Tolak Pembebasan BM Impor Kakao

Kementerian Pertanian menolak usulan industri kakao dalam negeri untuk menurunkan bea masuk impor biji kakao karena akan memukul petani. Usulan impor tidak perlu terjadi jika pihak industri menggunakan data produksi kakao dari Ditjen Perkebunan, bukan data dari asosiasi.

Untuk kesekian kalinya, Kementerian Pertanian (Kementan) menolak usulan kalangan industri kakao agar bea masuk (BM) impor biji kakao dikurangi, bahkan kalau perlu dibebaskan. Petani tetap menjadi concern utama yang harus dilindungi. Dan ini juga sesuai dengan analisis Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BPPP) Kementerian Perdagangan, yang menyebut pembebasan BM biji kakao akan merugikan petani.

Dirjen Perkebunan Kementan, Kasdi Subagiyono mengaku produksi kakao dalam negeri sebetulnya cukup, sehingga tak perlu impor. Persoalannya adalah dalam penggunaan data yang tidak sama. “Mereka (industri, Red.) menggunakan data produksi dari asosiasi. Jika pakai data produksi dari kami, maka tidak perlu impor karena produksi kita cukup,” tegas Kasdi, Jumat (14/2/2020).

Menurutnya, data produksi kakao yang dimiliki asosiasi berbeda jauh dari produksi yang dimiliki Ditjen Perkebunan. Tahun 2019, data produksi versi asosiasi sekitar 320.000 ton, sementara data Kementan mencapai 596.000 ton. Ini yang disayangkan Kasdi. “Selisihnya jauh sekali. Kita harus benahi dulu data produksi. Kita samakan dan soal data mestinya satu lembaga saja, misalnya data BPS,” tegas Kasdi. Dia menyebutkan, jika ngotot BM kakao ingin dibebaskan, maka petani kakao yang akan jadi korban.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), Piter Jasman, produksi kakao memang masih kurang untuk memenuhi kebutuhan 20 industri pengolahan kakao dalam negeri. Itu sebabnya, mereka terpaksa harus impor biji kakao sebagai bahan baku pembuatan cokelat. Nah, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan No.6/PMK.010/2017, impor biji kakao dikenakan BM 5%. Jika ditambah dengan PPN 10% dan Pajak Penghasilan (PPh) 2,5%, maka produsen kakao harus menanggung beban pajak 17,5%. “Kondisi itu membuat produk industri kalao dalam negeri menjadi tidak kompetitif,” ujar Jasman.

Itu sebabnya, pengusaha terus menyuarakan pembebasan BM impor biji kakao. Terakhir, di penghujung 2019, Kadin Indonesia mengusulkan pemangkasan sementara BM atas impor biji olahan, dari 5% menjadi 1%. Dengan demikian, industri pengolahan kakao di dalam negeri dapat lebih berdaya saing dengan usaha sejenis di kawasan.

Namun, BPPP Kemendag dalam analisis yang dipaparkan pekan lalu merekomendasikan dilanjutkannya kebijakan pengenaan BM impor biji kakao 5% dengan pertimbangan kesejahteraan petani. Jika BM 0%, maka harga kakao dalam negeri akan tertekan kakao impor dan petani akan berhenti berproduksi. Sementara industri pengolahan kakao akan mendapat keuntungan akibat tidak dipungut BM sekitar Rp210 miliar/tahun, setara dengan kerugian yang diderita pemerintah dari hilangnya penerimaan bea masuk. AI

Laporan selengkapnya baca: Tabloid Agro Indonesia Edisi No. 755 (18-24 Februari 2020)