Tingginya harga minyak goreng di dalam negeri nampaknya bakal terus terjadi. Pasalnya, sampai awal tahun 2022, pasok minyak sawit mentah (CPO) di Malaysia, produsen terbesar kedua di dunia setelah Indonesia, terkendala tenaga kerja yang kronis serta hujan yang lebih lebat di sejumlah sentra produksi penting, yang mengganggu produksi minyak nabati paling banyak dikonsumsi di dunia ini.
Kondisi itu bakal menjaga harga tetap tinggi setelah tercapainya rekor harga 2021 — ketika harga patokan berjangka melesat tinggi sepanjang sejarah di posisi 5.071 ringgit/ton atau 1.231 dolar AS/ton.
Meski Malaysia sudah mencoba mempercepat kedatangan tenaga kerja asing yang sangat dibutuhkan perkebunan, namun penyebaran varian omikron COVID-19 kemungkinan bisa menggagalkan rencana tersebut, yang buntutnya menghambat panen dan membuat pasokan tetap seret.
Pada triwulan pertama 2022, kemungkinan bakal ada upaya pasar menembus angka 5.200 ringgit/ton atau lebih, karena pasokan tetap ketat di musim produksi yang rendah sementara permintaan menguat menghadapi Imlek, kata Gnanasekar Thiagarajan, kepala strategi trading dan hedging Kaleesuwari Intercontinental di Mumbai. “Namun pada triwulan berikutnya, harga akan tertekan oleh pasok yang membaik dan bisa menyusut ke level 3.975 ringit/ton atau bahkan lebih rendah lagi,” katanya seperti dikutip Bloomberg, Rabu (29/12).
Berikut hal-hal penting yang harus diperhatikan pada 2022:
Terbatasnya tenaga kerja
Menurunnya produksi di Malaysia, yang menyebabkan minyak sawit menjadi komoditi terdepan dalam reli harga minyak nabati global tahun ini, bisa bertahan sampai awal 2022 karena perkebunan sawit tidak menerima pasok tenaga kerja baru sebelum pertengahan tahun. Menurut Sathia Varqa, pemilik Palm Oil Analytics, Singpura, hal tersebut bakal menahan produksi lebih lanjut dan berpotensi mendrong naik harga patokan berjangka pada Januari dan Februari.
“Jika janji ditepati, kita akan melihat para pekerja di lapangan pada Mei-Juni,” ujar Varqa, seraya menyebut produksi pun akan meningkat signifikan. Produksi akan meningkat 6% menjadi 19,2 juta ton tahun depan jika pekerja kembali, katanya.
Namun, prediksi ini tergantung omikron juga. Penyebaran varian baru COVID-19 ini bisa memicu langkah lockdown baru dan pembatasan perjalanan, sehingga tenaga kerja baru pun sulit mencapai perkebunan.
Di Indonesia sendiri, pola produksi kemungkinan akan kembali normal tahun depan, di mana pada triwulan pertama produksi biasanya merupakan yang paling rendah, kata Wakil Ketua Umum GAPKI, Togar Sitanggang. Dia memperkirakan produksi meningkat sekitar 3% selama 2022 sebesar 48 juta ton.
La Nina
Saat ini sorotan tertuju pada fenomena La Nina, pola cuaca yang menyebabkan cuaca yang lebih kering di sentra-sentra produksi pertanian penting Amerika Selatan, tapi lebih basah — yang menyebabkan hujan lebih lebat — di kawasan produsen minyak sawit Indonesia dan Malaysia, selain Australia.
Banyak investor pertanian yang siap-siap karena La Nina mengancam kacaunya pasar pangan global dalam beberapa bulan ke depan. Fenomena ini sudah memanggang beberapa bagian Brasil dan Argentina — dua negara produsen minyak kedele, sang pesaing minyak sawit.
Di Malaysia, hujan yang terus-menerus telah menimbulkan banjir di Pahang dan Selangor selama Desember, yang mengganggu panen dan logistik di perkebunan-perkebunan sawit, dan mengakibatkan tutupnya operasional di pelabuhan terbesar kedua di Asia Tenggara, Port Klang, selama beberapa hari. Badan meteorologi Malaysia memperkirakan gelombang monsun, yang dapat memicu lebih banyak hujan sampai 2 Januari.
Biaya pupuk
Ternyata bukan hanya kekurangan tenaga kerja yang menghambat produksi. Melonjaknya harga pupuk akan memaksa pekebun, terutama petani kecil, memangkas pemupukan tanaman sawit mereka dan berpotensi menggagalkan pemulihan produksi.
“Biaya produksi minyak sawit pada tahun 2022, berdasarkan harga pupuk yang terjadi saat ini, diperkirakan lebih tinggi 15%-20% dari setahun lalu,” ujar Direktur Riset Perkebunan Asean UOB Kay Hian, Leow Huey Chuen. “Harga CPO yang tinggi kemungkinan bisa mengkompensasi tingginya biaya produksi, tapi pemberian pupuk yang tepat waktu merupakan tantangan lain.”
Ketidakpastian permintaan
Harga minyak sawit yang tinggi bisa mendorong inflasi pangan dan menurunkan demand dari pembeli besar India dan China. Dengan harga yang lebih mahal, maka harga minyak nabati lainnya akan dipilih oleh buyer yang peka dengan perubahan harga.
“Dengan harga yang bertengger di atas 1.200 dolar AS di pasar fisik di hampir sepanjang tahun 2021, buyer nampaknya sudah terbiasa dengan harga tinggi,” ujar Thiagarajan. “Tapi ketika harga lebih tinggi lagi di atas 1.300 dolar AS, buyer bisa menunda pembelian minyak sawit dan memaksa mereka mencari minyak lainnya, seperti minyak kedele dan bunga matahari.”
Hal lainnya yang perlu diawasi adalah apakah negara-negara konsumen, seperti China dan India, akan bertindak lebih lanjut untuk mengatasi kenaikan harga atau spekulasi yang berlebihan, kata Paramalingam Supramaniam, direktur di perusahaan pialang Pelindung Bestari di Selangor.
Biodiesel
Keputusan Indonesia menjalankan program mandatori pencampuran biodiesel tetap saja menjadi pendorong utama harga minyak sawit. Indonesia akan memenuhi target konsumsi biodiesel 9,4 juta kiloliter (KL) tahun 2021, demikian disampaikan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS), di mana dana yang diperoleh dari pungutan ekspor digunakan untuk mensubsidi harga biodiesel. Untuk tahun 2022, targetnya menjadi 10,15 juta KL. AI