Darori Wonodipuro, Dirjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Kementerian Kehutanan 2007-2014, yang kini menjadi anggota Komisi IV DPR, tahu betul bagaimana sulitnya memberantas pembalakan liar. Berbagai jurus pernah dikeluarkan untuk menghentikan kegiatan haram tersebut.
Diantara jurus tersebut adalah diterbitkannya Instruksi Presiden No 4 tahun 2005 tentang Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan Peredarannya yang diteken Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ada juga satuan tugas terpadu yang melibatkan lintas instansi dan penegak hukum, mulai dari aparat Kementerian Kehutanan (sekarang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan/KLHK), Polisi hingga TNI.
Tapi illegal logging tak mudah dikendalikan. “Berat. Bahkan untuk koordinasi saja sulit, malah dimanfaatkan oknum,” kata Darori yang berasal dari Fraksi Partai Gerindra, Jumat (10/4/2020).
Dia melanjutkan, upaya pengendalian pembalakan liar menunjukan hasilnya ketika Indonesia mulai memberlakukan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Sistem ini memberi jaminan produk kayu yang diperdagangkan berasal dari sumber yang sah dan dikelola sesuai dengan sistem silvikultur yang baik.
“Setelah ada SVLK, illegal logging turun. Pabrik pengolahan kayu tidak bisa menerima kayu tanpa dokumen yang sah,” katanya.
SVLK mulai dibangun pada tahun 2001 pasca Deklarasi Bali tentang Penegakan Hukum Kehutanan dan Pemerintahan. Indonesia sebagai Negara produsen kayu menyatakan komitmen untuk memperbaiki tata kelola hutan dan mendorong perdagangan kayu legal. Sejak itu standard legalitas kayu dikembangkan dengan melibatkan multi pihak. Pemerintah, pelaku bisnis, akademisi, LSM, dan masyarakat, ikut terlibat.
Lalu pada 2009, Menteri Kehutanan MS Kaban menerbitkan Peraturan Menteri Kehutanan P.38/2009 tentang standar penilaian kinerja penggelolaan hutan produksi dan verifikasi legalitas kayu. Inilah tonggak awal pemberlakukan SVLK.
SVLK kemudian mulai diberlakukan dari hulu ke hilir secara bertahap mulai tahun 2012. SVLK direkognisi dalam Peraturan Menteri Perdagangan 64/2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan.
Tahun 2016, SVLK diberlakukan secara penuh setelah terbitnya Permendag 84/2016 (yang lalu diubah dengan Permendag 38/2017) tentang Ketentuan Ekspor Industri Kehutanan. Berdasarkan ketentuan itu, bubur kayu (pulp), kayu lapis (plywood), kayu pertukangan (woodworking), hingga mebel (furniture) wajib menyertakan dokumen sertifikat legalitas kayu (SLK/V Legal) yang diterbitkan berdasarkan SVLK, dalam proses ekspor.
Klaim Darori soal SVLK berhasil meredakan illegal logging dibuktikan oleh Pusat Studi Kehutanan Internasional, CIFOR. Dalam publikasi yang diterbitkan Juli, 2019, CIFOR mengungkap proporsi kayu ilegal dalam ekspor kayu Indonesia turun jauh dari 80% pada 2006, menjadi di bawah 29,1% pada tahun 2019. Berarti ada penurunan sebesar 60,9%.
Itu sebabnya, Darori mempertanyakan langkah dicabutnya pemberlakuan SVLK secara penuh oleh Menteri Perdagangan Agus Suparmanto lewat Permendag 15/2020 yang diterbitkan pada 18 Februari 2020. Berdasarkan permendag tersebut, dokumen V Legal tak lagi menjadi persyaratan ekspor produk industri kehutanan.
Menurut Darori, SVLK yang tak lagi berlaku penuh bisa membuat pembalakan liar kembali marak. “Kayu ilegal bisa meningkat lagi, kerusakan hutan bisa bertambah,” cetus Darori.
Dia mempertanyakan langkah Menteri Agus Suparmanto dalam membuat kebijakan yang sesungguhnya menjadi otoritas kementerian lain. Menurut dia, legalitas kayu menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Ini mencakup seluruh titik dalam pemanfaatan dan perdagangan kayu, termasuk dalam ekspor. Permendag seharusnya merujuk pada kebijakan yang diambil oleh KLHK.
“Sama halnya ketika ada permendag yang mengatur impor produk hortikultura tanpa persetujuan Kementan. Ini tidak tepat, karena berdasarkan undang-undang itu kewenangan Kementan,” katanya.
Ekspor Meningkat
Darori mengingatkan, SVLK adalah komitmen untuk mengurangi mengurangi illegal logging yang dinyatakan Indonesia kepada dunia internasional. Komitmen itu juga terbukti mendukung peningkatan ekspor produk industri kehutanan Indonesia ke pasar global.
Berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) KLHK, ekspor produk industri kehutanan Indonesia memang moncer sejak SVLK diberlakukan. Pada tahun 2013, ketika SVLK pertama kali berlaku hulu-hilir, ekspor produk kayu tercatat 6 miliar dolar AS. Nilainya melompat hingga dua kali lipat pada tahun 2018 hingga mencapai 12,13 miliar dolar AS dan pada tahun 2019 sebesar 11,62 miliar dolar AS.
Darori juga mempertanyakan jika pencabutan pemberlakuan SVLK secara penuh sebagai upaya peningkatan ekspor di tengah pandemi COVID-19. “Apa hubungannya?,” sergah dia.
Kenyataanya, meski ada pandemi penyakit yang berawal di Wuhan, China, ekspor produk kayu sejauh ini masih stabil. Data SILK KLHK sepanjang 3 bulan terakhir saat pandemi COVID-19 menyebar secara global dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, menunjukan ekspor produk kayu Indonesia masih stabil cenderung naik.
Pada Desember tahun 2019 ekspor produk kayu tercatat sebanyak 971,3 juta dolar AS naik 7,05% jika dibandingkan Desember 2018 yang sebesar 907,3 juta dolar AS. Pada Januari 2020, ekspor tercatat sebesar 928,2 juta dolar dolar AS naik 2,73% dibandingkan Januari 2019 yang sebesar 903,6 juta dolar AS. Sementara pada Februari 2020, ekspor tercatat sebesar 904,8 juta dolar AS, naik 4,07% dibandingkan Februari 2019 yang sebesar 869,4 juta dolar AS.
Kenaikan ekspor justru paling dinikmati oleh produk furnitur. Pada Desember tahun 2019 ekspor furnitur kayu tercatat sebesar 129,4 juta dolar AS, naik 3,96% dibanding Desember 2018 yang sebesar 124,5 juta dolar AS. Pada Januari 2020 ekspor furnitur kayu sebesar 132,9 juta dolar AS naik 0,24% dari catatan Januari 2019 yang sebesar 132,6 juta dolar AS. Sementara pada Februari 2020 ekspor furnitur sebesar 137,7 juta dolar AS naik 16,6% dibandingkan Februari 2019 yang sebesar 118,14 juta dolar AS (lihat tabel)
Terhadap Permendag 15/2020, Darori menuturkan, saat rapat kerja virtual, Rabu (8/4/2020), dirinya sudah meinta agar Menteri LHK Siti Nurbaya dan jajarannya melakukan pendalaman kepada Kementerian Perdagangan. “Jika tidak direspons, lapor ke Menko Perekonomian. Jika tidak direspons juga, lapor ke Presiden,” tegas Darori.
Protes
Sejumlah pihak sudah menyatakan keberatan terhadap terbitnya Permendag 15/2020. Koalisi masyarakat sipil yang bergerak dalam pemantauan implementasi SVLK sudah melayangkan surat terbuka kepada Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, Jumat (20/3/2020), untuk segera memerintahkan pencabutan atau revisi permendag tersebut.
Abu Meridian dari Kaoem Telapak mengatakan, penerbitan Permendag 15/2020 mengisyaratkan gagalnya komitmen Indonesia dalam penghentian perdagangan kayu ilegal melalui pelaksanaan SVLK secara menyeluruh. Sistem yang dibangun sejak hampir 20 tahun yang lalu melalui pelibatan para pihak ini, menggunakan prinsip legalitas, keterlacakan dan keberlanjutan dalam produksi dan perdagangan kayu, dari hulu ke hilir, termasuk ekspor. Pemberlakuan SVLK adalah untuk memberikan kepastian legalitas produk kayu Indonesia baik untuk pasar domestik maupun pasar global. “Indonesia telah dikenal sebagai negara pelopor yang berhasil mereformasi sektor perkayuan yang dulu didominasi praktek ilegal. Keberhasilan ini diakui oleh Uni Eropa melalui perjanjian perdagangan kayu legal dengan Indonesia (FLEGT-VPA),” jelas Abu, Kamis (26/3/2020).
Sementara itu Michael Bucki, Konselor Perubahan Iklim dan Lingkunan Hidup Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia menyatakan pihaknya sedang dalam upaya meminta penjelasan resmi terkait permendag tersebut.
Sugiharto