Hutan bisa dinilai murah, atau tak bernilai. Seringkali diremehkan, ditebang secara liar sampai gundul, atau dibakar untuk menghilsngkan jejak kriminal. Pada kasus-kasus tertentu kayu-kayu bernilai hanya dijadikan bahan bakar.
Hal itu diungkapkan oleh pakar Kehutanan UGM Yogyakarta dan University of Wisvonsin USA Dr. Ir. Transtoto Handadhari, M.Sc yang juga pengajar Forest Resource Economics pada Mahasiswa S2 di UNLAM, Kalsel (1998-2008).
“Pemanfaatan nilai ekonomi hutan umumnya baru sebatas melihat keuntungan finansial yang nyata dari kayu dan hasil hutan lainnya,” ujar Transtoto yang merupaka Direktur Utama Perum Perhutani tahun 2005-2008 itu.
“Kekayaan biodiversiti, pengendalian tata air dan konservasi tanah, sumber oksigen, pengendalian perubahan iklim dan emisi karbon, nilai jasa wisata, fungsi ketahanan pangan dan ber-ratus fungsi lainnya sampai untuk media bela bangsa dan negara nyaris tidak dibicarakan,” lanjutnya.
Transtoto yang acapkali menyampaikan besarnya biaya perbaikan kerusakan hutan Indonesia sekitar Rp7.500 triliun utk reboisasi 60 juta hektare hutan rusak, menyesalkan minimnya upaya penganggaran pemulihannya.
Pencetus keharusan dilakukannya visi-misi hijau di setiap partai politik dengan berpegang pada budaya memuliakan hutan tanpa kecurangan (no cheating) tersebut juga terus mendorong agar semakin banyak rimbawan yang mau berpolitik untuk tujuan membela hutan dan ekosistem-nya.
“Bela hutan adalah bela negara,” tegasnya meyakinkan meski belum ada petugas kehutanan yang dikubur di Makam Pahlawan.
“Sayang sekali perusakan hutan yang dilakukan aparat pemerintahan karena kesalahan kebijaksanaannya belum juga terdengar dihukum berat,” katanya menyesali terjadinya ketidak-adilan hukum tersebut yang menimpa hutan.***