RUU Pertanahan, Tap MPR No IX Tahun 2001 Harus Jadi Acuan

Tumpangsari di kawasan hutan

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha PHI Purwadi Suprihanto berpendapat penyusunan RUU Pertanahan yang bertujuan untuk menyempurnakan UU Pokok agraria yang lex generalis, seharusnya tetap mengacu pada Tap MPR No IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. TAP MPR itu mengatur secara berbeda antara rezim hukum pertanahan dan sumber daya alam, seperti kehutanan, perikanan, pertanian, dan pertambangan

“RUU Pertanahan mestinya fokus pada Keagrariaan dan Tanah,  sementara untuk Pengelolaan SDA, termasuk hutan, hendaknya tetap dikelola lex specialis sesuai UU No 41 tahun 1999 tentang kehutanan UU Sektor,” katanya, Selasa (16/7/2019).

Purwadi menuturkan beberapa pasal menimbulkan ketidakkosistenan dan kebingungan dalam RUU Pertanahan. Seperti penyebutan “kawasan” pada Pasal 63, 64,65 dan 66. Pasalnya pada pasal-pasal sebelumnya, bahkan di Pengertian, sama sekali tidak disinggung batasan “kawasan”.

Purwadi menegaskan, persoalan kawasan hutan, tidak sekadar mengatur soal tanah, melainkan juga ekosistem hutan termasuk flora, fauna dan keanekaragaman hayati di dalamnya. Oleh sebab itu, pengaturannya harus tetap di di Kementerian LHK.

“Untuk itu, perlu diperjelas batasan  “kawasan”, jika itu terkait dengan kawasan hutan, mestinya tetap dikelola oleh Kementerian LHK,” katanya.

Purwadi menegaskan, karena masih terjadi ketidaksinkronan, kami mengusulkan agar RUU Pertanahan ini ditunda dulu. Usulan ini juga karena RUU itu nantinya akan menyebabkan ketidakpastian usaha dan ekonomi biaya tinggi yang diakibatkan tumpang tindih kewenangan dalam  proses pendaftaran tanah. Sugiharto