Peredaran pestisida palsu dan ilegal masih marak. Ini tantangan bagi aparat kepolisian dan Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP-3) untuk mengatasinya.
Hasil survei Insight Asia menyebutkan, sekitar 26% petani Indonesia pernah membeli pestisida palsu. Hal ini tidak bisa dibiarkan karena akan merugikan petani.
Chairman Croplife Indonesia, Kukuh Ambar Waluyo menilai, pemalsuan pestisida merupakan masalah serius. Bahkan, hasil survey Insight Asia, sekitar 26% petani Indonesia pernah membeli pestisida palsu.
“Jika total petani Indonesia sebanyak 40 juta orang, maka diperkirakan 10 juta petani pernah membeli pestisda palsu,” katanya saat Seminar Sinergi Lintas Sektoral dalam Pengawasan Produk Palsu dan Ilegal di Jakarta, Selasa (27/8/2019).
Menurut Kukuh, dengan membeli pestisida palsu, petani yang sebelumnya berharap bisa mendapatkan hasil panen bagus, tapi karena pestisida palsu, justru mengalami kerugian dan pada akhirnya tanaman menjadi parah dan tidak panen.
“Tapi kita bisa mencegah pemalsuan pestisida. Bahkan, kasus terbaru kita bisa mengungkap pemalsunya,” tegasnya.
Anggota Croflife Indonesia, Mayang Marchiany mengatakan, nilai profit pestisida palsu mencapai 6,5 miliar dolar AS — sebuah nilai yang sangat besar, sehingga menarik investor membuat produk palsu dan ilegal.
Apalagi, oknum pemalsu tidak perlu susah melakukan pengujian dan registrasi. “Mereka bisa jualan dan mendapatkan keuntungan bersih,” katanya.
Namun, di balik itu, menurut Mayang, akibat buruknya dialami petani dan lingkungan. Bagi petani, akan mengalami gagal panen, lingkungan menjadi rusak, musuh alami pada hama juga akan mati. “Kita juga tidak bisa memmonitor penyebabnya, karen bahan aktif tidak bisa ketahui,” katanya.
Dengan adanya produk ilegal dan palsu, lanjut Mayang, juga akan menimbulkan masalah kesehatan pada manusia. Berbeda dengan pestisida yang legal, karena sudah melalui berbagai uji, baik toksikologi, biologi dan uji lainnya. “Yang perlu dipertimbangkan lagi adalah potensi hilangnya pajak yang akan didapatkan pemerintah karena produk ilegal dan palsu,” tegasnya.
Optimalkan KP3
Direktur Pupuk dan Pestisida, Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, (PSP) Kementerian Pertanian, Muhrizal Sarwani mengatakan, ada beberapa persoalan dalam peredaran pestisida, di antaranya pestisida ilegal atau tidak terdaftar, pestisida palsu, serta mutu di luar batas toleransi.
“Untuk pestisida yang masa berlakunya sudah habis, kita tarik dari peredaran di pasar. Hingga kini ada 1.700 formulasi yang kita sudah tarik,” ujarnya.
Guna mencegah peredaran pestisida palsu dan ilegal, Muhrizal mengatakan, pemerintah sudah menerbitkan peraturan perundang-undangan mengenai pengawasan pestisida, baik di pusat maupun daerah.
Bahkan pemerintah sudah membentuk tim penyidik pegawai negeri sipil di pusat dan daerah. Penyidik PNS tersebut telah mendapat pelatihan dari Bareskrim. “Kita juga banyak membantu terkait dengan pengawasan, meskipun yang dihadapi cukup sulit untuk diselesaikan. Alhamdulillah di Brebes sudah dapat diselesaikan sampai penuntutan dan diselesaikan sampai tuntas,” ujarnya.
Muhrizal menegaskan, Ditjen PSP saat ini terus berupaya mencegah pemalsuan pestisida dengan mengoptimalkan KP3 (Komisi Pengawasan Pupuk dan Pestisida) pusat dan daerah.
Bahkan Kementerian Pertanian sudah meminta Kementerian Dalam Negeri ikut mendorong Pemerintah Kabupaten/Provinis dalam kegiatan KP3 daerah, terutama dalam penyediaan anggaran.
“Sekarang ini ada yang menyediakan, ada juga yang tidak. Tapi sebagian besar memang tidak menyediakan anggaran khusus untuk KP3,” ujarnya.
Selain itu lanjut Muhlizar, juga dilakukan sosialisasikan dan pembinaan kios penjualan pestisida, serta koordinasi dengan Satgas Pangan dari Bareskrim Polri.
“Untuk pengawasan di tingkat produsen, secara rutin pemerintah melakukan pemeriksaan label hingga pengawasan peradaran pestisida,” katanya.
Muhlizar menilai, pestisida palsu dan ilegal bukan hanya merugikan petani, tapi juga produsen dan konsumen. Kerugian pada petani, karena pestisida palsu dan ilegal tidak ketahui mutunya. Apalagi harganya sama dengan yang asli, tapi kualitas sangat rendah dan membahayakan.
Sedangkan bagi produsen, pestisida palsu dan ilegal merugikan karena terkait dengan hak paten, hak perlindungan varietas tanaman dan indikasi geografis.
“Ekspor produk pertanian juga bisa terganggu, karena terpapar pestisida yang membahayakan. Apalagi kita ketahui negara tujuan ekspor sangat memperhatian batas maksimum residu,” ujarnya.
Muhrizal menjelaskan sampai Mei 2019 jumlah pestisida yang terdaftar sebanyak 4.646 formulasi. “Pestisida yang masa berlakunya habis, kita tarik dari peredaran di pasar. Hingga kini ada 1.700 formulasi ditarik,” katanya. PSP