Uni Eropa Tunda Klasifikasi dalam EUDR

* Memberi Waktu Setiap Negara Beradaptasi

Pembukaan kawasan hutan menjadi perkebunan di Indonesia. Foto: Reuters

Uni Eropa (UE) bermaksud menunda pemberlakuan aturan ketat impor komoditi dari kawasan yang rawan deforestasi, atau dikenal dengan UU Bebas Deforestasi (EUDR), setelah sejumlah negara Asia, Afrika dan Amerika Latin mengajukan protes karena aturan tersebut memberatkan, tidak adil dan menakuti investor.

Brussels dikabarkan akan menunda klasifikasi negara ke dalam tiga kategori — berisiko rendah, standar dan tinggi — yang sedianya akan diterapkan pada Desember. Sebaliknya, Brussels akan menetapkan seluruh negara masuk dalam risiko standar guna memberi lebih banyak waktu setiap negara untuk beradaptasi dengan EUDR. Hal itu dikemukakan tiga pejabat UE kepada Financial Times, Jumat (8/3).

“Kami tidak akan melakukan klasifikasi dan itu artinya semuanya berisiko medium (standar) — kami butuh lebih banyak waktu untuk menerapkan sistem ini,” kata seorang pejabat. “Kami mendapat banyak keluhan dari para mitra. (Penundaan ini) berarti tidak ada satu negara pun yang punya keunggulan dibanding negara lainnya.”

EUDR, yang merupakan bagian dari inisiatif Green Deal (Kesepakatan Hijau) utama UE, disahkan tahun 2023 dan bertujuan untuk mengurangi peran konsumen UE terhadap penggundulan hutan dengan cara melarang masuk impor 7 komoditi (kayu, kopi, kakao, minyak sawit, ternak, kedele dan karet) yang ditanam di kawasan terdeforestasi untuk dijual ke blok ekonomi ini.

Namun, EUDR ini memicu kemarahan banyak negara berkembang dan menuduh UE memaksakan standar hijaunya kepada negara lain. Negara-negara produsen minyak sawit utama dunia, terutama Indonesia dan Malaysia, telah menyampaikan “beragam kekhawatiran” atas pemberlakuan aturan tersebut melalui surat kepada Komisi Eropa pada September 2023.

“UU tersebut mengabaikan keadaan dan kemampuan lokal, peraturan dan UU nasional serta mekanisme sertifikasi negara-negara berkembang selaku produsen, (serta) upaya-upaya mereka memerangi deforestasi dan komitmen multilateral, termasuk prinsip tanggung jawab bersama namun berbeda,” tulis surat itu.

Banyak perusahaan menyatakan mereka kemungkinan keluar dari wilayah yang “berisiko tinggi” karena beban untuk membuktikan produk mereka bukan dari lahan yang terdeforestasi terlalu berat, sementara beberapa perusahaan sudah mulai memilih kesepakatan pasokan dengan produsen-produsen yang lebih besar — yang mampu menerapkan teknologi geolokasi yang canggih.

EUDR, yang jadi bagian penting dari rencana Brussels untuk mencapai Eropa netral karbon (emisi nol bersih) tahun 2050, mewajibkan para importir memberikan data geolokasi untuk membuktikan bahwa barang atau produk yang mereka masukan tidak berasal dari daerah yang terkena deforestasi.

Awalnya, sistem ini dirancang untuk beroperasi melalui sistem lampu lalulintas yang akan mengklasifikasikan negara-negara yang memiliki tingkat deforestasi tinggi, sedang dan rendah. Sistem ini akan menggunakan ukuran seperti laju degradasi lahan dan perluasan aktivitas pertanian serta bukti-bukti dari masyarakat adat dan LSM.

Tingkat pemeriksaan terhadap komoditi impor akan bergantung pada klasifikasi negara atau wilayah asal, di mana pihak Bea Cukai UE ditugaskan untuk memeriksa 3% barang dari negara dengan klasifikasi berisiko menengah dan 9% dari negara-negara berisiko tinggi.

Produk-produk yang dicakup oleh EUDR meliputi sapi, kedele, dan kayu. Jika tidak dikendalikan, permintaan UE terhadap komoditi tersebut akan berkontribusi terhadap deforestasi seluas 248.000 hektare (ha) per tahun pada 2030, demikian menurut hasil penelitian Komisi Eropa.

Pendekatan regional

Dalam upaya lebih lanjut untuk menenangkan kekhawatiran negara-negara berkembang, para pejabat UE itu mengkonfirmasikan bahwa Brussels akan mengambil pendekatan regional dibandingkan pendekatan nasional. Dengan demikian, daratan di wilayah selatan Brasil akan diklasifikasikan sebagai wilayah dengan risiko lebih rendah dibandingkan wilayah Amazon, di mana sebagian besar hutan tropis di kawasan itu telah dibabat habis. Brasil adalah eksportir utama dunia untuk kedele dan komoditi pertanian lainnya.

Seorang pejabat UE mengatakan, upaya memperlambat proses klasifikasi tersebut tidak akan mengubah aturan yang ada, tapi hanya sebagai “sinyal bahwa kami tidak berencana terburu-buru.”

Negara-negara berkembang sangat marah karena EUDR yang disahkan pada Juni 2023 itu dilakukan tanpa panduan yang jelas tentang bagaimana cara mematuhinya. Mereka menyoroti berbagai isu, seperti risiko hancurnya ratusan ribu ton kopi dan biji kakao.

Menteri Perdagangan Malaysia, Zafrul Aziz mengatakan, negaranya dan negara lain memerlukan waktu dan bantuan untuk menerapkan sistem pengendalian.

“Anda butuh waktu karena untuk memenuhi standar itu, semua transparansi atau keterbukaan itu, butuh biaya yang sangat besar,” katanya kepada Financial Times, seraya menambahkan bahwa hal itu “tidak jadi masalah” buat perusahaan-perusahaan besar untuk mematuhinya, tapi akan jadi hambatan dan kesulitan buat “petani kecil”.

Dia menagaskan, Kuala Lumpur bekerja sama dengan Brussels dalam hal penerapan UU tersebut. Namun Komisi Eropa menolak berkomentar. AI