Budidaya tanaman porang semakin diminati para petani. Harga porang iris kering yang terus melonjak dari tahun ke tahun membuat banyak petani banting setir menanam komoditas itu. Meski demikian, gairah petani terhambat kelangkaan dan mahalnya harga benih-bibit porang.
Selama ini, petani mendapatkan benih porang dari umbi, katak/bulbil atau biji pada bunga porang. Salah satu cara untuk meningkatkan kualitas dan menjamin ketersediaan bibit porang adalah dengan menerapkan teknik kultur jaringan.
Peneliti Ahli Utama Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) Ika Roostika Tambunan menyatakan tanaman porang (Amorphophallus muelleri) merupakan tanaman jenis umbi-umbian yang bernilai ekonomi tinggi. “Biasanya, porang diekspor dalam bentuk chips atau tepung,” ujar dia dalam Webinar ‘Perlukah Kultur Jaringan untuk Porang Saat ini?’ yang digelar Jaringan Saudagar Muhammadiyah (JSM), Rabu (10/3/2021).
Ika juga mengatakan, saat ini tanaman porang menjadi booming karena kebutuhannya sangat tinggi hingga menimbulkan kelangkaan benih. Biasanya petani menggunakan benih alami dari umbi dan katak/bulbil yang harganya mencapai Rp150 ribu-Rp400 ribu per kg. Sementara kebutuhan benih porang untuk satu hektare lahan sekitar 200 kg sehingga petani harus mengeluarkan biaya antara Rp30 juta-Rp80 juta.
“Perbanyakan benih porang biasanya menggunakan katak/bulbil. Ketika kebutuhan benih tidak dapat terpenuhi secara konvensional, harus ada sentuhan teknologi dalam hal ini adalah teknik kultur jaringan,” kata Ika.
Kultur jaringan merupakan teknik mengisolasi bagian tanaman berupa protoplas/sel telanjang, sel, jaringan, atau organ, secara aseptis dan ditumbuhkan secara in vitro (dalam botol) hingga membentuk planlet (tanaman utuh). Sejak November 2019-Desember 2020, Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen) berkolaborasi dengan Direktorat Perbenihan untuk melakukan Uji Produksi Benih Porang melalui Kultur Jaringan.
“Perbanyakan melalui kultur jaringan memiliki keunggulan karena bisa dilakukan secara masal dalam waktu cepat, tidak tergantung pada musim, menghasilkan bibit sesuai dengan induknya, seragam, bebas hama dan penyakit, serta mudah untuk didistribusikan (khususnya dalam bentuk planlet). Di samping itu karena adanya zat pengatur tumbuh pada saat ditumbuhkan secara in vitro maka pertumbuhan juga menjadi lebih cepat,” jelas Ika.
Tahapan kultur jaringan untuk perbanyakan tanaman meliputi pemilihan tanaman induk, sterilisasi eksplan/bahan tanaman, penanaman in vitro/di laboratorium, subkultur (multiplikasi tunas), induksi perakaran hingga menjadi planlet, aklimatisasi di rumah kasa/kaca, dan transplanting/pemindahan ke lapang.
Tanaman hasil kultur jaringan, lanjutnya, memerlukan tahapan aklimatisasi supaya bisa beradaptasi pada lingkungan sebelum dipindahkan ke lapang. Proses aklimatisasi bisa menggunakan media tanam berupa campuran tanah dan pupuk kandang atau kompos kemudian disungkup dengan plastik selama 1 bulan.
Pada kesempatan tersebut, Dahlan Iskan, Dewan Pertimbangan Perkumpulan Petani Porang Nusantara (PPPN) sangat mengapresiasi upaya yang dilakukan oleh BB Biogen melalui teknologi kultur jaringan untuk mengatasi kelangkaan benih porang.
Selain itu, dia juga berharap agar teknologi kultur jaringan bisa diaplikasikan bukan hanya untuk perbanyakan benih, tetapi untuk pemuliaan sehingga bisa menghasilkan varietas porang dengan glukomanan tinggi. Namun, perakitan varietas ini membutuhkan proses yang panjang, khususnya terkait dengan siklus hidup tanaman porang yang hanya tumbuh pada 1 musim/tahun.
Pada kesempatan lain Kepala Balitbangtan Dr. Fadjry Djufry mengatakan bahwa pihaknya selalu siap mengantisipasi kebutuhan masyarahat seperti porang yang mendadak booming saat ini.
“Hal ini sesuai dengan arahan Menteri Syahrul Yasin Limpo bahwa Kementerian Pertanian akan terus mendukung pengembangan komoditas pertanian yang bisa berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan ekspor, salah satunya adalah porang,” terangnya.
Atiyyah Rahma