Penyatuan Pasar Gula Matikan Petani

Penjualan gula (ilustrasi)

Wacana Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menyatukan pasar gula di dalam negeri dengan membebaskan gula rafinasi masuk ke pasar konsumen rumah tangga kontan ditolak mentah-mentah kalangan petani tebu di dalam negeri.

Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen menegaskan, penyatuan pasar itu hanya akan mematikan petani tebu rakyat karena tidak mampu bersaing dengan industri gula rafinasi. “Kami menolak wacana penyatuan pasar itu karena sama saja mematikan petani tebu di dalam negeri,” ujar Soemitro, akhir pekan lalu.

Dia menjelaskan, industri gula kristal putih tidak akan mampu bersaing dengan gula rafinasi karena biaya produksi dari gula rafinasi jauh lebih murah dibandingkan dengan biaya produksi gula kristal putih. “Bahan baku gula rafinasi, yakni raw sugar, berasal dari produksi pabrik-pabrik gula di luar negeri yang sudah efisien,” katanya.

Dia menyebutkan, perkebunan tebu dan pabrik pengolahan gula mentah di luar negeri mampu menghasilkan rendemen sebesar 15% sehingga biaya produksinya menjadi lebih murah.

Sedangkan di Indonesia, perkebunan tebu dan pabrik gula kebanyakan hanya mampu menghasilkan rendemen sekitar 7% sehingga biaya produksi yang timbul menjadi lebih mahal. “Bahkan di sejumlah daerah masih ada yang tingkat rendemennya sekitar 4%,” tegas Soemitro.

Jika didasarkan hitung-hitungan Soemitro, biaya produksi yang harus dikeluarkan dari produksi gula kristal putih di dalam negeri mencapai Rp10.600/kg. Angka itu didasarkan dari asumsi tingkat rendemen sekitar 7%.

Soemitro mengatakan, komponen biaya yang cukup besar antara lain berupa sewa lahan yang saat ini mencapai sekitar Rp50 juta/hektare serta upah tenaga kerja.

Dia juga membandingkan biaya produksi gula rafinasi yang sangat murah. Menurutnya, harga raw sugar impor hingga di pelabuhan dalam negeri tidak lebih dari Rp5.000/kg. Jika ditambah dengan ongkos pengolahan dan distribusi serta biaya lainnya, ungkap Soemitro, biaya produksi dari gula rafinasi saat ini paling tinggi hanya Rp8.000/kg.

“Dengan komposisi biaya produksi seperti itu, tentunya kami pasti kalah,” ucapnya.

Karena itu, dia meminta Mendag tidak gegabah dalam menerbitkan aturan baru di sektor komoditas gula. “Sebaiknya suara kami didengar. Mendag jangan bertindak gegabah hanya untuk mendapatkan rapor baik dari presiden,” paparnya.

Dia juga mengimbau Mendag tidak hanya terpaku pada komoditas gula saja, tetapi juga ikut fokus pada komoditas bahan pangan lain yang saat ini harganya masih tinggi, seperti daging sapi. “Petani tebu akan menuntut agar harga daging sapi diturunkan menjadi Rp80.000/kg nantinya,” ancamnya.

Soemitro menegaskan, untuk menurunkan harga gula di dalam negeri, sebaiknya pemerintah memberikan stimulus kepada petani tebu, seperti pembangunan infrastruktur jalan, pemberian modal berbunga rendah, pemberian benih serta menciptakan pabrik gula yang efisien. “Jika stimulus itu bisa diterapkan, tentunya biaya produksi yang dikeluarkan akan mengalami penurunan,” jelasnya. B Wibowo

Kementan Minta Koordinasi

Meski tidak terlait langsung dengan kebijakan stabilisasi harga gula di dalam negeri, namun Kementerian Pertanian (Kementan) mengaku akan tetap melakukan koordinasi dengan pihak terkait, terutama Kementerian Perdagangan, sehubungan rencana gula rafinasi masuk pasar umum.

“Produksi gula kita memang kurang. Untuk menutupi kekurangan itu, maka mau tidak mau harus impor. Tapi kita harus koordinasi dulu dengan instansi terkait, sehingga impor gula itu tidak mengganggu petani tebu,” kata Dirjen Perkebunan, Kementan, Bambang, MM kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (30/9/2016).

Dia menyatakan, Pihak Kementan hanya bisa melakukan kordinasi terkait wacana gula rafinasi masuk pasar umum. Koordinasi ini tak lain untuk melindungi petami dalam negeri agar tidak terpengaruh oleh kebijakan yang diambil di hilir.

 “Bagaimanapun juga petani tebu harus kita lindungi. Jadi, soal kebijakan itu kita akan koordinasikan lagi dengan instansi terkait. Kita akui produksi gula kita belum mencukupi untuk kebutuhan konsumsi,” katanya.

Selama ini produksi gula memang defisit. Jangankan untuk gula industri, gula konsumsi pun masih kurang. Untuk tahun ini, produksi gula melah menurun dibandingkan dengan produksi 2015. Penurunan ini salah satunya disebabkan oleh iklim yang tidak mendukung serta rendemen tanaman tebu yang relatif masih rendah. “Produksi gula tahun ini turun dibandingkan tahun lalu,”  katanya.

Sementara itu, mantan Dirjen Perkebunan Achmad Mangga Barani mengatakan, hanya di Indonesia ada gula rafinasi. “Di seluruh dunia tidak ada jenis gula rafinasi, hanya Indonesia yang ada. Membedakan gula itu dari kualitas atau mutunya,” tegasnya.

Data Ditjen Perkebunan Kementan mencatat produksi gula pada tahun 2014 yaitu 2,579 juta ton. Tahun 2015 produksi gula turun menjadi 2,497 juta ton. Tahun 2016, produksi gula juga mengalami penurunan menjadi 2,40 juta ton.“Penurunan produksi tahun ini karena faktor iklim. Selain itu areal tanaman tebu juga mengalami penurunan,” katanya.

Akademisi Institut Pertanian Bogor (IPB) Purwono mengatakan ada dua faktor utama penyebab penurunan produksi gula pada tahun ini. Faktor pertama akibat  penurunan rendemen dari 8,28% menjadi 7%. Penurunan rendemen ini disebabkan cuaca kemarau basah yang terjadi sepanjang tahun ini.

Jika Bila rendemen tebu hanya 7%, artinya dari 100 kilogram tebu yang digiling, akan diperoleh 7 kilogram gula kristal putih.

Faktor kedua, penurunan luas tanam tebu.Total penurunan luas tanam komoditas tebu mencapai 10.000 hektare (ha). Penurunan ini ditengarai disebabkan oleh beberapa daerah yang mengalami kekeringan terlampau parah pada tahun lalu.

“Selain itu memang ada faktor lain yang menyebabkan penurunan luas tanam tebu yaitu kompetisi dengan komoditi lain dalam pemanfaatan lahan. Harga gabah yang membaik juga menjadi alasan petani membongkar tebunya dan menanam padi,” ujarnya.

Luar Jawa

Pelaksana Harian Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Ditjen Perkebunan Gde Wirasuta, mengatakan luas areal tanaman tebu tahun 2016 mencapai 451.128 ha dengan produktivitas 73,3 ton/ha dan rendemen 7,04%. Taksasi produksi 2.327.294 ton.

Dia menyebutkan dari luas areal 451.128 ha tercatat  areal tanaman tebu pabri gula Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seluas 257.424 ha dengan produksi 1.305.560 ton. Sedangkan luas areal tanaman tebu milik pabrik gula swasta hanya 193.700 ha dengan produksi 1,021.734 ton.

Gde Wirasuta mengatakan, pulau Jawa, sudah sulit untuk dilakukan perluasan tanaman tebu karena lahan pertanian sangat terbatas. Jika ada investor yang ingin investasi pada membangun industri gula, maka diarahkan ke luar Jawa.

“Di luar Jawa lahan masih tersedia cukup banyak. Namun pembangunan industri gula harus disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang ada di wilayah tersebut,” ungkapnya.

Untuk di Pulau Jawa sebenarnya sudah tidak layak lagi dibangun pabrik gula yang baru, karena persaingan lahan dengan komoditi yang lain sudah sudah cukup ketat.

“Di Jawa sulit mencari lahan untuk tanaman tebu. Persaingan dengan komoditi pertanian yang mempunyai nilai jual tinggi sangat ketat,” katanya.

Namun, ketika ditanya bahwa pihak Perhutani menyediakan lahan untuk tanaman tebu, Gde Wirasuta, mengatakan sampai sekarang belum ada kelanjutan kerjasama. “Kalau di tingkat atas beres, belum tentu di level bawah beres. Kejadian yang kita alami selama ini memang begitu,” tegasnya.

Menurut dia, jika penambahan luas areal tanaman tebu tidak ada penambahan yang signifikan, maka Indonesia sulit untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi masyarakat. “Tahun 2019 itu kita targetkan pemenuhan kebutuhan gula konsumsi masyarakat sebanyak 3,2 juta ton. Jika ditambah dengan kebutuhan industri makanan dan minuman, maka  kita butuh produksi 5,7 juta ton,” katanya.

Dia menambahkan, untuk mencapai produksi sebanyak itu, maka kebutuhan lahan menjadi mutlak. Persoalannya lahan tidak tersedia, terutama di Jawa. Selain itu, usia PG yang tua menjadi tidak efisien.

Perum Perhutani sendiri sudah mengumumkan menyediakan lahan untuk tanaman tebu sekitar 62.000 hektare. Namun, sampai dengan minggu kemarin, belum ada tindak lanjut untuk menggarap lahan yang disediakan Perhutani. “Mudah-mudahn saja lahan itu bisa dimanfaatkan untuk tanaman tebu di Jawa,” katanya.

Hanya saja, lanjut Gde Wirasuta, untuk memacu produksi gula nasional, maka pengembangan pabrik gula baru harus dilakukan di luar Jawa, karena lahan masih tersedia cukup luas. “Lahan di luar Pulau Jawa masih tersedia cukup luas. Untuk di luar Jawa, kita membutuhkan tambahan areal tanaman sekitar 630.000 ha. Areal ini kalau tersedia, bisa untuk pabrik baru atau penambahan luas areal pabri yang ada sekarang ini,” ungkapnya.

Kementan menargetkan swasembada gula tahun 2017, sehingga dicanangkanlah produksi tebu 100 ton/ha dengan rendemen 10%. Hal ini sudah bisa dicapai oleh beberapa petani di Jawa Timur dan akan dijadikan percontohan. Jamalzen