Pengusaha perkebunan kelapa sawit mendesak pemerintah melakukan aksi balasan atas sikap diskriminasi dan proteksi yang dilakukan Uni Eropa (UE) terhadap komoditas biodiesel. Terapkan bea masuk yang lebih tinggi terhadap produk pertanian impor UE dan langkah itu tidak melanggar aturan WTO.
Komoditas kelapa sawit nasional terus mendapat rongrongan di pasar UE. Setelah kebijakan diskriminatif yang menghambat produk biodisel melalui Delegated Act Renewable Energy Directive (RED) II, yang belum resmi dilakukan, UE kembali mengancam menerapkan bea masuk imbalan sementara untuk biodiesel dengan dalih Indonesia memberikan subsidi. Kebijakan ini akan diberlakukan sementara per 6 September 2019, dan ditetapkan secara definitif per 4 Januari 2020 dengan masa berlaku selama 5 tahun.
Rongrongan terhadap ketangguhan ekspor sawit tak hanya dari pasar Eropa. Pasar India juga menjadi ancaman serius karena mereka menaikkan tarif bea masuk minyak sawit sampai batas maksimum: 54%. Sementara jiran Malaysia, saingan kuat Indonesia, malah diturunkan menjadi 45% karena punya perjanjian dagang Comprehensive Economic Cooperation Agreement (CECA) dengan India.
Perkembangan di dua pasar ini, terutama aksi diskriminasi bertubi-tubi UE, membuat jengkel pengusaha sawit dan mendesak ada aksi balasan. Maklum, UE sudah berulang kali membuat hambatan dagang untuk mengganjal keunggulan sawit Indonesia. “Pemerintah bisa mengenakan instrumen tarif bea masuk. Indonesia bisa naikkan tarif sampai 40% untuk produk pertanian UE. Hal itu tidak melanggar WTO,” ujar Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Joko Supriyono dalam diskusi ‘Menciptakan Industri Sawit yang Berkelanjutan’ di Jakarta, pekan lalu.
Selama ini Indonesia masih terlalu rendah menerapkan bea masuk produk impor dari UE. Itu sebabnya, jika retaliasi diberlakukan, maka tidak menutup kemungkinan bakal terjadi negosisasi dagang antara UE-Indonesia. Termasuk kemungkinan kawasan tersebut mengkaji ulang berbagai macam hambatan dagang untuk produk sawit Indonesia. Dia menyebut produk-produk susu bisa dikenakan bea masuk tinggi.
Sementara terkait pasar India, Joko meminta pemerintah segera melakukan perjanjian bilateral. Selama ini, Indonesia baru punya perjanjian dagang bilateral dengan Pakistan selaku negara importir sawit dan produk turunannya.
Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Rosan P. Roeslani mendukung terealisasinya perjanjian perdagangan bilateral dengan negara-negara pengimpor kelapa sawit dan produk turunannya. Kadin juga akan terus mengawal pasar sawit Indonesia di Eropa dengan meyakinkan publik bahwa kelapa sawit Indonesia telah menjalankan praktik berkelanjutan. “Kami akan terus meyakinkan publik bahwa Indonesia sudah berkomitmen menjalankan praktik pengelolaan hutan berkelanjutan seperti yang ditetapkan dalam MDG’s dan SDG’s. Seharusnya tidak ada isu lagi bagi industri sawit Indonesia di pasar Eropa,” tegasnya. AI