Terkait Regulasi Bebas Deforestasi, Indonesia Siap Gugat Uni Eropa ke WTO

Ekspor produk kayu bersertifikat SVLK

Indonesia siap menggugat Uni Eropa (UE) ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) terkait dengan hambatan dagang untuk produk kayu setelah diloloskannya UU bebas deforestasi. Apalagi, aturan itu secara sepihak menabrak perjanjian soal ekspor produk kayu antara Indonesia dengan UE yang ditandatangani sejak 2013.

Hal itu ditegaskan Dirjen Pengelolaan Hutan Lestari (PHL), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Agus Justianto menanggapi pemberlakuan UU bebas deforestasi atau EU Regulation on deforestation-free supply chains (DFSC). Dengan aturan baru ini, maka sejumlah produk ekspor nonmigas unggulan Indonesia bakal terkena kewajiban uji tuntas (due diligence) jika ingin masuk ke pasar UE. Komoditi itu adalah kayu, kedele, minyak sawit, kakao, kopi, karet dan daging sapi. Daftar itu termasuk produk turunannya, seperti kulit sapi, coklat dan furnitur.

Agus Justianto

Yang mengejutkan adalah masuknya komoditas kayu dalam aturan baru UE yang akan berlaku efektif akhir 2024 tersebut. Padahal, Indonesia dan UE sudah punya perjanjian kemitraan sukarela (VPA) tentang penegakan hukum, tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT), yang ditandatangani 30 September 2013 dan berlaku efektif 1 Mei 2014. Berdasarkan perjanjian itu, maka sertifikat legalitas kayu Indonesia melalui Sistem Verifikasi Legalitas dan Kelestarian (SVLK) disetarakan dengan lisensi FLEGT. Artinya, produk kayu Indonesia masuk pasar UE tanpa hambatan karena masuk “jalur hijau” berdasarkan Regulasi Kayu UE (EUTR). Tapi dengan UU yang baru, produk kayu Indonesia kena kewajiban pemeriksaan uji tuntas lagi.

“Ini yang membuat kita keberatan. Mereka yang mendorong kita mengikuti sistem FLEGT VPA dan kita juga sudah tandatangan. Aturannya jelas, semua produk yang punya SVLK masuk green lane, jalur hijau. Tak ada pemeriksaan due diligence. Tapi di aturan yang baru, kayu harus di-due diligence lagi,” papar Agus.

Menurutnya, UE sudah lama berniat meloloskan aturan soal deforestasi. Bahkan mereka sudah mencoba masuk melalui berberapa event besar, misalnya di konferensi UNEA (United Nations Environment Assembly) serta UNFF (United Nations Forum on Forests). “Di UNEA itu ada resolusi dan mereka coba masukkan sejak tahun 2018. Ini saya tahu karena saya hadir di konferensi itu dan kita hadang hingga resolusi tersebut gagal,” jelas Agus.

Dia menilai produk hukum baru yang dikeluarkan UE tidak lebih dari perang dagang dengan alasan lingkungan. Sejatinya, Eropa memang tidak mampu bersaing dengan komoditi Indonesia, terutama produk kayu dan minyak sawit. “UE kalau bersaing, terutama untuk kayu atau minyak sawit, mereka tidak mampu. Untuk itu, mereka bikin regulasi yang merestriksi komoditas yang ada dan masuk ke UE. Itu hanya satu-satunya jalan yang bisa mereka lakukan untuk membendung agar produk mereka jadi kompetitif,” paparnya.

Yang membuat jengkel Indonesia, UE kerap berkelit bahwa aturan baru tersebut untuk kepentingan publik mereka. Jika didesak pun selalu berkilah bahwa di Eropa ada Komisi Uni Eropa dan Parlemen Uni Eropa. Proses pembuatan aturan itu terjadi dari Parlemen dan pemerintah tak bisa apa-apa.

Lebih jauh dia menyebutkan, Indonesia sudah menegaskan bahwa tidak ada definisi tunggal soal deforestasi. Dengan kata lain, definisi deforestasi bisa berbeda-beda. UE ngotot bahwa mereka menggunakan definisi dari Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO). “Saya bilang, tidak ada definisi deforestasi di FAO, yang ada definisi hutan. Makanya saya tegaskan, jika kalian mau bikin definisi silakan saja, kami juga juga punya definisi soal deforestasi,” tandas Agus.

Indonesia, kata Agus, punya definisi hutan sesuai dengan sustainable forest management (SFM), yang mengklasifikasikan hutan berdasarkan fungsinya, yakni lindung, konservasi dan produksi. Itu sebabnya, dia mengaku aneh ketika Indonesia dipaksa memproteksi hutan produksi. Lucunya lagi, UE sendiri masih punya hutan produksi. “Lah, lalu kenapa melarang deforestasi sementara mereka masih menebang pohon? Kalau definisi Indonesia, deforestasi itu terjadi karena peralihan fungsi. Itu baru deforestasi.”

Menurutnya, UE selalu berkelit dan berkilah saat diajak bicara. “Kita sudah ajukan keberatan resmi. Kita sudah komplain resmi. Dari pihak Kementerian Luar Negeri juga sangat concern. Jadi, komplain resmi sudah. Bahkan Presiden Jokowi juga sudah ngomong, ‘Lawan!’ Kalau perlu kita ke WTO,” ujar Agus.

WTO atau Mahkamah Eropa

Duta Besar RI untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno juga menilai penyelesaian ini sebaiknya menggunakan pihak ketiga. Apalagi, yang dihadapi Indonesia bukanlah kebijakan, tapi regulasi yang merugikan. Jika menyangkut kebijakan atau pengenaan tarif, misalnya, maka jalur diplomasi masih bisa ditempuh.

Arif Havas Oegroseno

“Tapi kalau sudah bicara regulasi, undang-undang, ya tidak bisa diplomasi lagi. Mereka akan bilang bahwa kami punya kedaulatan untuk menentukan regulasi,” ujar Havas dalam perbincangan melalui zoom.

Menurut Havas, Indonesia punya dua jalan untuk menyelesaikan kasus ini dengan pihak ketiga, yakni WTO atau European Court of Justice (Mahkamah Eropa). “Jadi, kita bisa mengadukan ke hakim di Eropa juga. Dan menurut saya, yang terbaik malah kita bawa kasus ini ke European Court of Justice,” ujar Havas.

Dia menuturkan, banyak kasus sengketa dagang yang dibawa ke Mahkamah Eropa. Bahkan, saat masih menjabat sebagai Dubes di Belgia, Havas pernah membawa gugatan antidumping UE ke Mahkamah Eropa dan berhasil dimenangkan Indonesia.

“Saya sudah kasih masukan bahwa avenue itu, mekanisme untuk penyelesaian masalah, ada banyak. Jadi, kalau kita mengalami perbedaan sikap dengan UE, maka penyelesaiannya banyak avenue. Bisa kita mulai dengan konsultasi, negosiasi. Kalau tidak bisa, ya mediasi. Kalau tidak mau dengan mediasi, kita langsung ke pihak ketiga, apakah itu arbitrase, litigasi. Forumnya di mana? Forumnya bisa di European Court of Justice, bisa juga ke WTO,” jelas mantan dubes RI untuk Belgia 2010-2015 ini.

Havas mengatakan, Indonesia tidak mempersoalkan standar kayu yang ketat karena Indonesia juga menginginkan standar kayu yang ketat, memperhatikan lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM). Itu sebabnya, Indonesia menandatangani FLEGT VPA, di mana SVLK disetarakan dengan lisensi FLEGT. Hanya saja, yang jadi masalah adalah, mengapa UE membuat standar baru lagi secara sepihak. “Mereka sudah punya standar wajib EUTR (Regulasi Kayu UE), yaitu FLEGT, juga ada yang sukarela dari FSC (Forest Stewardship Council) dan kawan-kawannya, lalu kini bikin standar baru lagi UEDFSC. Berarti akan ada tiga standar,” tandasnya.

Menurutnya, tindakan UE ini menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian yang akan merugikan Indonesia. Apalagi, Indonesia menilai standar EUDFSC lebih rendah kualitasnya dari UETR/FLEGT.

“Ada alasan mengapa kita beranggapan EUDFSC tidak sekuat FLEGT? Pertama, FLEGT itu kesepakatan antara UE dengan Indonesia (bilateral) dan kesepakatan ini di-endorse oleh politisi, yakni Parlemen Eropa. Jadi, ini bukan semata-mata kesepakatan antarpemerintah, tapi juga antarmasyarakat yang punya kekuatan hukum yang mengikat kuat.

“Kedua, FLEGT VPA punya mekanisme review, pertemuan reguler yang namanya Joint Committee (JC). Di forum ini pejabat KLHK, Pak Agus (Dirjen PHL), bertemu dengan mitranya tiap tahun. Lalu ada mekanisme penyelesaian sengketa pula. Selain itu ada mekanisme dari stakeholder yang independen, ada dari akademisi dan LSM. Itu semua bagian dari sistem yang diciptakan bersama,” urai Havas.

Sementara EUDFSC malah unilateral (sepihak) dan tidak punya mekanisme review bersama, tidak ada JC dan tidak ada mekanisme untuk semua pihak duduk bersama. Dengan kualitas yang tidak sebaik UETR/FLEGT, maka UEDFCS ini bisa menggerus pasar Indonesia di UE. Selama ini, kata Havas, ekspor produk kayu Indonesia ke UE makin bagus setelah ada SLVK. Tapi dengan adanya standar baru UEDFSC, berarti FLEGT yang bersifat wajib punya saingan baru, tak hanya FSC yang bersifat voluntary.

Disinggung kemungkinan produk Indonesia akan masuk dalam daftar low risk dalam standar EUDFSC, meski masih terkena kewajiban uji tuntas, Havas menolak hal itu. “Buat kita tidak masalah low risk, karena by default FLEGT kan diakui dalam EUDFSC. Pasti kita low risk, dan bahkan no risk. Tapi bukan itu soalnya.”

Menurut dubes dengan latar belakang ilmu hukum ini, EU telah bikin standar baru, sementara sudah ada standar wajib FLEGT dan ada standar sukarela FSC. “Kok sekarang bikin standar baru lagi? Market kan bingung. Eksportir bingung, importir bingung. Mau pakai standar yang mana?” ujarnya. ***