Permendag Nomor 58 Tahun 2012 tentang Ketentuan Impor Garam kini digugat. Pasalnya, aturan yang dalam Permendag itu dinilai menjadi pemicu dugaan terjadinya rembesan garam impor untuk industri aneka pangan ke pasar umum.
Dalam Permendag tersebut, kegiatan impor garam industri bisa dilakukan dengan rekomendasi dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Rekomendasi yang hanya dikeluarkan oleh Kemenperin inilah yang digugat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). KKP meminta agar mereka diikutsertakan dalam penentuan kuota impor garam industri.
Untuk memenuhi tuntutan KKP, pemerintah telah membentuk sebuah tim yang bertugas menyusun hal-hal yang diperlukan untuk merevisi tataniaga impor garam. Tim ini sudah bekerja sejak Agustus lalu — yang melibatkan usur dari Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Plt Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Karyanto Suprih menjelaskan, tim tersebut telah melakukan pekerjaan dengan baik, di mana pembahasan masalah itu kini sudah berada di tingkat Menko Perekonomian.
Suprih mengakui, draf peraturan tersebut rampung pada Agustus, di mana berisikan hal-hal terkait perizinan yang lebih sederhana dan tidak rumit meskipun ada pilihan yang mewajibkan adanya dua rekomendasi bagi para importir dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perindustrian. “Kementerian Perdagangan menginginkan sederhana. Meskipun misalnya harus ada 10 rekomendasi, tetapi mudah, tidak masalah,” ujarnya.
Menurut sumber Agro Indonesia di Kementerian Perdagangan, revisi Permendag No.58/M-DAG/PER/9/2012 tentang Ketentuan Impor Garam itu akan menyentuh tiga hal, yakni definisi dari garam industri itu sendiri, definisi garam dalam negeri, dan terkait dengan rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan serta Kementerian Perindustrian untuk tidak memperpanjang rantai perizinan.
Berdasarkan rancangan Permendag baru tersebut, nantinya importir produsen (IP) garam konsumsi dan garam industri wajib menyerap garam rakyat minimal 50% dari total kapasitas produksinya. Kewajiban menyerap garam dalam negeri tersebut akan menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi importir untuk mendapatkan rekomendasi impor.
Selain itu, jika pada Permendag sebelumnya importir hanya wajib mengantongi rekomendasi impor dari Kementerian Perindustrian, maka nantinya importir juga harus mendapatkan rekomendasi impor dari Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Revisi Permendag itu juga berisi tentang definisi garam konsumsi dan garam industri, di mana dalam aturan sebelumnya, yang dimaksud garam konsumsi adalah garam dengan kadar NaCl sebesar 94,7%-97%, maka dalam aturan baru kadar tersebut diubah menjadi 94,97%-97%.
“Sedangkan untuk garam industri tidak ada perubahan, yaitu garam dengan kadar NaCl di atas 97%,” jelasnya.
Tuntutan KKP
Terkait adanya revisi Permendag yang akan memangkas kewenangan tunggal Kementerian Perindustrian sebagai pemberi rekomendasi impor garam industri, Dirjen Industri Kimia, Tekstil dan Aneka (IKTA) Kemenperin, Harjanto mengaku pihaknya akan mematuhi keputusan yang diambil pemerintah. “Kami akan ikut keputusan yang diambil Menko,” kata Harjanto kepada Agro Indonesia.
Sebelumnya, dia mengingatkan kalau penentuan kuota impor garam industri jangan sampai mengganggu kegiatan industri pengguna garam di dalam negeri dan minat investor untuk menanamkan investasinya di dalam negeri.
Direktur Kimia Hulu Kemenperin, M Khayam mengakui bahwa pihak KKP mendesak untuk diikutsertakan dalam proses pemberian rekomendasi untuk impor garam industri. “Memang ada tuntutan dari KKP untuk dilibatkan dalam pemberian rekomendasi impor garam industri dalam revisi Permendag itu,” ujarnya.
Dia juga mengungkapkan, demi kepentingan nasional, Kemenperin siap menerima keputusan yang diambil Menko Perekonomian soal kebijakan impor garam.
Namun, Khayam mengingatkan juga kalau kebijakan yang akan diambil pemerintah itu tidak boleh menimbulkan rantai birokrasi yang nantinya dapat menghambat kegiatan industri pengguna garam.
Jika melihat data Kementerian Perdagangan, impor garam, baik untuk garam industri aneka pangan maupun untuk industri non pangan pada dua tahun terakhir, memang terjadi kenaikan.
Pada 2013, impor garam industri aneka pangan mencapai 277.475 ton, jumlah tersebut melonjak menjadi sebesar 473.133 ton di tahun 2014. Peningkatan juga terjadi pada impor garam industri, dari 1,74 juta ton pada 2013 meningkat menjadi 1,77 juta ton pada 2014.
Sedangkan pada 2015 kuota impor garam untuk dua kategori tersebut mengalami penurunan. Untuk impor garam industri aneka pangan dibatasi menjadi 379.000 ton dan garam industri sebesar 1,5 juta ton. B Wibowo
Pengetatan Impor Bisa Berdampak Negatif
Kebijakan pemerintah memangkas kuota impor garam industri aneka pangan dan rencana memperketat pemberian izin impor komoditas tersebut telah membuat pelaku industri yang menggunakan garam untuk kegiatan produksinya menjadi resah.
Ketua Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI), Tony Tanduk mengatakan, berdasarkan perhitungan pihaknya, kebutuhan garam industri tahun 2015 ini kurang lebih sama dengan tahun lalu, yaitu sebanyak 2 juta ton lebih. Rinciannya, sebanyak 450.000 ton untuk industri aneka pangan dan sekitar 1,7 juta ton untuk industri lainnya.
Secara nasional, ungkapnya, kebutuhan garam mencapai 3,7 juta ton dengan rincian 450.000 ton untuk industri aneka pangan, 1,7 juta ton untuk industri kimia, 200.000 ton untuk pengeboran minyak, 470.000 ton untuk pakan ternak dan pengasinan ikan, industri lain 230.000 ton dan konsumsi rumah tangga 650.000 ton.
Kebutuhan garam secara nasional itu belum mampu ditutupi oleh produksi garam di dalam negeri karena luas lahan garam nasional diprkirakan hanya sekitar 25.000 hektare (ha) dengan produksi rata-rata per tahun hanya 1,7 juta ton dengan pembagian kualitas I kadar NaCl 94% sebanyak 30%, kualitas II NaCl 90%-93% sebanyak 30% dan kualitas III NaCl di bawah 90% sebanyak 40%.
Dengan adanya ketimpangan antara kebutuhan dan produksi di dalam negeri, papar Tony Tanduk, kebijakan impor garam industri sudah tidak bisa lagi ditawar-tawar lagi.
Terlebih nilai tambah yang dihasilkan dari kegiatan industri pengguna garam di dalam negeri jauh lebih besar dari nilai impor garam industri itu sendiri. “Nilai ekspor industri pengguna garam mencapai 28,2 miliar dolar AS/tahun. Sementara impor garam industri yang hanya sebesar 100 juta dolar AS/tahun,” ujar Tony Tanduk.
Dia menjelaskan, nilai ekspor industri pengguna garam itu berasal dari nilai ekspor industri aneka pangan yang setiap tahun mencapai 5,6 miliar dolar AS, kemudian industri kimia seperti petrokimia hulu, kaostik soda, bahan media diapers, tekstil, bubur kertas dan kertas, produk plastik hilir PVC mencapai 22,6 miliar dolar.
Dengan kondisi di atas, Tony mengingatkan kalau pengetatan pemberian izin impor garam untuk industri bisa berdampak negatif terhadap pendapatan ekspor dari industri pengguna garam.
Tony juga menegaskan kalau selama ini pihaknya selalu menyerap garam lokal untuk memenuhi kebutuhan bahan baku berupa garam dalam menjalankan kegiatan produksinya. “Kami selalu mengutamakan menyerap produksi garam dalam negeri, tetapi kualitasnya yang dapat diterima oleh industri. Selama ini yang diproduksi di dalam negeri masih ada yang belum sesuai dengan kebutuhan industri,” ujarnya,
Berdasarkan data AIPGI, selama tahun 2014/2015 saja, industri pengguna garam telah menyerap garam lokal sebesar 693.200 ton. Sementara untuk periode 2015/2016, volume garam lokal yang akan diserap oleh industri pengguna garam nasional sekitar 1 juta ton. “Kami ingin mengoptimalkan penyerapan garam lokal untuk kualitas I dan kualitas II,” paparnya.
Untuk membuktikan kalau pihaknya peduli dengan penyerapan garam lokal, Tony menegaskan pihaknya akan melakukan self audit untuk mencari data yang benar mengenai kebutuhan garam oleh industri di dalam negeri dan kemudian di crosscheck dengan produksi garam petani lokal.
Tony mengakui, kualitas garam lokal masih sulit diserap oleh industri karena yang dibutuhkan oleh industri aneka pangan haruslah garam yang memiliki sejumlah persyaratan tertentu, misalnya minimal kadar NaCL 97%, kalsium dan magnesium maksimal 600 ppm. Sementara untuk industri kimia, garam yang dibutuhkan minimal NaCL 96%, farmasi kebutuhan NaCL minimal 99,9%, sementara garam konsumsi rumah tangga minimal NaCL 94%.
Sementara itu Direktur Kimia Hulu Kemenperin, M Khayam menyatakan, untuk mendukung pemenuhan kebutuhan garam industri di dalam negeri, pemerintah terus berusaha memberikan kemudahan bagi dimulainya kegiatan produksi pabrik garam di dalam negeri, seperti pabrik garam Cheetham di Nusa Tenggara Timur (NTT). “Jika pabrik pengolahan garam di wilayah itu bisa beroperasi, akan ada pasokan sekitar 200.000 ton garam untuk industri,” ucapnya.
Menurutnya, proses implementasi pembangunan dan pengoperasian pabrik garam di NTT itu kini masih terus dilakukan dan sudah banyak kemajuan yang dicapai, termasuk soal penggunaan lahan. B Wibowo