Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Instrumen utama regulasi tentang karbon, telah diluncurkan oleh pemerintah tahun 2021 lalu. Regulasi tersebut adalah undang-undang (UU) No.7/201 tentang harmonisasi peraturan perpajakan (HPP) yang salah satu bab berisi tentang perpajakan karbon dan peraturan presiden (Perpres) No. 98/2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) untuk pencapaian target kontribusi nasional yang ditetapkan (Nationally Determined Contribution/NDC) dan pengendalian emisi gas rumah kaca dalam pembangunan nasional. Tahun 2022, era baru perpajakan karbon Indonesia dimulai sejak 1 April 2022, meskipun baru sebagian kecil sektor yang diberlakukan.
Dalam penjelasan UU 7/2021, bab VI tentang pajak karbon, pasal 13 ayat (3) disebutkan bahwa tahun 2022 sampai dengan 2024, diterapkan mekanisme pajak yang mendasarkan pada batas emisi (cap and tax/ untuk sektor pembangkit listrik terbatas pada Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara; sedangkan tahun 2025 dan seterusnya, implementasi perdagangan karbon secara penuh dan perluasan sektor pemajakan pajak karbon dengan penahapan sesuai kesiapan sektor terkait dengan memperhatikan antara lain kondisi ekonomi, kesiapan pelaku, dampak, dan/atau skala.
Jadi dengan kata lain, pemerintah akan mengimplementasikan pajak karbon secara penuh baik melalui pembelian barang maupun aktivitas yang menghasilkan emisi karbon mulai tahun 2025.Pemerintah mempunyai waktu yang cukup panjang (3 tahun) untuk mempersiapkan dan menyusun peraturan pemerintah (PP) , peraturan Menteri Keuangan (PMK) maupun Peraturan Menteri Teknis lainnya agar regulasi yang disusun dapat lebih terstruktur, sistematis, holistik, terintegrasi dan dapat mewadahi kepentingan para pihak yang terlibat didalamnya.
Pengalaman negara lain yang telah menerapkan pajak karbon terlebih dahulu, perlu diacu, dipelajari dan dikaji oleh pemerintah Indonesia sebagai bahan komparasi dalam menyusun regulasi yang akan dipersiapkan nantinya pada tahun 2025. Di Korea Selatan misalnya, pajak karbon yang dikenakan selama satu tahun pada industri dengan kapasitas dan jenis tertentu sebenarnya lebih ditujukan untuk dapat mengumpulkan data dan informasi emisi pada industri-industri tersebut, untuk kemudian diimplementasikan perdagangan karbon jenis cap and trade.
Pada tahun 2020 lalu, setidaknya tercatat ada 3 negara, yaitu Latvia, Kanada, dan Irlandia yang berhasil melakukan penyesuaian dan menaikkan tarif pajak karbonnya sampai lebih dari 30%. Kanada bahkan berhasil menaikkan tarif pajak karbonnya dari USD23,88 ke USD31,83 dengan persetujuan seluruh masyarakat dan sektor bisnis yang terlibat.
UU 7/2021 tentang HPP bab VI pasal 13 ayat (5) menyebut bahwa subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Yang dimaksud dengan “barang yang mengandung karbon”adalah barang yang termasuk tapi tidak terbatas pada bahan bakar fosil yang menyebabkan emisi karbon. Sedangkan yang dimaksud dengan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon” adalah aktivitas yang menghasilkan atau mengeluarkan emisi karbon yang berasal antara lain dari sektor energi,pertanian, kehutanan dan perubahan lahan, industri, serta limbah.Termasuk dalam cakupan membeli, yaitu membeli barang yang menghasilkan emisi karbon di dalam negeri dan impor.Hanya saja, deskripsi lebih lanjut mengenai barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang menghasilkan atau mengeluarkan emisi karbon dari masing-masing sektor yang menyumbang emisi karbon secara tersurat belum ada/disusun.Kendati rincian struktur pajak karbon masih belum jelas karena dalam proses pembahasan, namun pemerintah secara sepintas juga telah mengumumkan niatnya untuk mengenakan pajak pada barang-barang industri yang mengeluarkan karbon seperti pulp dan kertas, semen, pembangkit listrik, dan petrokimia.
Menurut data terakhir, sektor terbesar penyumbang emisi sebesar 48 persen berasal dari perubahan fungsi hutan menjadi non-hutan. Menyusul karbon dari transportasi sebesar 21 persen, kebakaran sebesar 12 persen, limbah pabrik sebesar 11 persen, pertanian 5 persen, dan sektor industri 3 persen.
Apa Saja Pajak Karbon Untuk Kehutanan
Indonesia merupakan tiga besar pemilik hutan tropika basah didunia setelah negara Brasil dan Republik Demokratik Gabon yang mempunyai saham besar dalam penyerapan emisi karbon dari kawasan hutannya.Oleh karena itu wajar, apabila pemerintah memberikan perhatian (concern) yang serius dan cepat dalam penanganan perubahan iklim dunia ini.Mengingat bahwa pajak karbon yang berlaku yakni barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu dan pada periode tertentu, maka barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon juga harus diarahkan kepada aktivitas sektor penyumbang emisi karbon itu sendiri yakni kehutanan (alih fungsi hutan dan kebakaran hutan), perhubungan (transportasi), perindustrian (limbah pabrik dan industri) dan pertanian.
Aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dari sektor kehutanan adalah hilangnya vegetasi kayu akibat penebangan hutan baik secara legal (melalui perizinan resmi) maupun ilegal (melalui perambahan hutan dan pencurian kayu) serta kebakaran hutan.Oleh karena itu, obyek pajak karbon untuk kehutanan juga harus disasar dari aktivitas ini dan tidak hanya terbatas barang yang mengandung karbon seperti pulp dan kertas saja.
Sektor kehutanan merupakan penyumbang terbesar sebagai penyebab emisi karbon di Indonesia hampir 50 persen.Hilangnya vegetasi kayu-kayuan dalam kawasan hutan maupun tutupan hutan (forest coverage) diluar kawasan hutan akibat alih fungsi hutan, perambahan hutan (illegal logging) maupun kebakaran hutan.Selama ini, penerimaan negara yang dipungut dari hasil kayu yang legal dari hutan alam dan hutan tanaman dalam kawasan hutan negara berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sektor kehutanan. Menurut undang-undang (UU) no. 11/2020 tentang Cipta Kerja bidang kehutanan pasal 35 ayat (4) disebutkan bahwa setiap pemegang Perizinan Berusaha terkait pemungutan hasil hutan hanya dikenakan penerimaan negara bukan pajak berupa provisi di bidang kehutanan. Khusus untuk hasil hutan berupa kayu di hutan alam dikenakan pungutan tambahan berupa dana reboisasi (DR). Ketentuan ini (pungutan provisi maupun DR) tidak berlaku dalam pemungutan hasil hutan kayu dari kawasan diluar kawasan hutan negara (hutan rakyat dan hutan adat).Sedangkan vegetasi kayu-kayuan yang hilang dari kawasan hutan negara akibat illegal logging, perambahan hutan dan kebakaran hutan tidak tercatat dalam data pemerintah yang dikenakan pungutan PNBP.
Bilamana pemerintah akan menerapkan pajak karbon untuk tahun depan, maka sektor kehutanan yang dikenakan pungutan pajak karbon dari aktivitas yang menghasilkan emisi karbon adalah aktivitas pemungutan hasil hutan kayu dari izin usaha hasil hutan kayu dari hutan alam (IUPHHK-HA) maupun izin usaha hasil hutan kayu dari hutan tanaman (IUPHHK-HT), dan hasil hutan kayu dari kawasan di luar kawasan hutan negara seperi hutan rakyat dan hutan hak lainnya. Tentang formulasi pajak karbon di sektor kehutanan, serahkan saja kepada tim teknis yang berisi para pakar, birokrat dan akademisi yang berkompeten untuk menghitung dan merumuskan formulasinya. Hanya saja, dalam menerapkan pajak karbon di sektor kehutanan jangan sampai terjadi duplikasi pungutan antara pajak karbon barang yang mengandung karbon (pulp, kertas) dengan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon (penebangan dan pemungutan kayu) serta dengan pungutan PNBP kehutanan sehingga tidak menimbulkan kerugian kepada subyek yang dipungut.
Pajak Karbon Untuk Perdagangan Karbon
Perdagangan emisi atau offset karbon didorong agar kegiatan penurunan emisi dilakukan secara sinergi antar sektor. Penghasil emisi yang tidak mencapai target pengurangan emisi, dapat melakukan perdagangan emisi atau offset karbon di lingkup domestik dengan sektor kehutanan yang menghasilkan kelebihan CER (Certified Emission Reduction), antara lain melalui penurunan deforestasi dan degradasi hutan, penerapan pengelolaan hutan lestari serta peningkatan stok karbon hutan dari kegiatan restorasi dan rehabilitasi hutan. Masalahnya adalah siapa subyek yang dipungut pajak karbon dalam perdagangan karbon ini?.
Perlu diketahui bahwa skema perdagangan karbon dapat dilakukan antar negara (G to G), pemegang izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan (perdagangan karbon) (IUPJL) dengan perusahaan lain di luar negeri yang membutuhkannya (B to B) atau pengalaman menarik diperoleh dari masyarakat yang mendiami desa-desa sekitar kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur (biasa disebut Bujang Raba) seluas 5.339 hektare yang dikelola warga lima desa di Kabupaten Bungo.
Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi tahun 2018, mendaftarkan Bujang Raba ke dalam pasar karbon sukarela (voluntary carbon market) melalui skema Plan Vivo.Dari perhitungan KKI Warsi, pada zona lindung hutan desa yang merupakan hutan primer, penyerapan emisi atau cadangan karbon rata-ratanya sebesar 287 ton per hektare atau 1,052 ton setara CO2 per hektare. TUI Airways hanya membeli 6.000 ton.TUI Airways, perusahaan penerbangan di Eropa. Perusahaan ini membayar USD36 ribu (sekitar Rp 400 juta) untuk 6.000 ton cadangan karbon (carbon sink) dari kawasan hutan lindung Bukit Panjang Rantau Bayur.
Yang jelas subyek pajak karbon untuk perdagangan karbon antar negara (G to G) tidak akan lagi dipungut pajaknya karena semua hasil penjualan karbon oleh negara hasilnya secara otomatis menjadi penerimaan negara. Mungkin yang menjadi subyek pungutan perdagangan karbon adalah skema B to B atau model skema Bujang Raba.
Masalahnya adalah sebelum pajak karbon ini berlaku, perdagangan karbon model B to B telah diperlakukan pengenaan PNBP kehutanan sebesar 10 persen. Akankah PNBP perdagangan karbon 10 persen ini ditinjau kembali apabila pajak karbon akan diberlakukan. TIndak lanjut dari Peraturan Presiden (Perpres) tentang Nilai Ekonomi Karbon kian mendesak untuk segera disahkan dan diterbitkan menjadi basis aturan perdagangan karbon, untuk menghindari terulangnya kembali pemutusan kerjasama perdagangan karbon oleh pemerintah Indonesia dengan pemerintah Kerajaan Norwegia yang yang dirintis sejak tahun 2010 lalu dan diharapkan berbuah dengan nilai pembayaran berbasis hasil sebesar USD56 juta atau sekitar Rp812 miliar menguap dengan percuma setelah ditunggu selama 11 tahun.
Sebagai tindak lanjut implementasi Perpres 98/2021, pada saat ini sedang disusun peraturan turunan dalam bentuk 2 Rancangan Peraturan Menteri (Permen) LHK tentang implementasi NDC serta Implementasi NEK. Dalam Implementasi tata laksana penyelenggaraan karbon akan diatur diantaranya adalah pungutan karbon dan perdagangan karbon di sektor kehutanan.
Dalam Permen LHK nanti sudah tentu akan dideskripsikan secara lebih rinci apa saja barang yang mengandung karbon dan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon berikut dengan contoh-contohnya. Rancangan Permen LHK tersebut terlebih dahulu akan disosialisasikan kepada para pihak dan masyarakat luas. Masyarakat dapat memberikan masukan apa saja dalam rangka penyempurnaan Rancangan Permen LHK sebelum ditetapkan menjadi Permen LHK.
Pemerintah mempunyai waktu yang cukup (3 tahun sampai dengan 2025) untuk menyempurnakan Permen semacam ini, termasuk Permen Kementerian Teknis lainnya (ESDM, Perindustrian, Pertanian, Perhubungan dan lainnya) agar terakomodasi kepentingan para pihak yang tidak merugikan satu dengan lainnya. Kita tunggu saja sampai tahun 2025 nanti.***