Oleh: Ir. Diah. Y. Suradiredja, M.H (Mahasiswa Program Doktoral, IPB University)
Kebijakan EUDR mengalami proses up and down, serta gelombang penolakan dari negara anggota EU maupun negara-negara produsen. Situasi ini ini menarik karena gelombang penolakan ini mempengaruhi proses persiapan regulasi hijau di US dan Tiongkok.
Respons dari negara anggota UE terhadap EUDR
Sampai saat ini, sekelompok negara UE yang dipimpin oleh Austria menyerukan revisi secepatnya terhadap undang-undang anti-deforestasi yang akan berlaku pada akhir tahun ini, dengan mengatakan bahwa undang-undang tersebut dapat merugikan para petani Eropa. Dokumen yang juga ditandatangani oleh Finlandia, Italia, Polandia, Slovakia, Slovenia dan Swedia tersebut menyatakan bahwa “Tujuan keseluruhan yang disepakati untuk mengatasi deforestasi di negara-negara ketiga tidak boleh merugikan perekonomian Eropa, khususnya sektor pertanian dan kehutanan Eropa.” Selain itu, negara-negara UE mengatakan bahwa produsen di negara-negara dengan risiko rendah –kategori yang kemungkinan besar mencakup banyak anggota UE– harus dibebaskan dari persyaratan, sementara beban untuk mensertifikasi produk sebagai produk yang bebas dari deforestasi harus “dikurangi secara drastis” di Uni Eropa.
Selain itu, European’s People Party (EPP), yang merupakan kelompok politik terbesar di UE, juga menentang EUDR, dan menyebutnya sebagai “monster birokrasi”. EPP berpendapat bahwa EUDR membebankan persyaratan yang memberatkan pada bisnis, terutama perusahaan kecil dan menengah, membuat kepatuhan menjadi terlalu rumit dan mahal. Mereka percaya bahwa peraturan ini akan menyebabkan gangguan yang signifikan dalam rantai pasokan dan menambah beban administratif yang besar. Selain itu, EPP dan para pengkritik lainnya, termasuk mitra dagang global seperti Amerika Serikat dan Tiongkok, melihat EUDR sebagai hambatan perdagangan yang potensial.
Lebih lanjut, Menteri Pangan dan Pertanian Jerman, Cem Özdemir, juga menyerukan penundaan implementasi EUDR pada pertemuan para menteri pertanian Uni Eropa di Brussels pada 15 Juli 2024. Özdemir mengemukakan bahwa kondisi di lapangan untuk mengimplementasikan EUDR masih belum terpenuhi, yang berpotensi menjadi beban yang tidak dapat diterima (unacceptable burden) bagi perekonomian dan perusahaan. Ia menekankan bahwa hal ini bisa merusak tujuan awal peraturan tersebut serta menimbulkan keraguan dalam upaya menahan laju deforestasi. Özdemir juga mendesak Komisi Eropa untuk segera menunda implementasi EUDR, karena kewenangan tersebut berada pada Komisi Eropa, bukan pemerintah federal Jerman.
Adapun penundaan yang diserukan Ozdemir sebelumnya didahului oleh Joint Letter yang telah dikirimkan pada bulan April 2024. Dalam hal ini, Özdemir bersama Menteri Lingkungan Hidup Jerman, Steffi Lemke, menginisiasi surat bersama dengan beberapa negara anggota Uni Eropa lainnya kepada Komisioner Lingkungan Hidup Uni Eropa, Virginijus Sinkevičius. Surat tersebut berisi permintaan agar Komisi Eropa menciptakan dasar-dasar yang diperlukan untuk penerapan Peraturan Uni Eropa tentang Produk Bebas Deforestasi yang efisien. Mereka menekankan pentingnya langkah-langkah yang tepat agar peraturan ini dapat diterapkan secara bertanggung jawab dan tanpa hambatan.
Latar belakang inisiatif ini adalah keterlambatan Komisi Eropa dalam memenuhi dua persyaratan penting untuk peraturan tersebut, yaitu “benchmarking” yang menilai risiko deforestasi untuk semua negara produksi dan Sistem Informasi Digital EU yang menjadi dasar pelaporan dari industri terkait dan pengawasan oleh pemerintah. Tanpa “benchmarking“, semua negara akan diklasifikasikan secara sama, yang akan menyebabkan birokrasi yang berlebihan. Selain itu, sistem informasi digital yang diperlukan saat ini hanya tersedia dalam versi sementara yang belum memenuhi semua persyaratan yang diperlukan. Oleh karena itu, mereka mendesak Komisi Eropa untuk segera menyelesaikan kedua persyaratan ini agar bisnis dan otoritas dapat mempersiapkan diri tepat waktu untuk penerapan peraturan tersebut pada akhir 2024.
Penolakan terhadap EUDR juga terlihat di Brussels, terutama karena masalah praktis dan meningkatnya ketegangan diplomatik yang ditimbulkannya. Peraturan tersebut, meskipun dimaksudkan untuk mencegah deforestasi yang terkait dengan komoditas seperti kelapa sawit, kakao, dan kopi, memiliki beberapa masalah yang signifikan. Pertama, peraturan tersebut menuntut proses verifikasi yang ekstensif, seperti menggunakan citra satelit dan melakukan inspeksi di lapangan untuk memastikan bahwa komoditas tersebut tidak ditanam di lahan yang mengalami deforestasi. Hal ini sangat memberatkan bagi negara-negara yang memiliki banyak petani kecil, sehingga membuat kepatuhan menjadi tidak praktis.
Kedua, peraturan tersebut telah menyebabkan ketegangan diplomatik dengan lebih dari selusin negara, yang banyak di antaranya adalah negara miskin dan memiliki hubungan kolonial historis dengan negara-negara anggota UE. Negara-negara ini menganggap peraturan tersebut sebagai bentuk pemaksaan pasca-imperialisme, yang memperburuk hubungan diplomatik.
Ketiga, Kebijakan yang terputus-putus. Dalam hal ini, pendekatan UE dalam menggabungkan kebijakan iklim, perdagangan, dan pembangunan telah dikritik sebagai tidak koheren. Peraturan deforestasi yang dirancang oleh direktorat lingkungan hidup UE dinilai kurang mempertimbangkan kapasitas dan realitas mitra dagang internasional. Terakhir, dampak ekonomi terhadap negara-negara berkembang. Peraturan tersebut membebankan beban ekonomi tambahan tanpa memberikan dukungan atau kompensasi yang memadai. Hal ini menyebabkan timbulnya rasa frustasi dan klaim perlakuan yang tidak adil, terutama dari negara-negara seperti Uganda, yang telah menerapkan praktik-praktik yang berkelanjutan.
Respons dari negara produsen terhadap EUDR
Indonesia secara aktif menyampaikan keprihatinannya terhadap EUDR kepada pihak terkait di UE sejak proposal EUDR bergulir. Indonesia menggalang dukungan dari negara-negara Like-Minded Countries (LMC) untuk menerbitkan dua kali surat bersama sebagai respons terhadap EUDR kepada pimpinan tertinggi EU, tertanggal 27 Juli 2022 (ditandatangani oleh 14 LMC) dan 7 September 2023 (ditandatangani oleh 17 LMC). Dalam hal ini, LMC berpandangan bahwa upaya penanganan isu deforestasi dalam EUDR tidak mengatur prinsip yang lazim dalam kesepakatan multilateral yaitu prinsip tanggung jawab bersama tetapi berbeda (principle of common but differentiated responsibilities), melakukan diskriminasi dan menghukum terhadap tujuh komoditas dalam EUDR, serta berpotensi tidak sejalan dengan ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Indonesia bersama Malaysia juga menyatakan keberatan terhadap kebijakan EUDR tersebut. Sebuah misi bersama ke Brussels dilakukan pada Mei 2023 untuk bertemu dengan sejumlah tokoh penting di Komisi Eropa dan anggota Parlemen UE yang menangani ketentuan EUDR. Dalam kunjungan tersebut, disampaikan mengenai keberatan dan potensi implikasi dari ketentuan EUDR apabila diterapkan. Sebagai tindak lanjut dari kunjungan ini, pihak UE sepakat untuk membentuk suatu mekanisme dialog yang diusulkan oleh Indonesia dan Malaysia dalam bentuk Joint Task Force (JTF) untuk membahas berbagai kekhawatiran negara produsen terkait rencana pelaksanaan EUDR yang akan mulai berlaku pada Januari 2025.
Dalam JTF tersebut, terdapat lima fokus pembahasan mulai dari masuknya petani kecil dalam mata rantai pasokan komoditas, analisis kesenjangan antara ketentuan EUDR dengan standar nasional (ISPO dan MSPO), alat ketertelusuran yang dikembangkan di negara produsen (traceability tools), country benchmarking yang hingga kini belum tersedia metodologinya dan sumber data yang digunakan, hingga perlindungan data pribadi. Lebih lanjut, Pemerintah Indonesia juga sedang menyusun platform digital berupa National Dashboard untuk memperkuat rantai pasok pekebun rakyat dan industri komoditas-komoditas yang terdampak oleh kebijakan EUDR.
Di sisi lain, gelombang penolakan juga terlihat dari Amerika Serikat dan Tiongkok. Sebanyak 27 Senator AS telah bersurat kepada Perwakilan Dagang AS Katherine Tai untuk menyatakan kekhawatiran tentang dampak negatif dari kebijakan EUDR, terutama bagi produsen pulp and paper di AS. Surat tersebut menyoroti persyaratan ketat dari EUDR, terutama mengenai ketertelusuran dan geolokasi yang sulit dipenuhi oleh industri pulp and paper di AS. Para Senator tersebut meminta Katherine Tai untuk terus berkomunikasi dengan pemangku kebijakan di UE dan mendorong UE untuk mengakui bahwa AS memiliki standar regulasi yang kuat untuk melindungi keberlanjutan hutan di AS. Respons AS menunjukkan kekhawatiran bahwa kebijakan EUDR sangat merugikan para petani dan merupakan kebijakan yang diskriminatif.
Secara singkat, surat tersebut mengidentifikasi empat tantangan penting bagi produsen komoditas di AS untuk memahami dan menyesuaikan diri terhadap EUDR: tidak adanya sistem informasi yang memadai, kurangnya panduan dari Komisi Eropa, kegagalan menunjuk otoritas nasional yang kompeten untuk mengawasi EUDR, serta klasifikasi sementara country benchmarking di mana semua negara produsen dimasukkan dalam risiko standar terlepas dari praktik kehutanan yang diterapkan. Negara produsen seperti AS, yang menilai praktik kehutanannya sudah maju, menganggap klasifikasi risiko standar itu merugikan.
Tiongkok, negara dengan ekonomi hutan terbesar di dunia, adalah negara terbaru yang menentang EUDR. Adapun penolakan ini dikarenakan Tiongkok menolak untuk berbagi data geolokasi dengan UE karena masalah keamanan. Penolakan ini sejalan dengan oposisi AS yang menganggap peraturan tersebut sebagai hambatan perdagangan yang tidak masuk akal. Melalui Belt and Road Initiative, Tiongkok menguasai lebih dari 30% rantai pasok global untuk produk kehutanan.
Menurut Eurostat, Tiongkok menyumbang lebih dari 47% furnitur kayu yang diimpor ke zona tersebut tahun lalu dan juga merupakan produsen utama kotak karton UE, berkontribusi terhadap 41% dari seluruh kotak dan kantong kertas yang diimpor ke UE tahun lalu. Sikap Tiongkok terhadap EUDR mengancam terjadinya gangguan signifikan dalam rantai pasokan global untuk produk kayu, kertas, dan bubur kertas, yang berpotensi menimbulkan dampak ekonomi besar. Dengan demikian, berbagai negara produsen mulai dari yang di Asia hingga Amerika telah menunjukkan kekhawatiran yangmendalam terhadap EUDR, baik dari segi ekonomi, administrasi, hingga diplomatik. Revisi dan penundaan implementasi diharapkan dapat memberikan solusi yang lebih adil dan praktis bagi semua pihak yang terlibat.
Respons dari NGOs terhadap EUDR
Di sisi lain, lebih dari 170 NGO telah berpartisipasi dalam Joint Letter tertanggal 11 April 2024 yang ditujukan kepada Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen untuk segera mengimplementasikan EUDR dan menegasikan suara-suara yang melemahkan implementasi EUDR. Terdapat dua faktor yang kemungkinan melatarbelakangi dikeluarkannya Joint Letter 170 NGO ini yaitu sebagai antisipasi terhadap rencana EU terkait penundaan country benchmarking ataupun kemungkinan penundaan implementasi EUDR di luar batas waktu yang dicanangkan dalam EUDR, dan sebagai respon terhadap joint letter yang disuarakan oleh negara-negara produsen (Like-Minded-Countries/LMC) yang digerakkan oleh Indonesia, maupun joint letter asosiasi dan kelompok industri komoditas terdampak EUDR, serta seruan Menteri Pertanian negara-negara anggota EU yang kontra terhadap EUDR.
Surat bersama ini mencakup beberapa poin utama, yakni:
- Seruan untuk Komitmen: Menyerukan kepada Presiden von der Leyen untuk memenuhi komitmennya bahwa Eropa akan memimpin langkah global dalam memerangi deforestasi dengan mengimplementasikan EUDR secepatnya. EUDR adalah legislasi penting yang menjamin konsumsi komoditas oleh konsumen EU tidak berkontribusi terhadap deforestasi.
- Pelaksanaan dan Kepatuhan: Menyerukan negara-negara anggota EU dan Komisi Eropa (KE) untuk segera mengimplementasikan dan memastikan kepatuhan semua pihak terhadap EUDR.
- Desakan untuk Konsistensi: Mendesak Presiden von der Leyen agar tidak terpengaruh oleh suara-suara dari negara produsen, kelompok industri, maupun menteri pertanian negara anggota EU yang mengkritisi EUDR, karena hal tersebut dapat melemahkan EUDR yang telah melalui proses riset dan legislatif yang terbuka dan transparan.
- Integritas Proses Demokratis: Menekankan pentingnya menjaga integritas proses pengambilan keputusan di EU yang dilakukan secara demokratis, dan mendorong ketegasan EU untuk memastikan tercapainya tujuan EUDR.
Perkembangan berdasarkan hasil Pemilihan Umum Eropa
Pemilihan umum parlemen Eropa baru-baru ini memberikan hasil yang beragam terhadap kebijakan iklim UE. Meskipun partai-partai sayap kanan populis meraih kemenangan signifikan, terutama di Prancis dan Jerman, terdapat konsensus umum di antara para ahli bahwa European Green Deal tidak mungkin dibatalkan. Meskipun terjadi pergeseran ke kanan, kelompok tengah pro-Eropa tetap menjadi mayoritas di Parlemen Eropa, dan kerangka kerja legislatif Green Deal diperkirakan akan tetap utuh. Namun, implementasi undang-undang ini dan pengesahan kebijakan iklim baru yang ambisius dapat menjadi tantangan dengan meningkatnya kehadiran partai-partai sayap kanan.
Federica Genovese dari University of Oxford menyatakan bahwa mungkin akan terjadi penurunan skala relevansi aksi iklim secara retorik, dan masa depan Green Deal bergantung pada apakah UE memprioritaskan iklim sebagai agenda redistribusi sosial atau agenda keamanan geopolitik. Simone Tagliapietra dari Bruegel juga menekankan perlunya fokus baru pada investasi hijau, dukungan sosial hijau, dan kebijakan industri hijau untuk memastikan ketahanan dan daya saing Eropa.
Meskipun pemilihan umum di Eropa telah menimbulkan ketidakpastian dan potensi tantangan terhadap agenda iklim UE, komitmen keseluruhan terhadap Green Deal dan kebutuhan akan transisi hijau tetap kuat. Keberhasilan aksi iklim di masa depan akan bergantung pada kemampuan kekuatan pro-Eropa untuk menavigasi lanskap politik, mempertahankan pendekatan berbasis ilmu pengetahuan, dan memastikan implementasi yang efektif dari kebijakan iklim yang sudah ada dan yang baru.
Adapun arah dan perkiraan kebijakan pokok untuk UE pada periode 2024-2029 ditandai dengan pergeseran ke arah tindakan yang lebih protektif dan cenderung otokratis, dengan penekanan yang lebih kecil pada inisiatif ramah lingkungan. Pergeseran ini diharapkan dapat memberdayakan petani dan produsen lokal, memberikan mereka suara yang lebih kuat dalam membentuk kebijakan pertanian. Selain itu, terdapat juga potensi aliansi antara LSM dan kelompok Kiri, serta antara kelompok Konservatif dan Petani, dalam beberapa isu tertentu, yang mengindikasikan adanya lingkungan kebijakan yang kompleks dimana berbagai kepentingan yang berbeda dapat menyatu dalam tujuan-tujuan kebijakan tertentu.
Pergeseran kebijakan ini merupakan bagian dari pandangan yang lebih luas yang mengantisipasi pergeseran dari mayoritas yang kuat dan penuh warna yang condong ke kiri hijau yang terlihat pada periode 2019-2024. Pemilu 2024 yang menghasilkan pergeseran ke kanan, berimplikasi pada agenda legislatif dan arah inisiatif kebijakan di UE. Dengan demikian, arah kebijakan utama Uni Eropa pada periode 2024-2029 diperkirakan akan ditandai dengan pergeseran ke kanan, dengan fokus pada pemberdayaan pertanian lokal dan potensi aliansi baru yang terbentuk di seluruh spektrum politik pada isu-isu kebijakan tertentu.
Dari hasil pemilu ini, hal ini dapat berarti bahwa implementasi EUDR, yang akan dimulai pada tanggal 30 Desember, tidak ada indikasi bahwa undang-undang ini akan diubah atau ditunda. Alasan mengapa mereka tidak akan mengubah tanggal tersebut adalah karena untuk mengubah tanggal, peraturan tersebut harus kembali ke parlemen. Dan dengan apa yang terjadi di parlemen setelah pemilu saat ini, akan lebih sulit karena ada lebih banyak kaum konservatif.
Selain itu, berdasarkan perkembangan terakhir, Ursula von der Leyen kembali terpilih untuk masa jabatan lima tahun sebagai presiden Komisi Eropa, dengan mendapatkan 401 suara setuju dan 284 suara tidak setuju di Parlemen Eropa. Pemilihan ini terjadi pada saat arus utama Eropa sedang berusaha untuk menegaskan kembali dirinya melawan gerakan sayap kanan yang sedang bangkit kembali.
Dalam proposal kebijakannya untuk masa jabatan keduanya, von der Leyen menekankan pentingnya mempertahankan pusat demokrasi di Eropa dan menyerukan agar partai-partai arus utama mengatasi masalah dan tantangan yang dihadapi rakyat. Dia juga berjanji untuk meningkatkan investasi untuk transisi hijau, digital, dan transisi sosial pemerintah UE, dan mengusulkan pembentukan Uni Pertahanan Eropa, dengan komisaris baru untuk pertahanan. Persatuan ini akan melibatkan negara-negara anggota yang bekerja sama lebih erat untuk memperkuat basis industri pertahanan dan akan mencakup sistem pertahanan udara di seluruh Eropa dan langkah-langkah perlindungan dunia siber. ***