Mulai 1 Maret 2023, transformasi SVLK berlaku secara efektif. Setelah re-branding yang mengubah singkatan ‘K’ dari kayu menjadi kelestarian, kini SVLK pun makin tegas soal kelestarian hutan.
Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian. Demikian brand baru dari SVLK. Rebranding SVLK memastikan produk kayu dan hasil hutan lainnya yang diproduksi Indonesia berasal dari sumber yang legal dan dikelola secara berkelanjutan.
Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agus Justianto mengungkapkan, aspek kelestarian sejatinya sudah ada pada kriteria dan indikator SVLK sebelumnya. “Dengan adanya kata kelestarian (pada brand SVLK), maka SVLK tidak hanya menonjolkan legalitas, tapi juga kelestarian,” katanya saat seminar yang diselenggarakan Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) di Jakarta, Senin (20/3/2023).
SVLK dikembangkan lebih dari satu dekade lalu sebagai bentuk komitmen kuat Indonesia dalam mendukung kelestarian sumberdaya hutan. Melibatkan unsur seluruh para pihak, mulai dari pemerintah, akademisi, pelaku usaha, masyarakat sipil, dan organisasi non pemerintah, SVLK dibangun dengan proses konsultasi publik mendalam.
Dalam perkembangannya, brand SVLK harum di kancah internasional. Buktinya, sertifikat SVLK diakui sebagai lisensi FLEGT yang memungkinkan produk kayu Indonesia masuk ke Uni Eropa melalui jalur hijau.
SVLK kemudian bertransformasi berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 8 Tahun 2021 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Serta Pemanfaatan Hutan di Hutan Lindung dan Hutan Produksi pada 1 April 2021. Berdasarkan ketentuan ini, SVLK unsur kelestarian menjadi semakin tegas.
SVLK juga punya logo baru yang diluncurkan saat konferensi perubahan iklim UNFCCC COP26 di Glasgow, Inggris Raya, November 2021.
Dalam pelaksanaannya kemudian terbit Surat Keputusan Menteri LHK Nomor SK.9895 tahun 2022 pada 14 Desember 2022 tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan SVLK. Ketentuan ini berlaku mulai 1 Maret 2023.
Agus menjelaskan, ada beberapa perubahan dari transformasi SVLK. Di antaranya adalah masa berlaku sertifikat SVLK yang lebih panjang untuk kayu budidaya. Hal ini akan bermanfaat untuk mendorong tumbuhnya produksi hasil hutan budidaya.
Perubahan lainnya adalah fasilitas pembiayaan untuk usaha mikro, kecil dan menengah untuk sertifikasi, penilikan, dan penyediaan dokumen ekspor. Dahulu, fasilitas ini hanya diberikan untuk periode ke-1. Perubahan ini akan meringankan bagi pelaku usaha UMKM untuk mendapat sertifikat SVLK sehingga bisa lebih mudah menembus pasar ekspor.
Selain itu, SVLK kini juga menggarap pasar domestik dengan menjadi bagian persyaratan pengadaan barang ramah lingkungan. Hal ini bisa bisa meningkatkan competitive advantages bagi produk UMKM di pasar domestik.
Perubahan berikutnya adalah SVLK kini tidak hanya mencakup hasil hutan kayu, tetapi juga hasil hutan bukan kayu (HHBK). Hanya saja, untuk sertifikasi SVLK pada HHBK sifatnya masih sukarela.
Agus menekankan akan ada banyak manfaat dari transformasi SVLK. Dari rebranding SVLK, maka SVLK akan lebih kuat untuk menembus pasar yang semakin menuntut kelestarian. “SVLK yang semula dikenal sebagai sebagai instrumen yang menjamin legalitas kayu, kini semakin kuat untuk menembus pasar yang mensyaratkan kelestarian,” katanya.
Dia melanjutkan, keunggulan sebelumnya yang sudah ada pada SVLK, yaitu akuntabilitas dan transparansi, akan terus dipertahankan. Untuk SVLK selalu terbuka untuk dipantau oleh pemantau independen dari LSM.
Geo Lokasi
Transformasi lain yang penting dari SVLK adalah kriteria dan indikator seperti diatur pada Standar dan Pedoman Pelaksanaan SVLK. Salah satunya adalah penambahan tentang titik koordinat lokasi penebangan, pengolahan, dan pemasaran produk kayu.
Adanya indikator ini menjadikan ketelusuran produk yang dilengkapi dengan sertifikasi SVLK sangat akurat. Selembar kayu lapis asal Indonesia yang diterima konsumen di pasar Inggris bisa dilacak hingga ke titik penebangan karena adanya geo lokasi.
Indikator lain yang juga diatur adalah soal kesejahteraan pekerja dan isu gender.
Agus Justianto menyatakan, menindaklanjuti rebranding SVLK ini, maka perlu peningkatan strategi komunikasi dan promosi, serta penguatan kerja sama internasional. “Tujuannya agar keberterimaan SVLK bisa semakin luas,” katanya.
Dari sisi SDM, Agus juga menyatakan perlunya untuk terus meningkatkan kualitas SDM secara berkelanjuta di seluruh unsur yang terlibat dalam SVLK, mulai pelaku usaha, auditor, asesor, hingga pemantau independen demi kredibilitas SVLK.
Salah satu tantangan ke depan dalam pelaksanaan SVLK adalah dukungan untuk UMKM. Hal ini harus dijawab secara bersama-sama oleh seluruh pemangku kepentingan — termasuk soal penyediaan pembiayaan.
“KLHK senantiasa memberikan pendampingan, fasilitasi dan peningkatan kapasitas pelaku usaha sehingga semua pihak dapat memberikan kinerja optimalnya untuk mengimplementasikan SVLK paradigma baru,” kata Agus. Sugiharto
Tim Penilai Independen Bernama LPVI
Dalam prosesnya, audit SVLK akan melibatkan Komite Akreditas Nasional (KAN). Sesuai dengan standar internasional ISO 17065 tahun 2012, KAN akan mengakreditasi Lembaga Penilai dan Verifikasi Independen (LPVI). LPVI yang telah terakreditasi akan ditetapkan melalui keputusan Menteri LHK.
Dalam proses sertifikasi SVLK, LPVI punya peran untuk mengaudit proses sertifikasi pelaku usaha di hulu, hilir, maupun pasar. LPVI merupakan payung dari lembaga audit yang sebelumnya, yaitu Lembaga Penilaian Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL) dan Lembaga Verifikasi Legalitas Kayu (LVLK).
Hasil audit dari LPVI akan masuk dalam Sistem Informasi Legalitas dan Kelestarian (SILK) yang terintegrasi dengan Inatrade Kementerian Perdagangan dan Indonesia National Single Window (INSW) Kementerian Keuangan.
Sekjen KAN, Donny Purnomo mengingatkan, agar LPVI selalu menjaga integritas dan tidak sekadar melakukan verifikasi dan mengeluarkan sertifikat. Dia menekankan bahwa tujuan utama dari sertifikasi adalah peningkatan kualitas hidup dan peningkatan daya saing.
“Jadi, jangan hanya sekadar melihat verifikasi dan mengeluarkan sertifikat, ini merupakan suatu hal yang sederhana. Kembali lagi kepada tujuan utamanya,” kata Donny saat seminar yang diselenggarakan Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo), di Jakarta, Senin (20/3/2023).
Donny menjelaskan, untuk mendukung transformasi SVLK dan simplifikasi terhadap sistem yang sudah berlangsung, maka akreditasi yang dilakukan KAN terhadap LPPHPL dan LVLK akan berubah dan menjadi satu jadi LPVI. Penyatuan ini akan sangat menguntungkan bagi LPVI, karena selain akan menghemat biaya akreditasi, juga akan membuat pelaksanaan penilaian dapat dilakukan secara bersamaan.
Donny menyatakan, dengan adanya penyatuan sistem ini, maka dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas pengoperasian sistem, lebih mudah dan cepat dengan kualitas dan harapan meningkat baik, serta diharapkan satu kali asesmen selesai. Sugiharto