Aktivis Kehutanan: Data Deforestasi Simpang Siur

Dr. Transtoto Handadhari

Aktivis kehutanan Dr Transtoto Handadhari mengatakan, selama ini banyak sekali data soal deforestasi dan dan degradasi hutan simpang siur. Akibatnya data yang ada sulit dipegang. Adanya data terbaru diharapkan menjadi data yang valid sehingga dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam kegiatan kehutanan nasional.

Rimbawan senior UGM yang juga jebolan University of Wisconsin-Madison, USA menanggapi turunnya deforestasi dari 426.000 ha pada tahun 2018-2019 menjadi 115.000 ha di tahun 2019-2020.

“Tanpa mengurangi penghargaan atas kerja keras Menteri LHK beserta jajarannya, kita memaklumi data resmi pemerintah itu benar dan nyata. Selama ini banyak data yang simpangsiur, tidak nyata, kadang bombastis sesuai kepentingan sumber data. Apalagi saat-saat ini kepentingan politik sudah umum semakin bikin bias perdataan,” Transtoto kata yang kini masih aktif menjadi pengurus pusat Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) itu, Jumat (12/3/2021)

Menurut pendapatnya, data berkurangnya deforestasi tersebut juga harus dikupas basis detil permasalahan yang melatarbelakanginya. Sebagai gambaran, deforestasi layak turun karena sudah tidak menariknya bisnis jual kayu dari hutan negara. Saat ini harga kayu unggulan, meranti, turun.  Sementara kayu-kayu berkualitas diameternya kecil-kecil dan jarak tegakan dari jalan semakin jauh hingga biaya panenan mahal. Ada juga ada pandemi Covid-19 yang semakin menyeret turun harga produk perkayuan dunia.

Pakar kehutanan yang mantan Dirut Perhutani 2005-2008 tersebut juga mengatakan sepanjang tanpa gangguan maka tanpa reforestasi hutan gundul bisa berjalan sendiri. Tapi dengan kualitas pohon dominan yang tentu jauh lebih buruk.

“Di kawasan hutan Perhutani hanya dengan penjagaan manusia jenis trubusan pohon unggulan jati dapat dipilih. Tentunya juga dibarengi dengan kualitas kayu dan hasil panenan yang turun,” katanya.

Yang merisaukan, lanjut dia, hutan rakyat yang semakin luas dan hijau seakan belum tersentuh sebagai prestasi menghutankan lahan maupun yang menyebabkan deforestasi menurun.

Menurut Transtoto, meski sudah terlambat sekitar 40 tahun, perlu dibentuk lembaga Kesatuan Pemangkuan Hutan Rakyat (KPHR) untuk mengelola hutan rakyat yang telah ikut menyumbang hijaunya lahan dan meningkatnya bahan baku kayu.

Sehingga adanya KPHR akan memperbaiki kualitas dan distribusi kayu yang baik, serta memperbaiki ekosistem dan kelestarian bio-diversitas.

“Kupas secara ilmiah sampai detil setiap kejadian yang bisa menjadi petunjuk riil alasan keterjadiannya. Pemahaman detil ini perlu sebagai dasar kebijakan pemerintah yang tepat,” pungkas Transtoto yang juga Ketua Umum Yayasan Peduli Hutan Indonesia itu.

Turun

Seperti dipublikasikan, Indonesia berhasil menurunkan deforestasi 75,03 % di periode tahun 2019-2020, hingga berada pada angka 115.000 ha. Angka ini jauh menurun dari deforestasi tahun 2018-2019 sebesar 462.000 ha. Data ini dirilis Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ditjen PKTL KLHK).

AI