Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita melempar isu panas terkait stabilisasi harga gula. Pekan lalu, Mendag memberi lampu hijau penjualan gula kristal rafinasi (GKR) ke pasar konsumen rumah tangga. Selama ini, pangsa pasar GKR hanya terbatas untuk industri, sedangkan konsumen rumah tangga hanya boleh dimasuki gula kristal putih (GKP).
Walaupun begitu, lampu hijau bagi penjualan GKR ke pasar konsumen rumah tangga ada syaratnya. Mendag Enggartiasto mewajibkan gula rafinasi dijual dengan harga Rp12.500/kg. Syarat ini wajib dipatuhi karena selama ini gula rafinasi masih impor dan harganya lebih murah dibanding gula konsumsi.
“Harganya harus sama dengan Rp12.500 dan ditempel, dicetak dalam kemasan,” kata Enggartiasto, pekan lalu.
Dia menyebutkan, gula rafinasi layak dikonsumsi masyarakat umum karena bahan bakunya sama dengan gula kristal putih. “Sumbernya kan sama raw sugar, gula mentah. Sebenarnya gulanya (raw sugar) itu gula kristal putih tapi warnanya saja ada yang butek,” jelasnya.
Perbedaan pangsa pasar antara gula rafinasi dan gula kristal putih di Indonesia terjadi sejak dikeluarkannya Peraturan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527 tahun 2004 tentang ketentuan impor gula. Dalam peraturan tersebut, gula rafinasi ditetapkan hanya boleh diperdagangkan untuk kalangan industri saja. Sementara untuk pangsa pasar rumah tangga dipegang oleh gula kristal putih.
Kebijakan itu diperkuat lagi oleh Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 74/M-DAG/PER/9/2015 tentang Perdagangan antarpulau. Di pasal 1 aturan ini disebutkan bahwa gula kristal rafinasi adalah gula yang dipergunakan sebagai bahan baku produksi. Sedangkan pasal 3 mengatur gula kristal rafinasi hanya dapat diperdagangkan kepada industri pengguna sebagai bahan baku dan dilarang diperjualbelikan di pasar eceran.
Revisi
Wacana perluasan pasar gula rafinasi yang dilontarkan Mendag Enggartiasto langsung direspon oleh pejabat eselon I di lingkungan Kemendag. Irjen Kemendag, Karyanto Suprih menyatakan, wacana yang dilontarkan Mendag itu perlu diikuti dengan revisi Permendag yang mengekang peredaran gula rafinasi di pasar umum.
“Untuk merevisi aturan itu, kami perlu melakukan pembicaraan dengan instansi-istansi terkait, seperti dari kalangan petani, industri dan instansi pemerintah lainnya,” ujar Karyanto.
Dirjen Perdagangan Dalam Negeri, Oke Nurwan juga menjelaskan bahwa pembebasan pangsa pasar gula rafinasi baru bisa dilakukan setelah adanya revisi aturan. “Saat ini kita masih pakai aturan yang lama. Namun, bila ada kebijakan untuk dapat memasarkan gula rafinasi ke tingkat konsumsi, maka payung hukum yang mengatur kebijakan ini akan dilakukan perbaikan,” ujarnya
Sebenarnya, secara tidak resmi, gula rafinasi juga telah beredar di pasar konsumen rumah tangga. Hal ini dapat dilihat dari gula yang dipakai dalam kegiatan operasi pasar (OP), kebanyakan yang dipakai adalah gula rafinasi.
Bahkan, tidak lama lagi sekitar 260.000 ton gula rafinasi akan kembali membanjiri pasar rumah tangga setelah gula mentah (raw sugar) yang diimpor oleh Perum Bulog diolah oleh lima industri gula rafinasi dan akan diedarkan ke masyarakat luas. Perum Bulog sendiri telah menetapkan harga jual tertinggi gula yang akan diedarkan ke masyarakat itu sebesar Rp12.500/kg.
AGRI Siap
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Gula Rafinasi (AGRI) Benny Wachyudi mengatakan, saat ini AGRI masih fokus menjual gula rafinasi ke industri. Namun, pihaknya siap menjalankan perintah Mendag untuk menjual gula rafinasi ke pasar konsumsi jika diperintahkan.
Dukungan bagi perluasan pasar gula rafinasi juga dilontarkan pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Faisal Basri. Dalam sebuah pemaparannya, Faisal menyebutkan keberadaan industri gula rafinasi telah memberikan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia. Nilai tambah itu antara lain berupa pengolahan gula mentah menjadi gula rafinasi, sehingga pemerintah bisa menghemat biaya impor.
Dijelaskan, nilai tambah yang tercipta oleh industri gula rafinasi pada tahun 2015 diperkirakan mencapai sekitar 260 juta dolar AS. Nilai tambah tersebut sebagian menjadi penerimaan investor dalam bentuk keuntungan dan upah tenaga kerja. “Sebagian lagi dibayarkan untuk biaya pinjaman, penyusutan dan pajak perusahaan,” ucapnya.
Karena itu, ungkapnya, dia mendukung adanya perluasan pasar bagi gula rafinasi. Dikatakan, kebijakan distribusi gula yang tepat oleh pemerintah dapat menciptakan persaingan yang sehat di pasar gula, baik di pasar gula rafinasi sendiri maupun industri gula rafinasi dengan industri gula berbasis tebu.
“Persaingan yang sehat dapat mendorong industri gula di dalam negeri untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas sehingga dapat tumbuh berkesinambungan dan lebih berdaya saing,” ujar Faisal Basri.
Sampai dengan 2016, industri gula rafinasi telah berkiprah selama 20 tahun di Indonesia sejak didirikannya pabrik gula rafinasi pertama di Indonesia tahun 1996, yakni PT Bermis Madu Sejati berlokasi di Banten dengan kapasitas produksi 160.000 ton/tahun. Kini, jumlah produsen dan volume produksi gula rafinasi terus bertambah hingga mencapai 11 produsen dengan total produksi 2,8 juta ton pada tahun 2015.
Adapun kpasitas produksi yang diizinkan untuk 11 pabrik gula rafinasi tersebut adalah sekitar 5,01 juta ton/tahun. Akan tetapi, hingga saat ini kapasitas produksi yang dapat digunakan (running capacity) hanya sekitar 3,6 juta ton/tahun. Pada tahun 2015, pemakaian kapasitas produksi gula rafinasi sudah mencapai 78%.
Sebagai industri yang baru berkembang dan bersinggungan dengan banyak kepentingan, kehadiran industri gula rafinasi sering menimbulkan silang pendapat. Pandangan terhadap industri gula rafinasi seringkali tidak tepat atau kurang proporsional. Demikian pula gula rafinasi sering dipersepsikan berbeda dengan gula berbasis tebu. Misalnya, gula rafinasi tidak layak dikonsumsi langsung, industri gula rafinasi penghambat swasembada gula nasional dan sebagainya. B Wibowo
Industri Mamin Dukung Demi Stabilisasi
Wacana pelepasan pasar gula rafinasi oleh Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita langsung mendapat dukungan pelaku industri makanan dan minuman. Ketua Umum Ketua Gabungan Asosiasi Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S Lukman menyatakan pembebasan pasar gula rafinasi akan menjadi kebijakan pemerintah dalam menstabilisasi harga gula di tingkat konsumen.
“Sebaiknya memang jenis gula itu disatukan. Yang ada nantinya adalah kualitasnya sehingga konsumen dapat memilih,” ujarnya kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.
Industri makanan dan minuman (mamin) selama ini menjadi pembeli terbesar gula rafinasi di dalam negeri. Setiap tahun volume kebutuhan gula rafinasi industri mamin terus meningkat seiring dengan terus bertumbuhnya industri mamin di dalam negeri.
Data Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI) menunjukkan, selama periode 2011-2015 nilai tambah (Produk Domestik Bruto) industri makanan dan minuman tumbuh rata-rata 8,5% per tahun. Selama periode tersebut, produksi makanan dan minuman tumbuh rata-rata 6,5% per tahun.
Jika kebutuhan gula meningkat proporsional dengan peningkatan produksi, kebutuhan gula rafinasi untuk industri makanan dan minuman akan naik 6,5% per tahun. Namun, selama periode tersebut, ternyata peningkatan pasokan GKR (produksi dalam negeri dan impor) rata-rata meningkat hanya 3,5% per tahun.
Permintaan gula rafinasi oleh industri mamin juga menjadi patokan bagi pemerintah dalam memberikan alokasi impor raw sugar (gula mentah) kepada para pelaku industri gula rafinasi nasional. Untuk mendapatkan alokasi impor raw sugar, industri gula rafinasi harus mencantumkan bukti transaksi penjualan gula rafinasi mereka kepada industri yang membutuhkan komoditas tersebut.
Pasok industri
Walaupun mendukung pembebasan pangsa pasar, Adhi juga mengingatkan pemerintah agar kebijakan tersebut tidak menganggu pemenuhan kebutuhan gula rafinasi bagi industri mamin.
“Catatan saya, pembebasan pangsa pasar itu jangan sampai mengalahkan bahan baku untuk industri. Kalau rafinasi untuk konsumsi, nanti industri jangan sampai tidak punya bahan baku lagi,”ujar dia mengingatkan.
Dia juga menyebutkan, gula rafinasi akan mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan Menteri Perdagangan Enggartiato Lukita, yakni dijual dengan harga tertinggi Rp12.500/kg.
Adhi sendiri menolak menyebutkan berapa harga pembelian gula rafinasi yang dikeluarkan industri mamin di dalam negeri saat ini. “Yang jelas gula rafinasi lebih murah karena pakai harga internasional dan biaya giling,” ucapnya.
Dia juga menjelaskan, masuknya gula rafinasi ke pasar umum akan memberikan kemudahan bagi industri mamin kelas kecil dan menengah untuk mendapatkan bahan baku berupa gula yang memiliki kualitas bagus.
Memang, selama ini industri kecil dan menengah yang bergerak di sektor makanan dan minuman menjadi pihak yang dirugikan oleh kebijakan pembatasan pangsa pasar gula rafinasi. Pasalnya, pemerintah menerapkan kebijakan ketat untuk mencegah merembesnya gula rafinasi ke pasar umum dengan menghapuskan keberadaan distributor gula rafinasi. Pembelian gula rafinasi harus dilakukan langsung kepada produsen gula rafinasi.
Akibatnya, untuk bisa mendapatkan gula rafinasi, IKM mamin harus membeli dalam jumlah banyak karena produsen tak melayani pembelian ritel. Hal ini jelas memberatkan IKM karena harus mengeluarkan dana besar untuk membeli bahan baku berupa gula rafinasi. B Wibowo