Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Dengan berubahnya nama dari Badan Restorasi Gambut (BRG) menjadi Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) sejak akhir tahun 2020 lalu (24/12/2020), hingar bingar pemberitaan restorasi gambut tenggelam oleh riuhnya berita tentang rehabilitasi mangrove dalam sepak terjang kegiatan BRGM.
Dalam beberapa kali rapat kerja dengar pendapat antara Komisi IV DPR RI dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang melibatkan BRGM selama tahun 2021 ini, pertanyaan anggota dewan kepada Kepala BRGM hanya berkutat seputar progress kegiatan rehabilitasi mangrove yang dana cukup besar itu, tanpa menyinggung sedikitpun kegiatan restorasi gambut.
Padahal BRG yang dibentuk sejak tahun 2016 mempunyai tugas yang cukup berat yakni salah satunya adalah mengatur dan memfalisitasi restorasi gambut seluas 2 juta hektare hingga tahun 2020 di tujuh provinsi di Indonesia yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Papua.
Sementara BRGM, sebagai lembaga baru masih ditugasi untuk merestorasi gambut rusak tersisa seluas 1,2 juta hektare. Mengapa lahan gambut yang rusak harus direstorasi dan bukan direhabilitasi? Apa saja kegiatan restorasi gambut yang telah dilakukan selama ini? Mengapa mempertahankan hutan alam primer rawa gambut dan merstorasi gambut, penting dan perlu dalam mengendalikan krisis iklim lokal, regional dan global ?
Mengapa Gambut Direstorasi
Ekosistem gambut Indonesia yang mempunyai luas mencapai 13,34 juta hektare menjadi contoh sempurna hutan tropika yang lengkap dalam kondisi klimaks. Dengan vegetasi yang heterogen, tanah gambut berlapis-lapis dan air rawa yang menyatu dengan ekosistem hutan hingga menjadi ekosistem hutan rawa gambut. Dengan ekosistem seperti itu, gambut menjadi penyerap dan penyimpan emisi karbon sangat besar. Secara alami, hidrologi gambut memiliki mekanisme perlindungan diri untuk mencegah kebakaran besar.
Pola kebakaran masif dan meluas baru terjadi sejak tahun 1980-an. Dalam kebakaran gambut di Indonesia 1997-1998, setelah dikeringkannya lahan gambut untuk Proyek Lahan Gambut Sejuta Hektar (PLG) di Kalimantan Tengah, jumlah karbon yang dilepas sebanyak 2,5 miliar ton karbon setara CO2. Sedangkan kebakaran 2002-2003 ekosistem gambut melepaskan 200 juta hingga 1 miliar ton karbon ke atmosfer. Sejak itu, kebakaran hebat berulang terjadi di Kalimantan. Menurut laporan Palangkaraya Ecological & Human Right Studies (PROGRESS), terdapat 17.676 titik api di areal konsesi perusahaan di Kalteng pada puncak kebakaran lahan September 2015. Adapun indeks standar polusi udara pada 19-22 September 2015 di Kalteng mencapai 3.169mg/m2, jauh diatas ambang batas normal aman.
Menurut data Badan Restorasi Gambut (sekarang Badan Restorasi Gambut dan Mangrove) tahun 2020, total luas gambut di Indonesia mencapai 13,34 juta hektare, dengan lahan gambut rusak 2,67 juta hektare, yang terbagi dalam beberapa bagian. Kawasan budidaya berizin baik kehutanan maupun perkebunan seluas 1.784.353 hektare, kawasan budidaya tidak berizin 400.458 hektare, dan kawasan lindung 491.791 hektare, lahan non konsesi 892.248 hektare. Alih fungsi hutan gambut untuk membangun Proyek Lahan Gambut (PLG) sejuta hektar di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, merupakan contoh nyata kerusakan ekosistem hutan gambut seluas satu juta hektare. Pembukaan hutan gambut untuk PLG dengan sistem tebang habis membuat lingkungan rusak parah. Fungsi “spon” ekosistem hutan gambut yang mampu menyimpan air pada musim hujan, sehingga gambut tetap basah di musim kemarau.
Pemulihan gambut dilakukan dengan empat cara: rehabilitasi, suksesi alami, restorasi dan cara lain yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Rehabilitasi yang diartikan sebagai revegetasi adalah cara yang paling sulit memulihkan gambut.Rekomendasi IPB pada 1999 menanam gelam (Melaleuca leucadendron).Gagal.Pembibitan anakan maupun biji ternyata sulit. Faktor hidrologi yang ekstrem membuat air melimpah dan menggenang pada musim hujan sehingga vegetasi terendam dan mati.Pada musim kemarau praktis tidak ada air. Semak belukar yang tersisa menjadi mudah terbakar.
Cara yang paling mudah dalam pemulihan gambut adalah dengan suksesi alami karena proses pemulihannya diserahkan kepada alam. Suksesi alami dilakukan terhadap ekosistem gambut berkanal yang telah bersekat dan tidak terdapat gangguan manusia. Namun cara ini membutuhkan waktu yang cukup lama. Untuk membantu mempercepat proses pemulihan gambut, restorasi adalah cara yang paling logis dan masuk akal. Kegiatan restorasi dilakukan untuk menjadikan ekosistem gambut atau bagian-bagiannya berfungsi kembali, melalui pembangunan infrastruktur pembasahan kembali gambut yang meliputi bangunan air, penampungan air, penimbunan kanal dan atau pemompaan air. Bangunan air itu adalah sekat kanal, embung dan bangunan air lainnya. Salah satu indikator keberhasilan restorasi gambut adalah apabila jumlah titik api (hot spot) berkurang dibanding dengan sebelum kegiatan restorasi. Itulah, alasan-alasan kenapa gambut perlu direstorasi.
Kegiatan Restorasi Gambut
Dalam Rencana Strategis (Renstra) BRG (waktu itu) tahun 2016-2020, BRG mempunyai sasaran strategis yaitu terpulihkannya kawasanekosistem gambutyang telah rusak dan terdegradasi disebabkan kebakaran hutan dan lahan seluas 2 juta hektare. Dari sasaran tersebut, obyek yang menjadi fokus sasaran restorasi oleh BRG adalah KHG (kawasan hidrologis gambut).KHG adalah ekosistem gambut yang letaknya di antara 2 (dua) sungai, di antara sungai dan laut dan/atau pada rawa.
Prioritas restorasi gambut meliputi kegiatan 1) restorasi lahan gambut terdampak kebakaran hutan, lahan dan perkebunan tahun 2015 seluas 877,394 hektare; 2) restorasi pada kubah gambut atau gambut dalam yang sudah terlanjur diperuntukkansebagai kawasanbudidaya seluas 2,796,492 hektare; 3) perlindungan kawasan gambut yang belum dibuka dan masih utuh seluas 6,174,493 hektare; dan 4) perbaikan tata kelola air dan peningkatan infrastruktur pengendalian seluas 3,094,520 hektare. Berdasarkan Peraturan Presiden no.1/2016 (pasal 4 ayat (3)), tentang BRG, prioritas perencanaan danpelaksanaan restorasi gambut tersebut dimulai dari Kabupaten Pulang Pisau (luas gambut 519.320 ha, jumlah KHG 4) ProvinsiKalimantanTengah,Kabupaten Musi Banyuasin (luas gambut 291.054 ha, jumlah KHG 7), Kabupaten Ogan Komering Ilir (luas gambut 1.087.938 ha, jumlah KHG 4) Provinsi Sumatera Selatan serta Kabupaten Kepulauan Meranti (luas gambut 363.476 ha, jumlah KHG 6) Provinsi Riau.
Secara umum kinerja dan sasaran program/kegiatan BRG meliputi a) perencanaan, pengendalian dan kerjasama penyelenggaraan restorasi gambut dengan tersusunnya peta KHG di 7 provinsi, tersedianya informasi spasial dan non spasial untuk perencanaan restorasi gambut, tersusunnya penetapan zonasi fungsi lindung dan budidaya; b) pelaksanaankonstruksi
Infrastruktur pembasahan (rewetting) gambut dan penataan ulang pengelolaan areal gambut terbakar dengan terlaksananya restorasi dan perlindungan ekosistem gambut seluas 2 juta hektare, terlaksananya pemeliharaan infrastruktur pembahsan lahan gambut, terselenggaranya budidaya tanaman pada kawasan budidaya gambut dengan tanaman dan sistem yang sesuai untuk keperluan dukungan kesejahteraan masyarakat; c) pelaksanaan sosialisasi dan edukasi serta partisipasi dan dukungan masyarakat dalam restorasi gambut; d) penelitian dan pengembangan teknologi pemetaan, pembasahan dan revegetasi serta upaya pengembangan ekonomi di lahan gambut secara berkelanjutan dengan terbangunannya demplot-demplot restorasi gambut, tersusunnya alternatif budidaya dan jenis komoditas untuk budidaya ramah ekosistem rawa gambut basah, tersusunnya hasil inovasi teknologi dan kebijakan untuk restorasi gambut; e) dukungan manajemen kelembagaan.
Intervensi kegiatan meliputi kegiatan sekat kanal (1 unit sekat kanal membasahi 25 ha), revegetasi, pemeliharaan 1, 2 dan 3, sumur bor, alternatif livelihood dalam rangka penanganan konflik, lanjutan penangan konflik dan perlindungan.
Restorasi Gambut Untuk Pengendalian Krisis Iklim
Peran hutan alam primer rawa gambut di Indonesia, khususnya P. Kalimantan dalam percaturan pengendalian iklim mulai menampakkan sosok yang sesungguhnya. Dalam laporan riset yang diterbitkan jurnal Nature Sustainability pada 18 November 2021 lalu, tim peneliti dari Conservation International, Amerika Serikat telah membuat peta terbaru bagain dunia yang memiliki konsentrasi karbon amat tinggi dan jika terlepas akan memicu bencana iklim. Wilayah gambut di Kalimantan dan Papua termasuk yang memiliki konsentrasi karbon di bumi.
Kelompok peneliti yang dipimpin Monica L. Noon ini menyebutkan untuk menghindari bencana perubahan iklim dibutuhkan dekorbonisasi yang cepat dan pengelolaan ekosistem lebih baik pada skala planet. Karbon yang dilepaskan memalui pembakaran bahan baku fosil akan membutuhkan waktu ribuan tahun untuk beregenerasi di bumi. Monica dan tim menemukan wilayah di bumi yang menyimpan karbon tertinggi dan harus dijaga diantaranya adalah permafrost atau tanah beku di belahan utara termasuk Siberia dan kawasan rawa-rawa sepanjang pantai barat laut Amerika Serikat. Selain itu, Lembah Amazon, Cekungan Kongo, dan sebagain wilayah Kalimantan. Beberapa area itu merupakan kawasan mangrove, yang lain berupa lahan gambut. Untuk Indonesia, selain Kalimantan yang dipetakan menyimpan karbon yang sangat tinggi adalah Papua bagian selatan.Kawasan itu merupakan penyerap karbon alami dan dapat dianggap jadi sumber penyimpan sumber daya yang tidak bisa dipulihkan.Sebab jika karbon tersimpan dilepaskan oleh aktivitas manusia butuh waktu berabad abad bagi daerah itu untuk pulih.
Jika karbon lepas, hal itu tidak dapat dipulihkan dalam jangka waktu tertentu, minimal selama 30 tahun.Padahal emisi global harus mencapai emisi bersih pada 2050. Sejak tahun 2010, pertanian, penebangan kayu dan kebakaran hutan melepaskan emisi karbon setidaknya 4 gigaton (Gt) karbon yang tidak dapat dipulihkan. Sisanya 139 — 443 gigaton (Gt) karbon dunia yang tidak dapat dipulihkan itu menghadapi resiko konversi penggunaan lahan dan perubahan iklim. Jika itu terjadi, bakal akan terjadi bencana iklim. Resiko ini dapat dikurangi melalui perlindungan proaktif dan manajemen adaptif. Dalam pemetaan ini, 23 persen karbon yang tidak dapat dipulihkan berada dalam kawasan lindung dan 33,6 persen dikelola masyarakat adat serta komunitas lokal.
Indonesia bisa menghemat miliaran dolar AS jika bisa menjaga dan memulihkan lahan gambutnya. Selain itu, upaya ini dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dan mencegah 12.000 kematian dini. Hasil kajian para peneliti dari university of Leeds ini diterbitkan dalam jurnal Nature Communications pada Kamis (2/12/2021). Hasil riset ini diperoleh dengan menganalisis data emisi kebakaran dan tutupan lahan berbasis model satelit. Peneliti menemukan bahwa restorasi lahan gambut dapat menghasilakan penghematan ekonomi sebesar 8,4 miliar dolar AS untuk kurun waktu 2004-2015.
Saat ini pemerintah Indonesia berkomitmen merestorasi 2,5 juta hektare lahan gambut yang rusak dengan proyeksi biaya 3,2 -7 miliar dolar AS. Biaya ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan dampak kerugian kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 di Indonesia yang mencapai 28 miliar dolar AS. Studi tersebut menyatakan, jika restorasi telah selesai, area yang rusak karena terbakar pada tahun 2015 akan berkurang sebesar 6%, mengurangi emisi Co2 sebesar 18 persen, dan emisi partikel halus (PM2.5) sebesar 24 persen sehingga bisa mencegah 12.000 kematian dini.
Laura Kiely, peneliti di University of Leeds, mengatakan bahwa terdapat banyak manfaat restorasi gambut dari manfaat lokal berupa berupa berkurangnya kerugian property, manfaat regional untuk kualitas udara dan kesehatan masyarakat, hingga global dari pengurangan emisi CO2. Sebaliknya, kerusakan lahan gambut dapat memicu kebakaran, merusak lahan pertanian serta menggangu transportasi, pariwisata dan perdagangan. Kebakaran juga menghasilkan emisi CO2 yang besar.
Studi ini juga menyoroti pentingnya jumlah luas lahan yang direstorasi dan di mana restorasi terjadi. Disebutkan restorasi harus ditargetkan di area yang telah terbukti paling rentan terhadap kebakaran di masa lau. Lahan gambut di Indonesia menyimpan sekitar 57 gigaston karbon, atau sekitar 55% karbon lahan gambut tropis dunia. Prosentase besar lahan gambut dunia yang di miliki Indonesia ini, jelas ada manfaat diseluruh dunia untuk memulihkan dan menjaga lahan gambut di Indonesia.
Alasan-alasan ilmiah dari riset yang di kemukakan diatas, semakin memperkuat pentingnya upaya pemerintah Indonesia tidak hanya untuk memulihkan dan merestorasi gambut yang rusak tetapi juga meneguhkan akan moratorium permanen hutan primer rawa gambut menjadi mutlak, penting dan diperlukan tidak hanya untuk masyarakat Indonesia tetapi juga kepentingan uamat manusia di bumi ini.***