Transformasi dan rebranding SVLK diharapkan bisa menguatkan citra positif produk hasil hutan Indonesia untuk meningkatkan penetrasi menembus pasar global. Termasuk ke Uni Eropa (UE) yang akan memberlakukan ketentuan baru soal komoditas kayu.
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Krisdianto mengungkapkan, SVLK diterima dengan baik oleh pasar internasional. Hal ini ditandai dengan tren nilai ekspor produk kayu sejak SVLK diimplementasikan. “Nilai ekspor produk kayu bersertifikat SVLK menunjukkan kencenderungan meningkat,” kata dia, saat seminar yang diselenggarakan Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), Senin (20/3/2023).
Sebagai gambaran, nilai ekspor produk kayu bersertifikat SVLK pada tahun 2003 tercatat sebesar 6,05 miliar dolar AS. Pada tahun 2022, nilai ekspor sudah naik dua kali lipat lebih ,menjadi 14,5 miliar dolar AS. Ini menjadi rekor ekspor tertinggi sepanjang sejarah. Menariknya, kecenderungan nilai ekspor yang meningkat bahkan tetap terjadi saat perekonomian dunia lesu akibat diterjang pandemi COVID-19.
Bukti lain keberterimaan SVLK adalah semakin luasnya negara yang menjadi tujuan ekspor produk kayu. Jika pada tahun 2013 ada 155 negara tujuan, pada tahun 2021 jumlah negara tujuan ekspor menjadi 196 negara.
Krisdiyanto menuturkan, SVLK memiliki sejumlah atribut yang membuatnya bisa diterima di pasar internasional. Di antaranya adalah SVLK memiliki regulasi dan peraturan pemerintah yang tegas dan terpelihara dalam mengatur penjaminan legalitas hasil hutan dan kelestarian hutan.
Proses dan keterlibatan multipihak dalam pengembangan dan implementasi juga menjadi atribut yang memperkuat SVLK. Selain itu, SVLK juga kredibel karena verifikasi dilakukan oleh pihak ketiga, yaitu LPVI — yang diakreditas oleh Komite Akreditas Nasional (KAN) berdasarkan Standar Nasional Indonesia yang mengacu kepada standar internasional.
“Lembaga penilai dan verifikator ini salah satu kekuatan SVLK karena independen, dan ini sudah diapresiasi oleh negara lain,” kata Krisdianto.
SVLK juga menjunjung keadilan karena menyediakan mekanisme banding atas hasil verifikasi dan mekanisme penyelesaian sengketa. Dalam implementasinya, SVLK pun berjalan transparan karena melibatkan masyarakat sipil sebagai pemantau independen.
Atribut lain yang menjadi kekuatan SVLK adalah standar verifikasi yang jelas dan spesifik untuk masing-masing kategori pelaku usaha di hulu-hilir yang wajib di menjalani audit SVLK (auditee). Standar ini disusun dengan merujuk pada regulasi nasional dan sistem internasional yang berlaku.
Krisdianto menyatakan, dengan kekuatan tersebut, sertifikat SVLK pun disetarakan sebagai lisensi FLEGT dalam skema kemitraan sukarela (VPA) dengan Uni Eropa. Berbekal lisensi FLEGT, produk kayu Indonesia bisa masuk ke pasar Uni Eropa melalui jalur hijau di bawah payung undang-undang importasi kayu (EUTR).
Seiring dengan rencana Uni Eropa menerapkan undang-undang baru Deforestation Free Supply Chain (DFSC), Krisdiyanto menyatakan, Indonesia berharap agar Uni Eropa tetap mengakui SVLK. “Indonesia membuka pintu diskusi supaya SVLK tetap diterima di pasar Uni Eropa,” katanya.
DFSC
Undang-undang DFSC Uni Eropa secara resmi telah disetujui pada 6 Desember 2022 untuk mengatur rantai pasok komoditas bebas deforestasi. Ketentuan itu akan mengatur komoditas yang beredar di pasar Uni Eropa, termasuk yang diimpor, harus bebas dari deforestasi dan degradasi hutan.
Berdasarkan siaran pers Uni Eropa, Sabtu (4/2/2023), nantinya akan dilakukan proses due dilligence (uji tuntas) untuk memastikan komoditas yang beredar di pasar UE tidak berasal dari lahan yang terdeforestasi dengan batas (cut-off date) 31 Desember 2020. Proses due dilligence memperhitungkan geolokasi, penilaian kepatuhan, dan langkah mitigasi yang dilakukan. Proses due diligence juga akan memperhatikan peringkat risiko negara asal komoditas, yaitu rendah, standar, atau tinggi (low, standard, atau high).
Saat ini, Parlemen dan Dewan UE sedang menyiapkan adopsi EU DFSC sebelum diberlakukan. Ketika berlaku nanti, perusahaan dan pedagang komoditas punya waktu 18 bulan untuk mengimplementasikan ketentuan itu. Sementara perusahaan skala UMKM bakal mendapat jangka waktu lebih panjang.
Adapun komoditas yang diatur dalam EU DFSC adalah minyak sawit, ternak sapi, kedelai, kopi, kakao, karet, dan kayu. Termasuk produk turunannya seperti daging, cokelat, maupun furnitur.
Pengusaha harus siap
Ketua Forum Komunikasi Masyarakat Perhutanan Indonesia (FKMPI), Indroyono Soesilo menyatakan, SVLK merupakan modal yang kuat bagi Indonesia untuk menghadapi ketentuan DFSC Uni Eropa. Pasalnya, SVLK meningkatkan akuntabilitas dan transparansi yang berdampak pada perbaikan tata kelola hutan di Indonesia
“Dengan SVLK, kita berhasil menurunkan deforestasi, illegal logging, kebakaran hutan dan lahan, dan siap untuk mencapai target FOLU Net Sink tahun 2030 yang progresif,” katanya saat Webinar ‘Peluang dan Manfaat Timber Supply Chain Dalam Menjawab Tantangan Pasar Produk Kayu Dunia’, Senin (20/3/2023).
Indroyono, yang juga Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menyatakan, SVLK menawarkan ketelusuran yang menjawab ketentuan DFSC Uni Eropa.
Indroyono menyatakan, pelaku usaha kehutanan di Indonesia harus bersiap dan mengantisipasi dampak DFSC Uni Eropa. Menurut dia, pelaku usaha kehutanan harus mempelajari ketentuan tersebut dan memastikan ketelusuran produk yang dihasilkan sehingga proses ekspor ke kawasan tersebut bisa berlangsung mulus dan bisa memperluas pasar.
Apalagi, ketentuan DFSC Uni Eropa tetap berlaku meski produk tersebut telah dilengkapi dengan sertifikat verifikasi dari pihak ketiga yang independen.
Nantinya akan ada patokan (benchmark) untuk setiap negara produsen yang menentukan tingkat risiko deforestasi berdasarkan tiga tingkatan, yaitu tinggi, standar, dan rendah. Semakin tinggi tingkat risiko deforestasi, semakin rumit proses due dilligence. Sebaliknya, semakin rendah tingkat risiko deforestasi, semakin mudah proses due dilligence.
“Dengan mengantisipasi ketentuan DFSC, pelaku usaha kehutanan di Indonesia bisa memperluas pasar di kawasan Uni Eropa,” kata Indroyono.
Saat ini, nilai pasar produk kayu Uni Eropa mencapai 51 miliar dolar AS. Sementara, Indonesia baru bisa meraih pasar sekitar sekitar 1,3 miliar dolar AS-1,4 miliar dolar AS.
Dia juga berharap, kerja sama antara pemangku kepentingan bisa ditingkatkan untuk mendukung SVLK, sehingga bisa menjawab ketentuan DFSC Uni Eropa.
Sementara itu Ketua Apkindo, Bambang Soepijanto mengingatakan bahwa produk kayu yang diproduksi secara berkelanjutan saat ini adalah tuntutan global. Oleh karena itu, seluruh produsen kayu lapis di tanah air harus meresponnya dengan tepat.
Bambang menyatakan, salah satu pembuktian bahwa produk kayu yang diproduksi dan dipasarkan berasal dari sumber yang legal dan lestari adalah dengan sertifikasi. Untuk sertifikasi mandatory, Indonesia telah memiliki SVLK.
Bambang mengingatkan, apapun proses sertifikasi yang akan diikuti, yang paling penting adalah integritas di seluruh pelaku usaha pengolahan kayu. “Kalau kita punya integritas, diatur dengan (aturan) apapun tetap bisa masuk (ke pasar ekspor),” katanya.
Dia menekankan, dengan integritas dan menerapkan bisnis yang berkelanjutan, maka akan menjamin keberlangsungan lingkungan dan sumberdaya hutan. Sugiharto