Volume pupuk subsidi terus berkurang. Jika selama ini pupuk subsidi dialokasikan sebanyak 9,55 juta ton, maka tahun 2019 turun menjadi 8,6 juta ton. Tahun 2020 mendatang alokasi turun lagi menjadi 7,9 juta ton.
“Alokasi pupuk subsidi disesuaikan dengan luas tanam,” kata Direktur Pupuk dan Pestisida, Kementerian Pertanian (Kementan), Muhrizal Sarwani, kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (30/8/2019).
Alokasi pupuk subsidi tahun 2019 jumlah lebih kecil dibandingkan tahun 2018. Berdasarkan Permentan No 47/2018 tentang tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Pupuk Bersubsidi Tahun 2019 sebanyak 8,87 juta ton.
Tahun sebelumnya yaitu 2018, alokasi pupuk subsidi mencapai 9,55 juta ton. Perubahan alokasi ini karena berbasis luas baku lahan. Alokasi pupuk tahun lalu, berdasarkan luas baku lahan pertanian BPN tahun 2013 mencapai lebih dari 8 juta ha.
Sedangan alokasi pupuk subsidi tahun 2019 berdasarkan pada luas baku lahan pertanian Badan Pertanahan Nasional (BPN) tahun 2018 yang mencapai 7,1 juta ha.
Kementerian Pertanian (Kementan) sebenarnya sudah mengalokasikan kebutuhan pupuk tahun ini sama dengan tahun sebelumnya. Hal ini terlihat dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2019 menyebutkan alokasi sebesar 9,55 juta ton.
Rincian dari DIPA tahun 2019 adalah Urea 4,1 juta ton, SP-36 sebanyak 850 ribu ton, ZA sebanyak 1,05 juta ton, NPK tercatat 2,55 juta ton, dan Organik 1 juta ton.
Namun dalam Permentan No 47/2018, yang berbasis luas baku lahan pertanian tahun 2018, rincian kebutuhan pupuk subsidi Urea sebesar 3,825 juta ton, SP-36 sebanyak 779.000 ton, ZA tercatat 996.000 ton, NPK sebesar 2,326 ribu ton dan organik 948.000 ton.
“Ini berbeda karena DIPA berdasarkan serapan tahun sebelumnya, sedangkan Permentan berdasarkan proposional luas baku lahan,” katanya.
Di mengatakan, pupuk subsidi yang dialokasikan pemerintah jumlahnya terbatas. Petani harus bisa memanfaatkan sebaik mungkin. Selain itu, petani juga bisa memanfaatkan pupuk organik untuk memulihkan kondisi lahan.
“Walau ketersediaan pupuk bersubsidi masih kurang, tapi kalau tidak disediakan, petani bisa komplen. Sebenarnya, pupuk bersubsidi yang dibutuhkan sebanyak 12-13 juta ton/tahun. Namun, yang disediakan hanya 8,847 juta ton,” tegasnya.
Muhrizal mengatakan, untuk mengatasi hal ini, Badan Litbang Pertanian sedang melakukan kajian apa ada unsur yang bisa dikurangi atau ditambah. “Bisa saja kita kurangi P (Pospat) dan K (Kalium) dalam pupuk NPK,” tegasnya.
Dia menambahkan, jika komposisi NPK 15-15-15, maka bisa dikurang menjadi NPK 15-10-10. Pengurangan komposisi ini bisa dialihkan untuk menambah volume pupuk subsidi. Namun, katanya, semua kemungkinan masih dikaji.
Sehubungan dengan kajian tersebut, Muhrizal belum bisa memastikan apakah pengurangan volume pupuk subsidi ini berpengaruh terhadap produktivitas tanaman. “Yang pasti, jumlah petani atau kelompok tani yang mendapat jatah pupuk subsidi juga berkurang,” tegasnya.
Dia juga menyebutkan, realisasi penyaluran pupuk subsidi per 25 Agustus 2019 sudah mencapai 64,8% dari alokasi setahun sebanyak 8,8 juta ton. Rinciannya, urea sudah terealisasi 2,46 juta ton (64,4%) dari alokasi setahun 3.825.000 ton; SP-36 dari alokasi sebanyak 779.000 ton sudah terserap sebanyak 566,6 ribu ton (72,7%).
Sedangkan untuk pupuk ZA, dari alokasi 996.000 ton sudah tersalurkan 610,6 ribu ton (61,3%); NPK alokasi sebanyak 2.326.000 ton sudah terealisasi sebanyak 1,63 juta ton (70,1%); dan pupuk organik alokasi 948.000 ton sudah tersalurkan 477,7 ribu ton (50,4%).
Harus tetap disubsidi
Ketua Umum Kontak Tani Nelayan Andalan (KTNA), Winarno Tohir mengatakan, pupuk tetap harus disubsidi agar petani terus bersemangat dalam berusaha tani. Apabila tidak ada subsidi, maka tidak ada kontrol dari pemerintah dan harga pupuk akan menjadi tidak terkendali.
“Kebijakan pemberian subsidi pupuk bertujuan untuk pemenuhan kebutuhan pupuk oleh petani sesuai dengan rekomendasi (Permentan 47/2018 tentang Alokasi dan HET Pupuk Bersubsidi Sektor Pertanian),” jelasnya kepada Agro Indonesia di Jakarta, Sabtu (31/8/2019).
Tidak hanya itu. Kebijakan subsidi pupuk juga bertujuan untuk mendukung penerapan pemupukan sesuai dosis yang direkomendasi oleh kementarian teknis, sehingga diharapkan produktivitas usaha tani dan pendapatan petani meningkat.
“Pupuk merupakan salah satu faktor produksi yang sangat menentukan produksi dan produktivitas pertanian. Ketersediaan pupuk di lapangan, baik dari segi kualitas, kuantitas dan harga yang terjangkau menjadi salah satu syarat yang harus dapat dijamin oleh pemerintah,” terang Winarno.
Menteri Pertanian periode 2000-2004, Bungaran Saragih mengatakan, petani Indonesia masih membutuhkan subsidi pupuk. Karena itu, pemerintah perlu mempertahan kebijakan tersebut agar produksi pangan dapat dipertahankan dan ditingkatkan.
“Jika pangan terganggu, dengan cepat merambat pada masalah ekonomi, sosial, politik dan keamanan negara. Banyak pemimpin dunia, termasuk Indonesia, jatuh karena dipicu oleh masalah pangan,” katanya.
Dia mengatakan, sedikitnya ada lima alasan Indonesia masih memerlukan subsidi pupuk. Pertama, negara-negara maju masih memberikan subsidi yang cukup besar bagi petani dan pertaniannya. Amerika Serikat, Uni Eropa, India, China, dan lainnya tetap memberikan subsidi bagi petani dan pertaniannya, bahkan cenderung meningkat dari tahun ke tahun.
Bahkan, lanjutnya, perkembangan mutakhir dalam perang dagang saat ini, kembali pada era proteksionis yang memberi berbagai perlindungan bagi pertanian masing-masing negara.
“Jika pertanian kita tidak lindungi, adalah tidak adil jika petani dan pertanian kita harus bersaing dengan pertanian dari negara-negara lain yang justru memperoleh berbagai subsidi dan perlindungan dari pemerintahnya,” jelasnya.
Kedua, petani bukan berada di sekitar perkotaan atau di sekitar jalan-jalan raya. Petani sebagian besar berada di pedesaan pelosok, pinggiran, di pegunungan.
“Jika pupuk tidak disubsidi dan dibiarkan hanya mekanisme pasar murni, bekerja mendistribusikan pupuk ke petani, maka pupuk hanya akan sampai atau menjangkau sekitar 30% petani kita, yakni di sekitar perkotaan atau sekitar jalan raya,” ujar Bungaran.
Ketiga, industri pupuk BUMN yang ditugaskan pemerintah untuk memproduksi dan menyalurkan pupuk ke tingkat petani (lini IV) membayar gas dengan harga yang lebih mahal dari harga internasional.
Adapun produksi pupuk Urea, sekitar 70% adalah biaya gas. Harga gas yang diterima pabrik pupuk BUMN sekitar 6-8 dolar AS/MMBTU, yakni sekitar dua kali lipat dari harga gas internasional (3-4 dolar AS/MMBTU).
“Oleh karena itu, subsidi pupuk yang diberikan pemerintah selama ini sekitar 30% adalah diterima pemasok gas,” tandasnya.
Keempat, petani masih tergolong kelompok atau sektor yang paling rendah pendapatannya, bahkan sebagian tergolong miskin. Untuk itu, katanya, subsidi petani merupakan salah satu cara untuk membantu petani dan pertanian.
Kelima, beras masih merupakan pengeluaran masyarakat yang cukup besar dalam pengeluaran penduduk Indonesia saat ini. Oleh karena itu, subsidi pertanian termasuk subsidi pupuk, merupakan biaya publik untuk memastikan ketersediaan beras secara 6 tepat (jumlah, jenis, kualitas, harga, tempat, kontinuitas) untuk masyarakat konsumen beras, sekaligus bentuk kehadiran kedaulatan negara baik untuk masyarakat petani dan masyarakat konsumen.
Ibnu Multazam, Kapoksi Komisi IV DPR Fraksi PKB mengatakan, pupuk kimia awalnya diperkenalkan untuk meningkatkan produksi. Namun, lama-kelamaan baik tanah, petani, produsen pupuk semakin tergantung ke pupuk kimia.
Pada waktu bersamaan, lanjutnya, pengolahan tanah mengabaikan pengolahan yang baik, jerami dibakar, populasi ternak berkurang daun-daun tidak dimanfaatkan. “Perlu dukungan untuk mengakselerasi penggunaan pupuk organik, salah satunya melalui pemberian bantuan combine harvester untuk mengembalikan jerami ke lahan,” tegasnya.
Dia menyebutkan, pupuk merupakan indikator vital dalam meningkatkan produktivitas untuk menjamin tercapainya kedaulatan pangan. Ketersediaan pupuk merupakan faktor produksi penting dalam pertanian.
“Kebijakan pupuk subsidi berfungsi untuk menjaga stabilitas harga dan ketersediaan pupuk harus 6 tepat,” katanya di Jakarta, Rabu (28/9/2019).
Dia mengatakan, kebijakan pupuk adalah pengembangan pemupukan berimbang spesifik lokasi melalui penggunaan pupuk majemuk dan pupuk organik. Di samping itu, meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk kimia melalui penerapan penyaluran secara berkelompok menggunakan RDKK/Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok
Pupuk nonsubsidi
Sekjen Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia (APPI) Dadang Heru Kodri pernah mengatakan, pengurangan pupuk subsidi tersebut akan diimbangi peningkatan pasok pupuk nonsubsidi. Dengan demikian, untuk penjualan pupuk, tidak berpengaruh.
Dia menyebutkan, penjualan pupuk pada tahun ini tidak akan berubah dibandingkan dengan realisasi tahun lalu. Adapun tingkat serapan pasar terhadap produksi pupuk pada tahun lalu mencapai 96,62% atau 12 juta ton.
“Sesuai dengan program Kementan, turun sedikit alokasi subsidi pupuk. Komposisi pupuk urea dan NPK hampir sama dengan tahun lalu,” katanya.
Dadang menyampaikan, pemerintah dapat mencoba menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk untuk meningkatkan penggunaan pupuk Nitrogen Phosphat Kalium (NPK). Namun demikian, imbuhnya, kenaikan tersebut hanya dapat dilakukan jika daya beli petani membaik.
Dadang mengutarakan, sistem distribusi pupuk subsidi saat ini sudah cukup baik meski tidak semua petani yang yang butuh mendapatkan pupuk subsidi. Menurutnya, hal tersebut terjadi karena masih ada segelintir petani yang belum memenuhi persyaratan mendapatkan pupuk subsidi. PSP