Menanam Pohon Tidak Sama dengan Membangun Hutan

Pembibitan pohon
Pramono DS

Oleh:  Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)

Paradigma reforestasi adalah kegiatan rehabilitasi hutan dalam bentuk menanam pohon hutan (revegetasi) atau pengayaan (enrichment planting) untuk membangun hutan baru pada kawasan hutan yang telah mengalami proses deforestasi khususnya pada kawasan hutan yang tidak lagi mempunyai tutupan hutan (non forested).  Reforestasi atau juga dikenal dengan istilah reboisasi seharusnya ditempatkan dalam kerangka (frame) membangun hutan kembali secara permanen sebagaimana keadaan sebelum terjadinya kegiatan deforestasi. Bentuknya dapat berupa hutan monokultur maupun hutan heterogen. Pisahkan dulu pengertian deforestasi di kawasan hutan produksi yang secara legal memang disahkan melalui perizinan dari pemanfaatan hasil hutan kayu hutan alam maupun hutan tanaman yang dikelola dengan prinsip lestari dan berkelanjutan yang akan direforestasi secara terus menerus setelah dilakukan penevbangan/pemanenan (cutting).

Selama ini terdapat pemahaman yang salah yang dikembangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) bahwa reforestasi adalah kegiatan menanam pohon yang  indentik dengan membangun hutan, yamg dikapitalisasi dari jumlah bibit atau anakan yang tanaman dalam  luasan tertentu untuk mereduksi (mengurangi) luasan kawasan hutan yang telah terdeforestasi yang luas terus bertambah akibat adanya laju deforestasi setiap tahunnya. Padahal membangun hutan adalah membentuk bibit atau anakan pohon yang ditanam tidak sekedar ditanam tetapi juga perlu dipelihara, dijaga dan dirawat menjadi pohon dewasa setidak-tidak telah berumur minimal 15-20 tahun. Dalam terminologi ilmu kehutanan, khususnya ekologi hutan; untuk menjadi pohon dewasa, anakan/bibit pohon yang ditanam harus mengalami proses metamorphosis dengan melalui 4 (empat) tahapan yakni seedling (semai) permudaan mulai kecambah sampai setinggi 1,5 m; sapling (sapihan, pancang) permudaan yang tinggi 1,5 m dan lebih sampai pohon muda yang berdiameter kurang dari 10 cm; pole (tiang) yaitu pohon pohon muda yang berdiameter 10 – 35 cm; trees (pohon dewasa), yang berdiameter diatas 35 cm.

Celakanya pemerintah sampai sekarang  masih menggunakan paradigma lama dalam kegiatan reforestari yang dilaksanakan bersifat keproyekan dengan alasan keterbatasan anggaran. Menanam anakan pohon dan pemeliharaannya hanya dilakukan sampai tanaman berumur 3 tahun. Selebihnya diserahkan kepada mekanisme alam. Dengan kata Pohon untuk mencapai fase sapihan, tiang hingga menjadi dewasa dibiarkan berjuang dan tumbuh sendiri tanpa intervensi manusia. Lucunya lagi, dalam kegiatan reforestasi ini, pemerintahan berharap sangat adanya peran serta dan partisipasi masyarakat untuk merawat dan memeliharanya. Padahal, rehabilitasi kawasan hutan menjadi tanggung jawab penuh. Beda dengan rehabilihatasi lahan, memang perawatan dan pemeliharan tanaman selanjutnya diserahkan kepada pemilih lahan.

Sasaran Lokasi

Sasaran lokasi kegiatan reforestasi yang dilakukan dan dibangun pemerintah selama ini belum menempatkan prioritas kawasan fungsi sebagai sasaran utama yang harus dan akan dikerjakan lebih dahulu. Semua kawasan fungsi hutan (lindung, konservasi dan produksi) yang dianggap telah mengalami deforestasi dan kritis menjadi sasaran kegiatan rehabilitasi hutan ini. Dalam peraturan pemerintah (PP) no. 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan pun tidak dijelaskan tentang prioritas kawasan fungsi dalam rehabilitasi hutan ini. Padahal dengan jelas dalam undang-undang (UU)  no. 26/2007 tentang tata ruang telah disebut bahwa kawasan lindung adalah kawasan yang menempati prioritas pertama yang harus dilindungi dibanding kawasan budidaya. Kawasan fungsi hutan yang masuk dalam kawasan lindung adalah hutan lindung dan hutan konservasi. Sedangkan kawasan hutan produksi dalam UU tata ruang masuk dalam kawasan budidaya.

Dengan demikian, prioritas kegiatan rehabilitasi hutan atau reforestasi seharusnya diprioritaskan dalam kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Kondisi ini sejalan dengan kecukupan luas hutan dan tutupan hutan dalam suatu daerah aliran sungai (DAS) yang menopang ekosistem suatu wilayah. Dalam PP no. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, mengamanatkan adanya kecukupan luas kawasan hutan dan tutupan hutan dalam suatu DAS atau wilayah. Dalam PP ini, Menteri LHK menetapkan dan mempertahankan luas kecukupan kawasan hutan dan tutupan hutan berdasarkan pwertimbangan biogeofisik; daya dukung dan daya tampung lingkungan; karakteristik DAS dan keragaman flora dan fauna. Artinya, selruhkawasan hutan di Indonesia dibagi berdasarkan wilayah DAS/pulau/provinsi, lalu dihitung satu persatu luas kecukupan hutan dan tutupan hutannya oleh KLHK dan ditetapkan dalam suatu surat keputusan Menteri LHK.

Oleh karena itu, dalam suatu wilayah DAS; perhitungan luas kecukupan hutan dan tutupan hutan untuk keseimbangan hidrologis huu-hilir lebih mudah dihitung karena batas DAS; yaitu punggung bukit dan gunung-ginung dapat jelas terlihat dipeta topografi. Namun kawasan lindung wajib diopertahankan dan dijaga kawasan hutan dan tutupan hutannya; tidak dapat ditambah dan dikurangi luasnya dan datanya tersedia di KLHK. Yang perlu dihitung adalah tutupan dalam kawasan hutanproduksi dan tutupan hutan diluar kawasan hutan  sebagai tambahan dari tutupan hutan konservasi dan hutan lindung. Itupun kalau luas kawasan lindung dalam kawasan hutan dianggap belum cukup.

Partisipasi Masyarakat

KLHK hendak menekankan pemberdayaan masyarakat dalam rehabilitasi hutan. Artinya, penghijauan atau penanaman pohon di kawasan hutan dengan menggerakkan partisipasi masyarakat. Aturan-aturan sudah menegaskan bahwa status lahan hutan ada dua: hak milik dan kawasan hutan. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi 2012 ada penambahan lagi, yakni hutan adat. Jika sasaran rehabilitasi hutan adalah lahan-lahan kritis, siapa penanggung jawab memulihkannya?.

Peraturan Pemerintah 26/2022 telah mengatur bahwa lahan kritis di kawasan hutan yang belum memiliki izin pemanfaatan, pelaku rehabilitasinya adalah menteri dan seluruh staf di bawahnya yang mewakili unsur pemerintah. Sementara pemulihan lahan kritis di kawasan hutan yang sudah mendapat izin menjadi tanggung jawab pemegang izin. Bagaimana lahan kritis di area lahan hak milik? Tentu saja menjadi tanggung jawab pemiliknya. Karena itu, pemberdayaan masyarakat dalam rehabilitasi lahan berada di lahan-lahan milik. Di luar hak milik menjadi tanggung jawab pemerintah. Lalu di mana pemberdayaan masyarakat memulihkan lahan kritis di kawasan hutan?.

Selama ini terdapat kerancuan tentang pemberdayaan dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan rehabilitasi hutan dengan perhutanan sosial. Karpet merah dibuka lebar-lebar bagi pemberdayaan, peran serta dan partisipasi masyarakat di dalam dan di sekitar hutan bagi kegiatan perhutanan sosial yang memang salah satu tujuannya untuk pemulihan hutan rusak. Masyarakat yang bermukim di dalam dan di sekitar hutan diberikan akses secara legal oleh pemerintah untuk mengelola kawasan hutan melalui kegiatan perhutanan sosial. Lain halnya dengan kegiatan rehabilitasi lahan. Masyarakat terlibat di dalamnya hanya sebatas sebagai pekerja dalam kegiatan rehabilitasi hutan baik dalam kegiatan persemaian, penanaman, maupun pemeliharaan. Masyarakat tidak mempunyai hak pengelolaan rehabilitasi hutan. Masalahnya, kesalahan mendasar kegiatan rehabilitasi hutan selama ini karena diperlakukan sebagai kegiatan yang bersifat proyek. Jadi jelas bahwa kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tidak membutuhkan peran serta dan partisipasi masyarakat sekitar hutan dalam menjaga dan merawat hasil tanaman rehabilitasi, karena setelah tanaman hutan umur tiga tahun telah diserah terimakan kepada pemerintah daerah setempat melalui instansi terkait yang berwenang untuk merawat dan mengamankannya.

Faktanya di lapangan selama ini, selepas tanaman hutan umur tiga tahun, pertumbuhan dan perkembangan diserahkan kepada alam. Pemerintah daerah tidak cukup punya anggaran, sumber daya manusia dan peralatan untuk memelihara dan mengamankan tanaman hasil rehabilitasi hutan. Persoalan ini sudah berlangsung menahun dari sejak dikenalkannya kegiatan rehabilitasi lahan tahun 1999 hingga hari ini. Paradigma lama rehabilitasi hutan dan lahan seperti ini masih belum berubah. ***