Petani tebu mendesak pemerintah menghapus tataniaga yang mewajibkan gula curah petani dan milik pabrik gula BUMN dijual ke Perum Bulog. Penghapusan ini lebih mendesak ketimbang pembebasan pajak penghasilan (PPh). Pemerintah juga tak perlu khawatir karena di pasar ada mekanisme harga eceran tertinggi (HET) gula.
Permintaan petani tebu agar pemerintah menghapus pajak penghasilan (PPh) saat menjual gula ke Perum Bulog nampaknya mengendor. Selain butuh jalan panjang, pemerintah sendiri baru saja merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan Dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Nah, di aturan revisi yang berlaku efektif 1 Juli 2018 ini, tarif PPh final untuk usaha kecil menengah (UKM) diturunkan jadi 0,5% dari semula 1%.
Yang menarik, Kementerian Pertanian pun tidak setuju usulan penghapusan PPh tanpa ada pengkajian kriteria yang tegas dan jelas. Penghapusan PPh juga tidak berpengaruh signifikan dalam peningkatan produksi gula petani. Apalagi, petani tebu juga tidak semuanya petani kecil. “Jadi, harus dilihat kriterianya. Tidak bisa dipukul rata karena semua pemilik tebu tidak hanya petani kecil, tetapi ada juga yang dimiliki perusahaan besar,” ujar Kepala Subdirektorat Tanaman Tebu dan Pemanis lainnya, Kementerian Pertanian, Gede Wirasuta di Jakarta, Jumat (29/6/2018).
Bahkan dia menganjurkan agar petani memiliki NPWP agar penghasilan yang dikeluarkan lebih ringan. Maklum, sesuai dengan aturan, penjualan gula petani ke Bulog dikenakan PPh 1,5% bagi petani yang punya NPWP dan 3% bagi yang tidak punya NPWP. “Berarti petani harus patuh dengan aturan pemerintah dan harus punya NPWP supaya ringan,” tegasnya.
Ketua DPN Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen mengakui beratnya penghapusan PPh karena terkait pendapatan negara dan bakal memakan proses panjang karena terkait undang-undang. Itu sebabnya, dia justru mendesak pemerintah lebih baik menghapus tataniaga gula. “Yang jadi permasalahan adalah penerapan aturan dari Menko dan Surat Edaran (SE) Mendag. Sebaiknya aturan itu dihapus saja,” tegas Soemitro.
Sesuai SE Mendag No. 885/M-DAG/SD/8/2017 tanggal 16 Agustus 2017, yang menindaklanjuti surat Menko Perekonomian Nomor: S-202/M.EKON/08/2017, Perum Bulog ditetapkan sebagai satu-satunya pembeli gula petani dan gula milik PG BUMN dengan harga Rp9.700/kg. Gula ini nanti akan dijual Bulog dalam bentuk curah ke pedagang di pasar tradisional yang melepasnya sesuai HET.
Soemitro mengaku tataniaga gula saat ini tak mampu diemban Bulog, dan tahun 2017 BUMN ini hanya sanggup menyerap 150 ton gula. Itu sebabnya, Soemitro mengaku penghapusan tataniaga yang mendesak itu sudah disampaikan pengurus APTRI ke Presiden Jokowi pada 28 Juni 2018. “Dalam pertemuan itu, saya sudah sampaikan kepada Presiden Jokowi bahwa saat ini pedagang takut membeli gula petani karena adanya aturan-aturan itu,” tegasnya. AI