandang banyak kalangan perlu disempurnakan kembali agar tetap sesuai kebutuhan perkembangan zaman. Apalagi, banyak pasal-pasal dalam UU kehutanan yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Atas dasar itulah sejumlah rimbawan senior dan Komunitas Rimbawan Nusantara merancang masukan untuk perubahan kedua UU Kehutanan.
“Kita tahu banyak perubahan yang mesti diantisipasi dalam pengelolaan hutan,” kata Ketua Yayasan Sarana Wanajaya Boen M Purnama usai Lokakarya RUU Perubahan Kedua UU No 41/1999 tentang Kehutanan di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta, Rabu (25/2/2020).
Lokakarya yang difasilitasi oleh Yayasan Sarana Jaya itu dibuka oleh Sekjen Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono. Hadir memberi pidato kunci Wakil Ketua Komisi IV DPR Dedi Mulyadi. Anggota Komisi IV DPR yang juga hadir dalam loka karya tersebut adalah Panggah Susanto. Sejumlah rimbawan dengan berbagai latar belakang juga antusias hadir pada lokakarya tersebut.
Boen mengingatkan strategisnya fungsi hutan dalam perspektif nasional maupun global. Hal itu juga menjadi amanat dari Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. “Jadi untuk kemaslahatan orang banyak, kehutanan harusnya tetap ada, kita bangun, kita perbaiki,” katanya.
Dalam pandangan Boen, masukan yang diberikan oleh komunitas rimbawan masih selaras dengan pembahasan RUU Omnibus Law yang kini sedang dilakukan oleh Pemerintah dan DPR. “Terkait substansi pengelolaan hutan, masukan dari komunitas rimbawan tentu sangat penting. Kedua, omnibus law juga bertujuan untuk memperpendek birokrasi dan pengawasan, teknis dan manajemen perizinan,” kata Boen.
Sugiharto