
Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah Bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Di masa datang, Indonesia mempunyai masalah besar dengan produk-produk minyak sawit (CPO) berserta turunannya. Produk tersebut terancam tidak laku dijual karena isu kian santer setelah Uni Eropa (UE) resmi melarang impor produksi terkait deforestasi. Namun, UE juga dinilai bersalah atas pembabatan hutan yang terjadi di beberapa importir tersebut.
Semua ini berasal dari UE telah menyetujui undang-undang untuk melarang perusahaan menjual kopi, daging sapi, kedelai, cokelat, karet, dan beberapa turunan minyak sawit yang terkait dengan deforestasi ke pasar UE. Undang-undang akan mewajibkan perusahaan untuk membuat pernyataan uji tuntas yang menunjukkan bahwa rantai pasokan mereka tidak berkontribusi pada perusakan hutan sebelum mereka menjual barang ke UE atau mereka dapat menghadapi denda yang besar. Setelah undang-undang tersebut resmi berlaku, maka produsen dan pedagang memiliki waktu 18 bulan untuk mematuhi peraturan tersebut. Di mana perusahaan yang lebih kecil akan memiliki waktu 24 bulan untuk beradaptasi. Namun, jika perusahaan tidak mematuhi aturan tersebut dapat dikenakan denda hingga 4% dari omset perusahaan di negara anggota Uni Eropa. Menurut Komisi Eropa, undang-undang tersebut akan melindungi setidaknya sekitar 71.920 ha (278 mil persegi) hutan setiap tahun atau setara dengan 100.000 lapangan sepak bola.
Dengan diberlakukannya undang-undang terkait pelarangan impor produk terkait deforestasi tentu akan berimbas terhadap negara yang memiliki angka pembabatan hutan tinggi.
Melansir World Resources Institute dan Global Forest Review, pada 2002 hingga 2020, Indonesia masuk ke dalam jajaran empat negara dengan angka pembabatan hutan tropis terbesar di dunia. Indonesia menduduki urutan kedua, setelah Brazil dengan angka pembabatan hutan tropis mencapai 9,7 juta ha. Khusus untuk perkebunan sawit yang sudah terlanjur masuk dalam kawasan hutan luas mencapai 3,2 – 3,4 juta ha yang hingga saat ini belum dapat dituntaskan masalahnya. Singkatnya Indonesia belum bebas dari deforestasi meskipun upaya menekan laju deforestasi telah dilakukan setiap tahunnya.
Jika UU bebas deforestasi diberlakukan, RI berpotensi merugi sebab permintaan akan CPO di 27 negara UE berpeluang menurun, bahkan diberhentikan ekspornya jika para pelaku industri tidak memiliki sertifikat bebas deforestasi.
Deforestasi Sawit
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan saat ini terdapat 3,1-3,2 juta ha perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan. Yayasan Kehati, dalam rapat dengan DPR pada 17 Juni 2021, menyebut 3,4 juta ha. Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 ha, hutan lindung 174.910 ha, hutan produksi terbatas 454.849 ha, hutan produksi biasa 1.484.075 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 ha. Dari 3,1 juta ha, jika kita pakai data KLHK, 576.983 ha sedang dalam proses permohonan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta ha, tak memohon izin pelepasan agar legal. Ada dugaan karena sawit ini sebagai perkebunan sawit rakyat perorangan.
Hambatan ISPO
Meski Indonesia mempunyai mempunyai standar nasional tentang sertifikasi pengelolaan sawit yang disebut ISPO (Indonesia atau Indonesian Sustainable Palm Oil) yakni standar nasional Indonesia bagi minyak sawit berkelanjutan yang wajib ditujukan untuk meningkatkan peran minyak kelapa sawit Indonesia di pasar internasional dan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca, yang mengacu pada standar global yang terdapat dalam RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil), namun sertifikasi ISPO bagi kebun sawit dan industri sawit di Indonesia kurang dapat berjalan dengan baik. Menurut Peraturan Presiden (Perpres) no. 44/2020, setiap perkebunan sawit di Indonesia yang luasnya 14,38 jutaha, baik yang dikelola oleh perkebunan besar, perkebunan swasta besar maupun perkebunan rakyat; wajib melakukan sertifikasi ISPO. ISPO inipun nantinya harus distandarkan dengan standar internasional yang dikenal dengan RSPO (Roundtable On Sustainable Palm Oil). Untuk masuk pasar di negara-negara Uni Eropa (UE), sejak 6 Desember 2022 produk CPO Indonesia juga harus mendapat sertifikasi uji tuntas bebas deforestasi yang diberlakukan UE.
Direktur Perlindungan Perkebunan Kementerian Pertanian, Baginda Siagian menyebut bahwa hingga saat ini dari 13,38 juta ha itu, baru 3,8 juta ha (26,24 %) yang ter-ISPO -kan. Rinciannya adalah perkebunan negara 30 % dari satu juta ha, perkebunan swasta besar 40-50 % dari 8 juta ha dan perkebunan rakyat 1-2 % dari 7,6 juta ha. Senior manager WRI (World Resources Institute) Indonesia, Bukti Bagja menyebut sawit berkelanjutan adalah legalitas lahan budidaya sawit bukan perambahan dan lahan konflik. 50% masalah sustainable palm oil adalah kepastian dan kesesuaian ruang lahan sawit. Sisanya adalah produktivitas dan tata kelola sesuai prinsip-prinsip berkelanjutan.
Mengapa sertifikasi ISPO bagi kebun sawit dan industri sawit di Indonesia kurang dapat berjalan dengan baik? Kondisi ini antara lain disebabkan adanya persoalan/hambatan yang cukup krusial di lapangan. Persoalan tersebut antara lain adalah:
Pertama, di satu sisi, untuk meningkatkan produksi minyak sawit di Indonesia, sebagian para kalangan pengusaha sawit menghendaki adanya perluasan kebun melalui ekstensifikasi. Disisi lain, cara ekstensifikasi kebun sawit dilakukan dengan prosedur yang tidak benar secara hukum (ilegal) baik dilakukan oleh para korporasi/perusahaan maupun masyarakat yang mengatasnamakan petani sawit. Sampai saat ini, terdapat kebun sawit yang masuk dalam kawasan hutan seluas 3,1-3,4 juta ha. Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 ha, hutan lindung 174.910 ha, hutan produksi terbatas 454.849 ha, hutan produksi biasa 1.484.075 ha dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 ha. Dari 3,1 juta ha, jika kita pakai data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), 576.983 ha sedang dalam proses permohonan persetujuan pelepasan kawasan hutan. Sisanya, sekitar 1,2-1,7 juta ha, tak memohon izin pelepasan agar legal. Ada dugaan karena sawit ini sebagian perkebunan sawit dikuasai rakyat/perorangan. Kita sama tahu mengapa ada kebun sawit di kawasan hutan. Selain lemahnya pengawasan, juga tidak sinkronnya tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten dengan tata guna lahan di KLHK. Izin lokasi dan izin prinsip perkebunan ada di kabupaten dan provinsi. Tapi izin pelepasan kawasan hutan menjadi kebun ada di KLHK.
Kedua, disinyalir banyak kebun sawit yang memanfaatkan lahan gambut di Indonesia yang rentan terhadap lingkungan (mengganggu cadangan karbon di lahan gambut). Peran hutan alam primer rawa gambut di Indonesia, khususnya P. Kalimantan dalam percaturan pengendalian iklim mulai menampakkan sosok yang sesungguhnya. Dalam laporan riset yang diterbitkan jurnal Nature Sustainability pada 18 November 2021 lalu, tim peneliti dari Conservation International, Amerika Serikat telah membuat peta terbaru bagian dunia yang memiliki konsentrasi karbon amat tinggi dan jika terlepas akan memicu bencana iklim. Wilayah gambut di Kalimantan dan Papua termasuk yang memiliki konsentrasi karbon di bumi. Untuk Indonesia, selain Kalimantan yang dipetakan menyimpan karbon yang sangat tinggi adalah Papua bagian selatan. Kawasan itu merupakan penyerap karbon alami dan dapat dianggap jadi sumber penyimpan sumber daya yang tidak bisa dipulihkan. Sebab jika karbon tersimpan dilepaskan oleh aktivitas manusia butuh waktu berabad abad bagi daerah itu untuk pulih. Jika karbon lepas, hal itu tidak dapat dipulihkan dalam jangka waktu tertentu, minimal selama 30 tahun. Padahal emisi global harus mencapai emisi bersih pada 2050. Sejak tahun 2010, pertanian, penebangan kayu dan kebakaran hutan melepaskan emisi karbon setidaknya 4 gigaton (Gt) karbon yang tidak dapat dipulihkan. Sisanya 139 – 443 gigaton (Gt) karbon dunia yang tidak dapat dipulihkan itu menghadapi resiko konversi penggunaan lahan dan perubahan iklim. Jika itu terjadi, bakal akan terjadi bencana iklim. Resiko ini dapat dikurangi melalui perlindungan proaktif dan manajemen adaptif. Dalam pemetaan ini, 23 persen karbon yang tidak dapat dipulihkan berada dalam kawasan lindung dan 33,6 persen dikelola masyarakat adat serta komunitas lokal. Menurut Dr. Suwardi M. Agr. Staf Pengajar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian IPB, yang paling baik untuk budidaya kelapa sawit di lahan gambut dilakukan pada lahan gambut yang tipis dengan ketebalan kurang dari 50–100 cm. Selebihnya itu, ketebalan gambut lebih dari 100 cm, dianggap kurang ekonomis dalam budidaya sawit. Disamping hasil buahnya (TBS) tidak banyak, kebun sawit di lahan semacam ini rentan terhadap kebakaran. Perlu diketahui bahwa lahan gambut dengan ketebalan diatas 100 cm adalah ekosistem penyerap karbon yang paling efisien dan besar. Kandungan karbonnya dapat mencapai 30-70 kg/m3. Apabila terjadi kebakaran, maka akan menyala lama, membara dibawah tanah dan dapat menyala lagi bila bertemu oksigen. Selain itu juga akan mengeluarkan karbon dalam jumlah yang sangat besar bilamana lahan gambut telah menjadi kering.
Berdasarkan peta sebaran lahan gambut di Indonesia yang paling mutakhir secara spasial digambarkan dalam bentuk Atlas Peta Lahan Gambut Indonesia, Skala 1:250.000 (Ritung et al., 2011), di Sumatera lahan gambut yang tipis mempunyai ketebalan 50–100 cm seluas 1.767.303 ha. Sementara kebun sawit di Sumatera seluas 7.944.520 ha yang berupa lahan kering 1.860.798 ha yang tersebar di Sumut dan Aceh. Sisanya seluas 5.046.205 ha merupakan kebun sawit di lahan gambut yang tersebar di Riau, Jambi dan Sumsel. Dengan demikian tidak kurang dari 3.278.903 ha kebun sawit Sumatera terletak di lahan gambut dengan ketebalan sedang–sangat tebal (100–diatas 400 cm). Sementara, di Kalimantan, hampir diatas 90% kebun sawit terletak di lahan gambut. Dari luas 5.588.075 ha kebun sawit di Kalimantan, 1.048.611 ha merupakan gambut tipis setebal 50 – 100 cm. Dengan demikian sisanya tak kurang dari 4.539.464 ha merupakan kebun sawit Kalimantan yang terletak di lahan gambut dengan ketebalan sedang–sangat tebal (100–diatas 400 cm).
Jadi dari luas kebun sawit 14,60 juta ha di Indonesia tak kurang dari 10.634.280 ha (72,80%) yang berada di Sumatera dan Kalimantan terletak di lahan gambut. Dari lahan gambut yang digunakan untuk kebun sawit seluas itu, 2.815.914 ha (26,47 %) merupakan kebun sawit dilahan gambut yang mempunyai ketebalan 50-100 cm. Sedangkan sisanya, 7.820.366 ha (73,53%) merupakan kebun sawit di lahan gambut dengan ketebalan sedang sampai sangat tebal. Kebun sawit yang dianggap mengancam cadangan karbon (yang mempunyai ketebalan gambut sedang- sangat tebal) adalah seluas 7,820.366 ha (53,56 %) dari seluruh areal sawit di Indonesia yang seluas seluas 14,60 juta ha.
Ketiga, belum lama ini pemerintah mengumumkan pencabutan 3,2 izin kehutanan yang dinilai melanggar aturan. Dari hampir 3,2 juta ha izin usaha yang dicabut pemerintah Kamis (06/0/2021), sekitar 1,788 juta ha diantaranya izin perkebunan kelapa sawit yang tersebar 19 provinsi milik 137 perusahaan. Terluas ada di Papua sekitar 680,9 ribu ha milik 26 perusahaan. Disusul Papua Barat, 382 ribu ha, baru kemudian Kalimantan Tengah, sekitar 350,11 ribu ha milik 39 perusahaan. Sementara di Jambi ada 3 perusahaan izin yang dicabut dengan luas 58,7 ribu ha. Meski 137 perusahaan sawit tersebut baru memegang izin/persetujuan pelepasan kawasan hutan dan belum berubah statusnya menjadi hak guna usaha (HGU), namun kondisi ini menunjukkan bahwa perusahaan/korporasi yang berniat berusaha di kebun sawit tidak menunjukkan adanya upaya mematuhi tata kelola sawit berkelanjutannya.
Pemerintah seharusnya segera membenahi persoalan lapangan dengan membenahi regulasi kebijakan, teknis dan sanksi denda administratif maupun hukum yang adil dan tegas sehingga tata kelola sawit berkelanjutan dapat berjalan dengan baik dan iklim berusaha khususnya di kebun sawit tidak terganggu. Momok deforestasi sawit harus sesegera mungkin dituntaskan karena memberikan andil besar dalam sustainable palm oil di Indonesia. ***