Susi pun Kritik Keras Kemenperin

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti akhirnya “meledak” menghadapi persoalan garam yang tak kunjung usai. Jika sesame aparat tidak mau membenahi tataniaga garam yang kisruh, Susi meminta lebih baik Kementerian Perindustrian mengambil alih pembinaan petambak garam nasional.

Pernyatan tajam Susi ini memang ada benarnya. Pasalnya, jutaan ton garam impor kerap masuk dengan dalih garam industri tanpa bisa dicegah. Maklum, kewenangan tataniaga itu ada di tangan Kementerian Perindustrian.

Namun, masuknya garam impor ini sangat memalukan buat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Tiap tahun Indonesia mengimpor garam untuk kebutuhan industri rata-rata 2 juta ton. Tahun 2014 kemarin, sampai September 2014, data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat impor komoditi dengan nomor ex HS 2501.00.90 ini sudah 1,76 juta ton.

“Saya bisanya cuma teriak-teriak saja. Tapi tidak punya akses untuk berbuat sesuatu. Jika tidak bisa duduk bareng (juga), maka petani garam saya kasih ke Kementerian Perindustrian. Jadi, petani garam masuk portofolio Kementerian Perindustrian. Bawa anggaran pemberdayaannya sekalian,” tegas Susi beberapa waktu lalu di kantornya.

Pemilik PT ASI Pujiastuti Marine Product, perusahaan perikanan, dan maskapai carter Susi Air ini pun tidak ingin disalahkan. “Saya tidak ingin dibilang, KKP hanya buang-buang anggaran, tapi petani garam nasional tetap saja miskin,” sergahnya.

Menurut Susi, pihaknya sudah menganggarkan dana Rp180 miliar di Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) antara lain untuk pemberdayaan petani garam yang diperkirakan mencapai 37.000 orang.

Berbagai kabupaten/kota di Indonesia diupayakan KKP untuk mengadopsi teknologi dari Korea Selatan, Ulir Filter (TUF) dan geomembran. Dengan dua teknologi ini, selain penguapannya lebih cepat, hasilnya juga jauh lebih bersih. Tingkat garamnya juga lebih dari 94,7%.

Selain itu, baru-baru ini PT Garam juga mendapat suntikan modal dalam bentuk Penyertaan Modal Negara (PMN) dari pemerintah sebesar Rp300 miliar. Dana ini mayoritas Rp222 miliar dialokasikan untuk menyerap 400.000 ton garam rakyat. Sementara Rp 68 miliar untuk membangun pabrik garam olahan di Camplong, Kabupaten Sampang dan Rp7 miliar untuk persiapan pengembangan lahan di Nusa Tenggara Timur. Sisanya, Rp3 miliar untuk aplikasi teknologi geomembran di on farm PT Garam.

Susi mengklaim, baik garam konsumsi maupun garam industri sama-sama garam. Hanya kualitasnya saja yang berbeda. “Sama-sama bisa dimakan. Hanya saja, garam industri memerlukan kualitas tertentu. Kadar magnesiumnya rendah. Kadar NaCl-nya tinggi. Kadar kekeringannya bagus. Untuk garam aneka pangan, bisa menggunakan garam yang diproduksi dalam negeri.”

Satu sikap

Direktur Utama PT Garam, Usman Perdanakusuma memaklumi kekesalan Menteri Susi. Menurutnya, impor garam untuk industri aneka pangan seharusnya tidak diperbolehkan lagi. “Karena sudah bisa dipenuhi kebutuhannya oleh garam lokal yang kadar NaCl-nya 95%-96%,” kata Usman sewaktu dihubungi Agro Indonesia pekan lalu.

Usman pun menyesalkan peraturan setingkat Direktur Jenderal — selaku turunan dari Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 58 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Garam — belum ada yang menyebutkan tentang perubahan garam aneka pangan dari konsumsi ke industri.

“Saatnya seluruh kementerian terkait duduk bareng dan merevisi seluruh regulasi agar lebih memihak petani garam lokal. Pemerintah harus satu sikap. Membela kepentingan garam nasional dan bukan mengakomodir kepentingan eksportir garam,” kata Usman.

Sementara itu Sekretaris Jenderal Persatuan Petambak Garam Indonesia, Muhammad Sarli menyesalkan pemerintah dalam hal ini KKP, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan yang tidak kunjung sinkron.

“Akibatnya, ya kami ini. Harga garam di tingkat petani jatuh di kisaran Rp250-300/kg. Untuk bisa sampai di industri Rp750 kg, jelas kami kalah bersaing dengan garam impor. Apalagi, NaCl garam lokal belum semuanya bisa mencapai 97%. NaCl garam produksi Indramayu rata-rata 94% dan Madura, 96%-97%,” keluh Sarli.

Kendati demikian, kata Sarli, pihaknya mengerti jika masih ada impor garam untuk kepentingan industri yang mencapai 2 juta ton/tahun. “Tapi tolong lah, jangan impor pas panen raya. Lagian kan sudah aturannya.”

Menurut Wakil Ketua Komisi IV DPR, Herman Khaeron, kejadian hancurnya produk rakyat dihantam komoditas impor adalah hal yang biasa dan terjadi pula pada komoditas daging. “Harga garam impor biasanya lebih murah ketimbang harga dalam negeri dan ini akan memukul petambak garam tradisional yang seharusnya tengah menikmati panennya di musim hujan,” kata Herman.

Susi juga tak segan menyindir kelakuan buruk importir. “Karena untungnya enak. Bisa untung 200%. Jadi, seperti jualan narkoba. Tiap tahun disuruh berhenti tidak mau. Importir garam juga tidak pernah mau menyerap garam petani.”

Akibatnya, kata Susi, petani tidak berdaya. Lebih-lebih lagi mereka tidak punya gudang untuk menyimpan garamnya. “Terpaksa dijual Rp275-300/kg.” Fenny

Permainan Kuota Akhirnya Memakan Korban

Direktur Pemberdayaan Masyarakat Pesisir dan Pengembangan Usaha, Direktorat Jenderal Ruang Pengelolaan Laut, KKP, Riyanto Basuki mengakui data produksi garam, kebutuhan konsumsi dan kebutuhan industri perlu diperbaiki.

“Kita perlu audit independen agar rembesan garam impor tidak terjadi. Importir garam perlu diaudit,” tegas Riyanto.

Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti pun terang-terangan menuding adanya permainan dalam kuota impor garam. “Misalnya, impor 200.000 ton. Bilangnya cuma 40.000 ton. Jadi, mereka hanya menyerap garam petani sesuai dengan yang dia impor. Nah, ketidak-transparanan dalam kuota dan pengawasan impor ini yang menjadi petaka dan persoalan petani. Industri garam dalam negeri pun tidak akan tumbuh,” sergahnya.

Tudingan Susi memang menemui bukti ketika aparat kepolisian menangkap mantan Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kemendag, Partogi Pangribuan, terkait dengan penyelidikan kasus bongkar muat barang (dwelling time) di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. Tim penyidik Polda Metro Jaya menemukan fakta baru yang terkait dengan dugaan penyimpangan tataniaga garam, sehingga merugikan negara dan petani garam.

Tim Satuan Tugas Khusus Polda Metro Jaya beberapa waktu lalu menggeledah pabrik dan gudang PT Unichem Candi Indonesia di Sidoarjo, Jawa Timur. Unichem adalah produsen dan importir garam.

“Penggeledahan ini untuk menemukan bukti-bukti baru yang mengaitkan perusahaan pada tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka Partogi Parangibuan, mantan Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan. Tersangka sudah mengakui transaksi uang yang dilakukan perwakilan PT Unichem,” ujar Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Krishna Murti.

Pemberian uang itu sendiri bertujuan untuk menaikkan kuota impor garam dari 27.500 ton menjadi 82.000 ton tanpa melalui prosedur penerbitan rekomendasi. Fenny