Pembangunan transmigrasi merupakan bagian integral dari pembangunan nasional dan daerah sebagai upaya mempercepat pembangunan, terutama di kawasan yang masih terisolir atau tertinggal. Program transmigrasi sekaligus juga dapat meningkatkan kesejahteraan para transmigran dan masyarakat sekitar.
Penyelenggaraan transmigrasi sendiri hanya ada di Indonesia dan sangat relevan menjadi solusi bagi pembangunan NKRI.
Tantangan transmigrasi di era saat ini tidak hanya terkait pemerataan jumlah penduduk, namun juga menjadi bagian integral dari pembangunan daerah, dan penyelenggaraannya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi spesifik daerah. Implementasi penyelenggaraan transmigrasi lebih berwawasan kultural dan kearifan lokal melalui peningkatan kerja sama yang harmonis antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dalam perencanaan kebijakan dan strategi pengembangan daerah transmigrasi, serta dengan masyarakat (pemangku adat dan tokoh masyarakat) setempat terkait penyediaan dan status kepemilikan lahan.
Hingga saat ini, sudah banyak permukiman transmigrasi yang berkembang menjadi sentra produksi pangan dan mencapai tingkat keberhasilan seperti yang diharapkan. Namun, terdapat pula lokasi transmigrasi yang belum mencapai tingkat keberhasilan seperti yang diharapkan.
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberhasilan tersebut adalah partisipasi aktif para stakeholder terkait, kerja keras transmigran, serta beberapa kondisi sarana dan prasarana pendukung.
Salah satu kawasan transmigrasi yang saat ini masih dalam kondisi terisolir adalah Kawasan Transmigrasi Padang Tarok yang terletak di Bumi Nagari Sijunjung, Provinsi Sumatera Barat. Penempatan awal transmigran sebanyak 30 kepala keluarga (KK) pada tahun 2017 ini menggunakan dana APBN dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi — dalam rangka percepatan program pembangunan di Bumi Nagari Sijunjung. Pemerintah daerah menjalin kerja sama dengan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk mengalokasikan anggaran untuk pembangunan 100 KK.
Unit Permukiman Transmigrasi Padang Tarok merupakan salah satu nagari yang terdapat di Kecamatan Baso, Kabupaten Agam, Provinsi Sumatera Barat. Akses menuju ke lokasi transmigrasi Padang Tarok dari Provinsi Sumatera Barat ditempuh dengan jarak sepanjang 1.568 km dengan waktu tempuh sekitar ± 5 jam perjalanan darat.
Lokasi itu sendiri merupakan areal pencadangan lahan yang merupakan lahan izin pinjam pakai kawasan hutan seluas 740 hektare (ha), dengan daya tampung transmigran sebanyak 300 KK. Hingga saat ini, jumlah transmigran yang telah ditempatkan mencapai 221 KK dengan jumlah jiwa sebanyak 635 jiwa. Selain diperuntukkan untuk penduduk daerah setempat dan daerah asal, transmigrasi di Padang Tarok juga diperuntukkan untuk Suku Anak Dalam yang rencananya akan ditempatkan sebanyak 19 KK. Namun, karena Suku Anak Dalam tidak berkenan untuk hidup menetap, maka penempatan akan dialihkan untuk penduduk setempat.

Beberapa fasilitas pendukung yang telah terbangun sesuai dengan Standar Pelayanan Minimal Berdasarkan Permendesa, PDT dan Transmigrasi No. 25 Tahun 2016 tentang Pembangunan dan Pengembangan Prasarana, Sarana dan Utilitas Umum Kawasan Transmigrasi, di antaranya Kantor UPT/Balai Desa, Gudang Unit, Rumah Ibadah, Puskesmas Pembantu, Rumah Petugas, Sarana Olah Raga, Lahan Pemakaman dan Lahan Kas Desa — yang dimanfaatkan oleh Kelompok Wanita Tani untuk menanam aneka sayuran.
Sedang sarana yang telah dibangun meliputi Jalan Lokal Primer, Jalan Lokal Sekunder, Jembatan, Box Culvert serta Gorong-gorong.
Sejauh ini, akses masuk menuju lokasi Padang Tarok masih sangat memprihatinkan, sehingga mendesak untuk dibenahi guna membantu perekonomian para transmigran. Pasalnya, jalan ini merupakan akses satu-satunya untuk mengangkut hasil panen pra transmigran ke desa sekitar.
Jika hujan, maka jalan utama untuk akses keluar-masuk tidak dapat dilewati. Masyarakat harus menunggu jalan kering baru bisa dilewati. Warga transmigran yang berada di dalam lokasi berharap besar agar akses jalan ini diperbaiki.

Untuk mendukung perekonomian para transmigran, sesuai dengan Undang Undang No. 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian, masyarakat mendapatkan lahan yang diperuntukkan untuk bertani/bercocok tanam untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari serta digunakan sebagai sumber pendapatan.
Dari tiap 2 ha lahan yang dibagikan per transmigran terbagi menjadi 3 jenis lahan, yaitu Lahan Perkarangan (LP) seluas 0,2 ha, Lahan Usaha I (LU I) seluas 0,8 ha, dan Lahan Usaha II (LU II) seluas 1 ha.
Untuk Lahan Perkarangan, para transmigran menanami dengan berbagai jenis tanaman pangan dan buah-buahan, sedangkan untuk lahan Usaha I dan II ditanami jenis tanaman pangan dan perkebunan. Jenis tanaman perkebunan yang banyak ditanami adalah pisang, pinang, kakao, jengkol, kopi dan sekarang sudah merambah ke perkebunan kelapa sawit.
Warga transmigran pun kini sudah mampu berinovasi dengan mengolah pisang hasil panen menjadi produk olahan, seperti keripik pisang, sale pisang. Dengan produk olahan hasil pertanian, selain meningkatkan daya simpan, juga meningkatkan nilai jual produk. Armah