Pemerintah Sisir ‘Dosa’ Perusahaan Singapura

Dirjen Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Ridho Sani tertawa ketika ditanya kesiapannya jika Singapura melakukan investigasi bahkan menahannya. Dalam nada canda, Roy, demikian panggilan akrabnya mempersilakan rekan-rekan wartawan untuk menjenguknya. “Nanti menjenguknya di Singapura, ha ha ha,..,” katanya sambil tertawa, saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis (26/5/2016).

Pertanyaan yang diajukan kepada Roy memang terkesan absurd. Namun, kenyataannya, situasi tersebut benar-benar bisa terjadi. Berdasarkan Undang-undang Pencemaran Asap Lintas Batas (THPA) yang disahkan tahun 2014, Singapura bisa melakukan investigasi kepada individu atau entitas (termasuk perusahaan) yang dicurigai menyebabkan pencemaran udara di negeri jiran itu. Hebatnya, THPA bersifat ekstra teritorial. Ini artinya, UU tersebut menjangkau jauh hingga ke luar wilayah administrasi Singapura. Jadi, individu dan entitas di Indonesia pun termasuk yang dibidik.

Terbukti, pengadilan Singapura sudah melansir surat panggilan kepada satu orang warga negara Indonesia (WNI) atas permintaan Badan Lingkungan Hidup Singapura (NEA), Rabu (11/5/2016). Jika surat panggilan pengadilan itu tak diindahkan, WNI tersebut terancam ditangkap ketika masuk ke wilayah Singapura.

Kebetulan WNI tersebut adalah direktur salah satu perusahan di Indonesia. Namun, bukan tak mungkin jika suatu saat pejabat pemerintahan Indonesia yang akan diinvestigasi bahkan ditahan, karena dinilai lalai menjalankan tugasnya sehingga  menyebabkan pencemaran asap di Singapura (lihat boks).

Situasi yang berkembang itu rupanya membuat Indonesia tak senang. Apalagi, Singapura terus bising di berbagai fora internasional, menyoal langkah-langkah Indonesia dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan.

Protes keras sudah dinyatakan lewat Kementerian Luar Negeri. “Kita Indonesia sudah melakukan protes keras melalui duta besar kita di sana. Kita menekankan aturan yang diterapkan Singapura, jangan sampai merugikan perdagangan dan kerja sama yang baik saat ini khususnya perusahaan kita,” jelas juru bicara Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Arrmanatha Nasir saat briefing dengan media di Jakarta, Kamis (12/5/2016).

Keberatan Indonesia sejatinya sudah disampaikan ketika THPA diundangkan Singapura, pertengahan tahun 2014. “Pemerintah kita sudah sejak awal menyampaikan keberatan dari aturan yang diterapkan di Singapura. Kita terus berkonsultasi, masih berkonsultasi agar penerapan aturan ini tidak merugikan perusahaan Indonesia dan kerja sama perdagangan kedua negara secara umum,” tegas Arrmanatha.

Semetara itu Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya juga mengambil respons tegas atas situasi yang berkembang. “Kami serius atas persoalan ini,” katanya ketika disambangi usai rapat kerja dengan Komisi VII DPR, Selasa (31/5/2016).

Indonesia sudah berbuat

Wajar jika Kementerian LHK menyikapi persoalan ini secara serius. Manuver Singapura dinilai tidak menghormati langkah-langkah yang sudah dilakukan pemerintah Indonesia dalam pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Termasuk langkah-langkah penegakan hukum yang sudah diambil.

“Singapura sepatutnya menghormati (Indonesia),” cetus Sekjen Kementerian LHK Bambang Hendroyono.

Dia menegaskan pemerintah Indonesia hadir untuk mengendalikan kebakaran hutan dan lahan. Upaya penegakan hukum pada tingkat yang belum pernah tercapai sebelumnya, bahkan sudah ditegakan. Sebut saja pencabutan izin sejumlah perusahaan. Ada juga perusahaan yang dibekukan operasionalnya hingga tiga bulan, sampai perusahaan itu memperbaiki sistem pengendalian kebakaran lahannya. “Pembekuan operasional hingga tiga bulan itu tidak main-main,” kata Bambang.

Tuntutan perdata dengan nilai miliaran rupiah juga dikejar pemerintah Indonesia bagi perusahaan yang diduga membakar lahan. Tak berhenti di situ, pemerintah juga mengajukan tuntutan pidana bagi mereka yang diduga pelaku pembakaran hutan dan lahan. Selain penegakan hukum, pembenahan tata kelola untuk mencegah kebakaran hutan dan lahan di tingkat tapak juga sudah dilakukan.

Bambang mengingatkan tentang adanya perjanjian ASEAN untuk pencemaran asap lintas batas. Sesuai perjanjian tersebut persoalan tentang polusi asap akan dibahas secara diplomasi antarnegara. Bambang menekankan tentang perlunya peningkatan komunikasi antara Singapura dan Indonesia. “Kami harapkan komunikasi government to government bersama Singapura bahwa kedua negara memiliki komitmen yang sama mengatasi kebakaran hutan dan pencemaran asap,” ujar Bambang.

Evaluasi

Indonesaia akhirnya juga tidak diam. Langkah serius Kementerian LHK yang diambil salah satunya adalah mengevaluasi kerjasama sektor kehutanan antara Indonesia-Singapura. Staf Ahli Menteri LHK bidang Ekonomi Sumber Daya Alam Agus Justianto mengungkapkan, Kementerian LHK sudah mengirimkan radiogram kepada seluruh kepala daerah se-Indonesia untuk melakukan evaluasi kerjasama dengan Singapura. Termasuk kerjasama yang terkait pengendalian kebakaran hutan dan lahan. “Jika ada yang bertentangan, tentu kerjasama itu harus diputus,” kata Agus saat diskusi “Lampu Kuning Hubungan Bisnis RI-Singapura”.

Yang lebih keras, Kementerian LHK saat ini sedang menelusuri perusahaan-perusahaan Singapura yang memiliki konsesi di Indonesia. Mereka diintai dan akan dijatuhkan sanksi tegas jika terungkap melakukan pelanggaran. Boleh jadi ini adalah aksi balasan terhadap langkah hukum yang dilakukan Singapura terhadap perusahaan Indonesia.

Agus mengungkapkan, penelusuran perusahaan Singapura dilakukan seiring kebijakan moratorium kebun sawit yang dicetuskan Presiden Joko Widodo. Data Kementerian LHK mengungkapkan, saat ini ada 61 perusahaan yang mengajukan pelepasan kawasan hutan dengan luas areal hampir 1 juta hektare. Ditengarai, tak semua perusahaan itu serius membangun kebun sawit, melainkan hanya bertujuan untuk menguasai lahan dan selanjutnya dijual kembali.

“Ini menjadikan adanya land banking oleh perusahan-perusahan Singapura,” kata Agus.

Sinyalemen itu tak lepas dari fakta yang diungkap Ditjen Planologi Kehutanan dan tata Lingkungan Kementerian LHK tentang adanya tujuh perusahaan sawit di Papua, yang melepas kepemilikan lahannya kepada asing, termasuk Singapura. Tujuh perusahaan itu sebelumnya mendapatkan konsesi kebun pada tahun 2011 dengan modal hanya sekitar 40 juta dolar AS. Konsesi kebun itu kemudian tak dioperasionalkan sampai kemudian dijual pada tahun 2016 dengan nilai mencapai 280 juta dolar AS. Sugiharto

Kisah Paksaan Singapura terhadap WNI

Maksud hati ingin berlibur, apa daya malah berurusan dengan hukum. Itulah yang dialami direktur salah satu perusahaan Indonesia ketika berkunjung ke Singapura, 4 April 2016. Setelah melakukan perjalanan bisnis, direktur yang berstatus Warga Negara Indonesia itu masuk ke Singapura untuk berlibur.

Tak dinyana, Badan Lingkungan Hidup Singapura, NEA, sudah memantau pergerakannya. Tepat di depan apartemen tempatnya menginap, aparat NEA bersama otoritas hukum setempat mencegat sang direktur.

NEA menyerahkan surat pemberitahuan yang intinya sang direktur harus menyediakan informasi terkait kabut asap yang terjadi. Informasi tersebut harus sudah tersedia pada saat investigasi lanjutan.

Direktur itu tak serta merta menerima surat pemberitahuan tersebut. Selain tak didampingi penasehat hukum, sebagai WNI dia juga merasa perlu untuk berkonsultasi dengan Kedutaan Besar Republik Indonesia di Singapura. Namun, NEA menghalang-halangi upaya sang direktur untuk melakukan haknya sebagai warga negara sebuah negeri yang berdaulat, Indonesia. Dengan terpaksa, sang direktur akhirnya menerima surat pemberitahuan tersebut.

Meski demikian, sang direktur tak mau tunduk begitu saja dengan tidak menghadiri investigasi lanjutan pada tanggal yang sebelumnya ditentukan oleh NEA. “Dia tak hadir,” kata sumber Agro Indonesia di internal perusahaan itu.

Terhadap persoalan ini, pemerintah Indonesia sudah melakukan pendekatan kepada pemerintah Singapura agar kasus ini diselesaikan melalui pendekatan diplomasi. Namun, rupanya, permintaan Indonesia dianggap angin lalu. Singapura dengan gagah mengumumkan telah mengambil langkah-langkah terhadap sejumlah perusahaan Indonesia sebagai implementasi dari THPA.

Salah satu pengumuman itu dilakukan Menteri Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Air Singapura Masagos Zulkifli saat 3rd Singapore Dialogue on Sustainable World Resources yang digelar di The Ritz Carlton-Millenia, Singapura, Jumat (15/4/2016). Dalam pertemuan itu juga hadir Kepala Badan Restorasi Gambut (BRG), Nazir Foead.

NEA lewat juru bicaranya akhirnya mengeluarkan surat perintah pengadilan terhadap sang direktur perusahaan itu, Rabu (11/5/2016). Pemerintah Indonesia pun kemudian merespons keras langkah-langkah yag diambil Singapura. Sugiharto