Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Penulis buku Seputar Hutan dan Kehutanan: Masalah dan Solusi)
Sebuah artikel opini yang ditulis oleh Uli Arta Siagian-Manajer Kampanye Hutan dan Kebun Esekutif Nasional Walhi-di harian Kompas, Jumat (17/05/2024), berjudul “Kekerasan Negara Atas Nama “Food Estate” harus diakui bernada tendensius. Sebagai pengamat kehutanan dan lingkungan, saya membaca berulang-ulang artikel ini untuk dan menangkap pesan kuat bahwa food estate diberi stigma negatif terhadap kerusakan hutan dan lingkungan, kurang ramah terhadap hak masyarakat adat dan lokal dan yang lebih penting lagi kepentingan nasional dibenturkan dengan kepentingan lokal atau daerah, tanpa memberikan solusi yang lebih baik apabila program food estate dihentikan atau distop pelaksanaannya. Sebagai rimbawan jebolan Fakultas Kehutanan IPB dan telah 35 tahun lebih menjadi birokrat (ASN) baik di daerah (Kalimantan dan Sulawesi) maupun di pusat (KLHK), saya mencoba untuk meluruskan dan mendudukkan secara proporsional dan berimbang, apakah benar ada stigma food estate melenyapkan kawasan hutan.
Lahan Program Food Estate
Untuk mengejar ketahanan pangan guna mencapai swasembada pangan yang meningkat kebutuhannya setiap tahun seiring dengan peningkatan laju pertumbuhan penduduk, tidak ada cara lain kecuali terus menggenjot peningkatan produksi pangan. Untuk mempertahankan dan meningkatkan produksi pangan terutama padi/beras, hanya ada dua cara yang dapat ditempuh pemerintah, yakni melalui kegiatan intensifikasi dan ekstensifikasi sawah. Intensifikasi dan ekstensifikasi adalah rangkaian kegiatan pertanian yang berada di hulu (on farming) yang sangat menentukan dalam peningkatan produksi pangan. Sementara untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani untuk memotivatasi agar lebih rajin dan giat bercocok tanaman, harus ada perbaikan tata kelola pemasaran yang merupakan bagian dari rangkaian tata kelola pertanian pada bagian hilirnya (off farming).
Intensifikasi sawah yang dimaksud adalah meningkatkan produksi sawah baku yang ada seoptimal mungkin dengan teknologi, pemupukan, dan pengairan yang cukup. Meskipun lahan pertanian yang dapat diolah seluas 55 juta hektare, namun luas lahan baku sawah hanya 7,46 juta hektare pada 2019. Dwi Andreas Santosa, guru besar Fakultas Pertanian IPB menyebutkan, meski ada program perluasan sawah dan food estate, luas lahan baku sawah semakin menyusut. Pada 2013 luas lahan baku sawah 8,13 juta hektare, empat tahun kemudian menjadi 7,75 juta hektare. Luas itu terus menyusut menjadi 7,11 juta hektare pada 2018 dan terakhir 7,46 juta hektare pada 2019. Untuk mempertahankan swasembada beras, luas baku sawah 7,46 juta hektare harus tetap dipertahankan oleh pemerintah. Kementerian Pertanian (Kementan) (2023) mencatat, alih fungsi lahan pertanian mencapai kisaran 90 ribu hingga 100 ribu hektare per tahun. Konversi lahan pertanian itu menjadi salah satu ancaman terhadap sektor pertanian dalam meningkatkan produksi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Konversi lahan sangat mengkhawatirkan. Luas baku sawah Indonesia menurut Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) tahun 2019 seluas 7.463.987 ha. Dari luas baku sawah (2019), Jawa mendominasi (47 persen), disusul Sumatera (24 persen), Sulawesi (13 persen), Kalimantan (10 persen), Nusatenggara-Bali (6 persen), Maluku dan Papua (1 persen). Jika berdasarkan kualitasnya, maka ada sekitar 2,9 jt ha lahan beririgasi; 3,040 juta ha lahan tadah hujan, dan 1,523 juta ha lahan sawah rawa pasang surut/lebak. Lahan yang beririgasi, sebagian besar berada di Jawa, memiliki kualitas lebih baik dibandingkan jenis sawah lainnya (tadah hujan dan pasang surut). Intensitas tanam dapat dilakukan paling tidak dua kali dalam setahun pada lahan beririgasi, sementara pada sawah tadah hujan maupun pasang surut umumnya ditanami sekali setahun.
Sayangnya, intensifikasi sawah yang telah dilakukan sejak era orde baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto, nampaknya sudah mencapai pucak kejenuhan. Dalam diskusi membahas dampak El Nino pada produksi beras oleh Perhimpunan Agronomi Indonesia pada Juli 2023 di Bogor, Jawa Barat, terungkap surplus beras Indonesia terus menurun. Data yang disampaikan Direktur Serealia Kementan M. Ismail Wahab memperlihatkan, pada 2018 ada surplus beras 4,37 juta ton, lalu pada 2022 surplus hanya 1,34 juta ton. Data juga menunjukkan rata-rata produktivitas padi stagnan hanya di kisaran 5 ton per hektare. Produktivitas yang stagnan berhadapan dengan kenaikan jumlah penduduk, konsumsi beras yang masih tinggi, dan konversi lahan sawah produktif untuk perutukan non pangan.
Sementara itu, kegiatan ekstensifikasi sawah dimaksudkan untuk menambah luas sawah baku yang ada maupun budidaya padi lahan kering melalui ekstensifikasi yang memang dimungkinkan melalui pencetakan sawah baru, food estate, maupun program lainnya.
Food estate adalah program strategis nasional untuk mendukung program ketahanan nasional. Food estate membutuhkan lahan yang cukup luas dan kompak dalam satu hamparan, dan biasanya berkisar antara 50.000 hingga 100.000 ha. Food estate dikelola secara modern dan pembangunanya dapat dilakukan secara monokultur seperti padi atau dapat secara terintegrasi karena mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan dan perikanan. Yang penting dalam food estate ciri khasnya adalah adanya intervensi teknologi (benih, pemupukan, tata air, mekanisasi, pemasaran dan lain lain).
Pertanyaannya adalah dimana mendapatkan lahan seluas itu dan dalam kondisi yang kompak dan satu hamparan serta tanah subur? Di pulau Jawa, yang tanahnya pada umumnya subur karena banyaknya gunung berapi (tanah vulkanis), sudah sulit memperoleh lahan yang seluas dengan kriteria yang dimaksud. Beban lahan di pulau Jawa telah melampaui kapasitas akibat, penduduknya yang sudah sangat padat. Peluang untuk mendapat lahan seluas itu untuk food estate, pasti dapat diperoleh di luar pulau Jawa, seperti Sumatera, Kalimantan, Papua yang lahannya masih luas terutama lahan hutan yang memenuhi syarat untuk dialih fungsikan menjadi lahan pertanian. Sayangnya lahan hutan yang tersedia tidak sesubur lahan di P. Jawa, karena lahan hutan alam tropika basah di Sumatera, Kalimantan dan Papua pada umumnya berjenis podzolik merah kuning (PMK) dan juga merupakan jenis tanah mineral tua berwarna kekuningan atau kemerahan. Warna tanah ini menandakan tingkat ksuburan tanah yang rendah.
Lenyapnya Kawasan Hutan
Secara regulasi, dalam undang-undang (UU) No. 41/1999 tentang kehutanan dalam pasal 38 ayat (1) disebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan non kehutanan hanya dapat dilakukan dalam kawasan hutan produksi dan hutan lindung. Mekanisme melalui dua cara yakni pelepasan kawasan hutan dengan alih fungsi lahannya dan izin pinjam pakai kawasan hutan (IPKH). Karena pembangunan food estate membutuhkan lahan yang sangat luas maka penggunaan kawasan hutannya lebih diarahkan melalui alih fungsi lahan/pelepasan kawasan hutan pada kawasan hutan produksi khususnya hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Jadi seandainya dalam pembangunan food estate terdapat kegiatan eksploitasi kayu dengan sistem tebang habis dan disulap menjadi sawah dan tanaman padi misalnya , itu adalah kegiatan legal dan tidak diharamkan.
Pengalaman pemerintahan orde baru yang ingin menyulap hutan gambut menjadi lumbung padi dengan proyek lahan gambut sejuta hektar (PLG) di Kabupaten Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah tahun 1995 dari segi status kawasannya adalah sah sebagai kawasan hutan produksi yang dapat digunakan untuk pembangunan diluar kehutanan, termasuk food estate (lumbung pangan) PLG. Meskipun tadinya PLG adalah hutan alam primer gambut, karena akan dirubah menjadi lumbung pangan padi, maka hutannya dilenyapkan dengan menebang pohon-pohonya dengan sistem tebang habis. Seandainya, PLG berhasil sebagai lumbung pangan dengan produksi rata-rata per hektar 5 ton per ha saja dan dua kali panen dalam setahun, maka dari PLG saja 10 juta ton per tahun. Dengan hasil sebanyak itu, sudah barang tentu Indonesia surplus akan produksi padi, tidak saja untuk mempertahan swasembada pangan bahkan mungkin menjadi eksportir beras ke negara lain. Penduduk Indonesia pada 1995 lalu baru mencapai 194 juta jiwa lebih, sementara sekarang telah mendekati 180 juta jiwa. Sayang cita-cita mulia tersebut kandas karena dilakukan terburu-buru. Proyek itu mulai dikerjakan pada 23 Januari 1996 dan langsung melanggar aturan pertama pembangunan proyek yaitu dikerjakan tanpa studi kelayakan mendalam dan tanpa adanya analisis mengenai dampak lingkungan (amdal).
Menarik pengalaman dari PLG tersebut, pemerintahan Jokowi dalam menetapkan lahan hutan untuk pembangunan food estate menerapkan prinsip kehati-hatian (prudent). Dalam konteks kebutuhan lahan dari kawasan hutan, mekanismenya sesuai dengan perundang-undangan seperti perubahan peruntukan kawasan hutan atau penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan (KHKP). Dalam perspektif pembangunan daerah, pembangunan food estate adalah wilayah perencanaan untuk land use (tata guna lahan) dengan pola multiguna, intervensi teknologi (benih, pemupukan, tata air, mekanisasi, pemasaran dan lain lain). Sebelum implementasi food estate ada penyusunan masterplan yang memuat pengelolaan KHKP (Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan) dan menyusun detail engineering design (DED). Tujuannya untuk menjaga keberlanjutan foot estate dan lingkungan. Tujuan utama pengembangan food estate adalah menjamin ketahanan ekologi sekaligus mencapai target ketahanan pangan nasional.
Dalam peraturan pemerintah (PP) No. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, penentuan kawasan hutan yang digunakan untuk pembangunan food estate sebagai proyek strategis nasional (PSN) dilakukan secara berlapis melalui beberapa saringan dan diarahkan pada lokasi kawasan hutan yang resikonya lingkungannya paling rendah yakni kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang tidak produktif, selanjutnya HPK yang produktif, bila tidak ada HPK maka dapat dilakukan pada hutan produksi tetap (HP). Demikian juga pada kawasan hutan lindung, pembangunan food estate diarahkan pada hutan lindung tidak sepenuhnya berfungsi lindung yaitu dalam keadaan terbuka /terdegradasi//sudah tidak ada tegakan hutannya. Singkat kata, lahan hutan yang digunakan untuk pembangunan food estate baik di kawasan hutan produksi maupun hutan lindung diarahkan pada kawasan hutan yang tidak produktif atau tidak ada tutupan hutannya.
Menurut data terbaru dari KLHK dalam bukunya “The State Of Indonesia’s Forest 2020” terbit tahun 2020, luas hutan Indonesia 120,3 juta ha, kawasan hutan non tutupan yang dipersoalkan seluas 33,4 juta ha, merupakan lahan-lahan terbuka, semak belukar dan tanah terlantar bukanlah lahan menganggur yang dapat dimanfaatkan apa saja, karena masing-masing kawasan lahan hutan tersebut mempunyai fungsi kawasan masing-masing. Meski kawasan hutan seluas 33,4 juta ha merupakan kawasan yang tidak mempunyai tutupan hutan (forest coverage), namun kawasan hutan tersebut masuk dalam kawasan hutan konservasi 4,5 juta ha, hutan lindung 5,6 juta ha, hutan produksi terbatas 5,4 juta ha , hutan produksi biasa 11,4 juta ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi seluas 6,5 juta ha.
Jadi tuduhan bahwa pembangunan food estate akan melenyapkan hutan primer sangat tidak beralasan. Faktanya hutan produksi yang tidak mempunyai tutupan hutan luas mencapai 23,3 juta ha, 6,5 juta ha diantaranya adalah hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) yang menjadi prioritas utama untuk pembangunan food estate. Sementara hutan lindung yang tidak mempunyai tutupan hutannya mencapai 5,4 juta ha. Termasuk usulan baru proyek food estate yang keseluruhan membutuhkan total lahan 770.000 ha di Kalteng, 2 juta ha di Papua dan 32,000 ha di Sumut yang dikhawatirkan oleh Uli Arta Siagian akan melenyapkan hutan dari hutan permanen (tersirat terjadinya deforestasi) mengada-ada dan terbantahkan dengan data yang disajikan diatas. Saya khawatir tulisan Uli Arta Siagian yang berbau tendesius tanpa menyodorkan data yang valid dan akurat, akan sangat menggangu kepentingan bangsa yang lebih besar dimana pemerintahan baru Prabowo-Gibran sedang berjuang keras untuk meraih ketahanan dan kedaulatan pangan bagi bangsa yang besar ini. ***