Oleh: Senior Advisor for Sustainability and Clime Yayasan Kehati Diah Suradiredja
Political Context
- Dengan diterbitkannya The promotion of the Use of Energy from Renewable Energy Directives (RED) II oleh Uni Eropa (UE) pada tanggal 21 Desember Tahun 2018, Pemerintah Indonesia melalui Menteri Perdagangan telah mengirimkan surat kepada EU Trade Commissioner Cecilia Malmstrom tentang kekhawatiran potensi dampak dari RED II terhadap ekspor kelapa sawit Indonesia ke UE. Keprihatinan Indonesia yang disampaikan kepada pihak UE melalui pertemuan regular Committee on Technical Barriers to Trade (TBT) di WTO tidak mendapatkan tanggapan semestinya.
- Pada 15 Februari 2019, Commissioner Malmstrom menyampaikan tanggapan bahwa:
- Komitmen UE dalam pencapaian UN-Agenda 2030 and UN-Sustainable Development Goals (SDGs) termasuk yang terkait dengan kelapa sawit, baik pada tataran domestik maupun global.
- RED II yang dipublikasikan pada tanggal 21 Desember 2018 tidak memerintahkan pelarangan, atau secara khusus menyebutkan satu jenis minyak nabati yang menjadi sasaran khusus RED II;
- Komisi Eropa tetap terbuka untuk melakukan konsultasi guna menanggapi kekhawatiran Indonesia terhadap RED II.
- Pada minggu kedua Bulan Februari 2019, Komisi Eropa mempublikasikan Draft Delegated Regulation yang akan menetapkan kriteria bagi high-risk biofuels dan sertifikasi bagi low-risk biofuels. Negara atau para pihak yang memiliki kepentingan dengan RED II dapat memberikan tanggapannya sampai tanggal 8 Maret 2019. Indonesia juga telah diundang untuk berpartisipasi dalam EU Stakeholder Meeting pada tanggal 5 Maret 2019 untuk mendapatkan masukan mengenai Draft Delegated Act from Renewable Energy Directive II (RED II) yang mengklasifikasi minyak sawit sebagai komoditas beresiko tinggi dan tidak lestari serta berasal dari ILUC (Indirect Land Use Change).
Pemerintah RI melalui perwakilan Kedutaan Besar RI di Brussel mengirimkan perwakilan dan menyampaikan:
- Komitmen Indonesia untuk memajukan sustainable palm oil yang tercermin dalam peraturan yang telah diundangkan Pemerintah RI sebagai komitmen sustainable practices of smallholders;
- Mendorong pembangunan yang balanced approach dalam pemajuan lingkungan hidup, ekonomi, sosial sesuai prinsip SDGs;
- Komitmen Indonesia untuk terus memperkuat dialog dengan EU sebagai proses exchange of information dan best practices selama terdapat keseriusan dari pihak Uni Eropa;
- Meminta Uni Eropa secara serius memperhatikan data terkini yang disampaikan oleh Pemerintah Indonesia dalam penyusunan Delegated Act;
- Menanggapi perlunya menghilangkan elemen “unused land”;
- Meminta klarifikasi atas review Komisi Eropa pada Juli 2021 yaitu apakah review atas data atau revie atas target Uni Eropa untuk renewable energy. Komisi Eropa menyampaikan bahwa review pada Juli 2021 adalah review atas data;
Beberapa poin yang ditanyakan kepada Komisi EU terkait Delegated Act adalah (i) skenario pasca adopsi Delegated Act Komisi Eropa pada 14 Maret 2019; (ii) sertifikasi apa yang digunakan untuk penerapan Delegated Act; (iii) formula kriteria untuk menentukan high-ILUC.
- Pada tanggal 14 Maret 2019, Delegated Act RED II diadopsi oleh Komisi UE lalu disubmit ke Parlemen Uni Eropa dan Dewan Uni Eropa. Dalam jangka waktu dua bulan ke depan setelah delegated act ini diadopsi, Parlemen UE dan Dewan UE akan mengkaji delegated act RED II, untuk mengeluarkan keputusan apakah akan menerima atau menolak delegated act Jangka waktu pengkajian dapat diperpanjang selama dua bulan berikutnya jika dibutuhkan.
- Pemerintah melalui Kementerian Koordinator Perekonomian telah menyatakan sikapnya yaitu menentang keras atas diadopsinya Delegated Act RED II tersebut. Pemerintah menanggapi diadopsinya delegated act oleh Komisi UE yaitu dengan menyampaikan keberatan atas tindakan diskriminasi perdagangan minyak sawit ini dalam hubungan perdagangan dan investasi dengan UE, melalui surat dan Press Release. Landasan Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa komoditas minyak sawit merupakan komoditas penting bagi perekonomian nasional karena telah menjadi sumber penerimaan negara utama dari ekspor dan berperan penting dalam penciptaan lapangan kerja. Di samping itu peran komoditas sawit dalam perekonomian ini merupakan dukungan terhadap pencapaian SDG untuk isu pengentasan kemisikinan. Namun Pemerintah Indonesia tidak memberikan argumentasi scientific dalam merespon hal tersebut, padahal secara substansi isi dari Delegate Act dan RED II terkait high and low risk ILUC memiliki kelemahan yang parah yaitu didasarkan asumsi bukan scientific based.
- Dampak dari diadopsinya delegated act RED II ini adalah akan tertundanya hasil akhir dari kesepakatan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (EU-CEPA). Sementara arahan dari Bapak Wakil Presiden kepada Menteri Perdagangan, terkait permasalahan RED II dengan UE hendaknya tidak menyebabkan perundingan Indonesia-UE CEPA dihentikan. Hal ini disebabkan kepentingan Indonesia di pasar UE tidak terbatas pada kelapa sawit saja. Sejumlah perwakilan industri/sektor di Tanah Air seperti perikanan, garment, tropical fruits, footwear dan beberapa industri manufaktur menyampaikan harapan agar perundingan CEPA dapat diselesaikan segera sebelum pangsa pasar UE semakin dikuasai negara lain.
Strategic Context
- Terkait dengan situasi diatas, maka sebaiknya Pemerintah memperhatikan hal-hal yang cukup strategis terkait dengan langkah diplomasi, dan tidak terburu-buru menolak dan memutuskan untuk menempuh pendekatan disengagement, atau menyatakan akan langsung membawa masalah ini ke WTO Dispute Settlement Body (DSB) di Jenewa.
- Sebaiknya Pemerintah Indonesia, melakukan beberapa langkah strategis, yaitu:
- Melalui corong diplomasi dan komunikasi efektif menyampaikan tanggapan tertulis yang mengartikulasikan kepentingan agar RED II serta Delegated Regulation untuk implementasi RED II tidak bersifat diskriminatif dan merugikan biofuel berbasis kelapa sawit dan secara tidak fair menguntungkan biofuel berbasis minyak nabati lainnya. Tanggapan tertulis ini menjadi pegangan semua pihak yang melakukan diplomasi dengan UE.
- Mengirim Technical Experts dalam EU Panel, terutama dalam penentuan methodologi dan indicator “high and low ILUC”, atau menyampaikan Counter Argument Paper atau Scientific Position Document terkait High and Low ILUC standard certification yang ada dalam Delegated Regulation-EU commission (saat ini info dan knowledge yang UE miliki lebih didominasi oleh seputar dampak negatif oleh karena itu perlu di-counter dengan hasil penelitian dan argumen-argumen berbasis ilmiah). Secara substansi, saat RED II hanya menggunakan Asumsi dan bukan scientific based. Asumsi yang dibangun adalah berdasarkan kondisi di Afrika yang secara alam sangat berbeda dengan kondisi Hutan Hujan Tropis yang dimiliki Indonesia.
- Jika kedua upaya tersebut di atas tidak mendapat tanggapan yang memadai, maka sebaiknya menyusun Gap Analysis untuk membuat Country Position Paper terkait bila ternyata Delegated Regulation dan RED II (landasan, kriteria dan indikator) berpotensi melanggar prinsip dan ketentuan WTO. Dokumen tersebut dapat menjadi landasan untuk menyengketakan UE ke WTO-DSB.
- Untuk melawan penerapan kriteria risiko ILUC di negara produsen biodiesel di luar UE, maka perlu dilakukan beberapa hal:
- Pemerintah perlu terlibat aktif ketika EU melakukan studi dan panel sebagai bahan penulisan laporan mereka ke Parlement UE.
- Perlu ada studi-studi bandingan yang bisa melawan bahwa konsep ILUC sebagai parameter untuk menentukan status risiko biofuel dari sawit tidak relevan dan tidak bisa dijadikan patokan dalam penilaian biofuel karena hanya berdasarkan asumsi dan tidak ilmiah.
- Menyatakan data nasional secara pasti terkait luas perkebunan (perusahaan dan kebun rakyat), mulai dari luas izin, yang belum berijin dan yang belum di lakukan penanamnya.
- Menyampaikan progress dari Inpres Moratorium izin baru perkebunan sawit, kepada para pihak sebagai bukti Pemerintah serius melakukan pembenahan tata kelola sawit di Indonesia.
- Meminta Presiden segera menandatangani Perpres ISPO, yang saat ini sudah berada di proses akhir di Sekretaris Negara.
- Dalam konteks kerjasama dengan ASEAN, sebaiknya tidak mendahulukan atau memfokuskan corong kerja sama antara negara-negara produsen minyak sawit ASEAN, hal ini terkait bahwa saat ini persaingan antara negara negara produsen di ASEAN tidak terangkat secara adil (terutama Malaysia), sehingga tidak ada ikatan terkait code of conduct yang mendasari kesepakatan. Dalam kerangka kerjasama negara-negara ASEAN, yang saat ini hanya difokuskan pada “mempromosikan pengusahaan minyak sawit berkelanjutan dan membangun posisi bersama melawan diskriminasi perdagangan minyak sawit oleh UE”, sebaiknya Pemerintah membuat Safeguard Document atau Dokumen Kerangka Pengaman dalam kerangka kerjasama ASEAN terutama Malaysia. Mengingat pengalaman buruk terkait FLEGT-VPA, dimana Negara Malaysia kerap kali melakukan hal-hal yang kontra produktif dengan upaya Indonesia.