Respons serius pemerintah Indonesia terhadap langkah Singapura yang mengimplementasikan THPA mendapat dukungan berbagai kalangan di tanah air. Meski demikian, pemerintah juga diingatkan agar menuntaskan langkah-langkah pengendalian kebakaran hutan dan lahan hingga tak berulang di masa depan.
Guru besar hukum internasional Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana menyatakan, Indonesia memiliki tanggung jawab untuk menuntaskan persoalan kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di dalam negeri. Meski demikian, langkah yang diambil Singapura dengan mengimplementasikan THPA adalah langkah yang arogan.
“Pantas untuk pemerintah Indonesia melakukan protes keras dan marah,” kata Hikmahanto, Senin (30/5/2016).
Dia menuturkan, informasi yang diterimanya mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia sejatinya sudah menyampaikan protes. Namun, Badan Lingkungan Hidup Singapura (NEA) ternyata tetap meneruskan proses peradilan terhadap WNI. “Dari pihak kedutaan kita di Singapura sudah bertemu menteri lingkungan hidup Singapura. Ini sudah dilakukan, tapi masih terus dilakukan proses ke pengadilan seolah-olah Singapura dan NEA tidak mau menjaga hubungan baik dengan Indonesia,” kata dia.
Hikmahanto menuturkan, langkah Singapura memberlakukan THPA boleh jadi karena frustasi dalam menghadapi persoalan polusi asap. Rasa frustasi itu membuat Singapura bertindak seolah-olah negara besar yang menindas negara kecil. Namun, Hikmahanto menyatakan langkah itu melangkahi batas-batas kedaulatan negara.
“Langkah itu menyalahi isi Piagam ASEAN tentang menghormati kemerdekaan, kedaulatan, kesetaraan, integritas wilayah, dan identitas nasional seluruh negara anggota ASEAN,” katanya.
Hikmahanto menyatakan, jika ingin mendapatkan informasi dari perusahaan Indonesia yang diduga bertanggung jawab atas bencana asap 2015, pemerintah Singapura seharusnya bekerja sama dengan otoritas Indonesia di Singapura. Pemerintah Indonesia pun harus siap dan terbuka.
Ancam kedaulatan
Sementara pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Saldi Isra menilai, apa yang dilakukan Singapura telah mengancam kedaulatan hukum pidana yang berlaku di Indonesia serta menyalahi prinsip-prinsip hukum pidana internasional.
“Sebuah negara berdaulat tidak bisa menerapkan hukum mereka untuk menindak pelaku kejahatan yang dilakukan oleh warga negara lain di luar wilayah negara tersebut. Otoritas hukum yang dibuat pemerintah berdaulat hanya berlaku bagi warga negaranya,” ujar Saldi.
Senada Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Mahfud MD menyatakan, undang-undang yang dijalankan oleh Singapura tersebut telah menyinggung rasa berdaulat Indonesia sebagai suatu bangsa, karena kedaulatan dan penegakan hukum dilanggar.
Mahfud menjelaskan, berdasarkan prinsip yang sifatnya universal, setiap tindak pidana yang terjadi di suatu negara diadili oleh negara di mana kejahatan itu dilakukan. Artinya, jika pembakaran hutan terjadi di Indonesia, maka penanganan kasus atau tindakan hukum harus dilakukan pemerintah Indonesia, dan bukan negara lain.
“Dalam konteks kasus asap, jika menggunakan perluasan asas teritorial subyektif, maka yang menangani kasus tersebut secara pidana adalah Indonesia. Hak Indonesia lebih kuat karena pelaku adalah warga negara Indonesia dan kejahatan dilakukan di Indonesia,” kata Mahfud.
Atas dasar prinsip tindak pidana itu, Mahfud menyerukan agar pemerintah Indonesia benar-benar mengadili pembakar lahan. Langkah ini membawa dua manfaat. Pertama, meyakinkan negara-negara tetangga bahwa kita menegakan hukum sendiri, sehingga mereka tidak perlu bereaksi berlebihan seperti yang sudah dilakukan Singapura. Manfaat kedua adalah, penegakan hukum yang sudah dilakukan bisa menjadi alat eksepsi bahwa langkah yang dilakukan Singpaura adalah ne bis in idem. “Jika pelaku satu kejahatan sudah diadili, maka pengadilan lain, di manapun, tidak bisa mengadili perkara itu lagi,” katanya.
Langkah tegas diplomatik
Mahfud juga menyerukan pemerintah Indonesia untuk mengambil langkah-langkah diplomatik yang lebih tegas. Pemerintah Indonesia harus menyampaikan sikap bahwa sebagai negara tetangga dan negara sahabat harus menghargai hukum Indonesia. Singapura tidak boleh melakukan tindakan hukum sepihak yang menodai kedaulatan hukum Indonesia. “Jika hubungan memburuk, tentu yang rugi adalah kedua negara,” katanya.
Desakan agar pemerintah Indonesia mengambil langkah lebih serius terhadap Singapura juga datang dari parlemen. Anggota Komisis I DPR, TB Hasanudin menilai sikap Singapura sangat keterlaluan. “Seharusnya sebagai negara bertetangga yang baik, terlebih dalam satu rumpun dan tergabung dalam ASEAN, Singapura tidak boleh bertindak arogan,” katanya.
Hasanudin mengungkapkan pasang surut hubungan diplomasi Indonesia-Singapura. Mulai dari soal nama kapal perang Indonesia, KRI Usman-Harun hingga terakhir soal klaim Pulau Manis.
Menurut Hasanudin, Singapura seharusnya mengutamakan hubungan bilateral yang lebih santun dan tidak bereaksi berlebihan. Hubungan kedua negara harus terjalin saling menghargai dan tidak mengutamakan kekuatan. Hubungan kedua negara seharusnya dilandasi saling membutuhkan,” katanya. Sugiharto
Singapura Menjawab Keberatan Indonesia
Merespons keberatan Indonesia, Kementerian Luar Negeri Singapura melalui pernyataan yang dikirim ke media, Jumat (13/5/2016) menjelaskan, pengadilan di bawah THPA bertujuan untuk mengadili dan mencegah semua pihak yang bertanggung jawab atas polusi lintas batas kabut asap di Singapura termasuk perusahaan asing atau Singapura.
Singapura juga mengklaim THPA konsisten dengan hukum internasional. Di dalamnya juga sudah diatur mekanisme bagi negara-negara untuk mengambil tindakan yang tepat untuk melindungi diri dari tindakan eksternal yang menyebabkan kerusakan dalam negerinya.
“Jadi, tidak melanggar batas kedaulatan negara tertentu. THPA bisa menindak perusahaan bandel untuk bertanggung jawab atas tindakan yang telah mempengaruhi kesejahteraan masyarakat di wilayah tersebut, termasuk masyarakat Indonesia yang telah terparah. Oleh karena itu, kami heran mengapa Indonesia tidak menyambut upaya ini,” tulis Kemlu Singapura dalam rilis tersebut.
Singapura juga telah berulang kali meminta Pemerintah Indonesia berbagi informasi nama-nama perusahaan yang diduga membakar lahan secara ilegal di Indonesia, sehingga investigasi dan tindakan yang tepat dapat diambil terhadap mereka di bawah THPA tersebut.
“Kami sebenarnya sudah memberitahu Pemerintah Indonesia mengenai perusahaan yang telah masuk dalam laporan THPA pemberitahuan. Tapi belum ditanggapi. Kami tetap berkomitmen untuk bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah kabut dalam semangat kerjasama dan saling menghormati hukum masing-masing,” demikian bunyi rilis tersebut. Sugiharto