Peluh mengalir di wajah Sutrisno, pagi jelang siang, Selasa (9/10/2018) setelah bersepeda tak kurang dari 17 kilometer dari kediamannya menuju Perumahan Mutiara Gading City (MGC), di Bekasi Jawa Barat.
Meski demikian, mantan Dirjen Planologi Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KHLK) itu terlihat tetap bersemangat untuk mengayuh sepedanya menembus lebatnya tajuk di hutan campuran yang ada di perumahan tersebut.Bersama anggota Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia (MKTI) dan peserta Lokakarya tentang Konservasi Tanah dan Air dan Pencegahan Kerusakan Perairan Darat, Sutrisno menyaksikan bagaimana perumahan yang dikembangkan Grup ISPI itu berhasil membangun hutan.
“Asyik sekali bersepeda di sini,” ujar Sutrisno sambil sesekali berfoto bersama anggota MKTI yang lain. Turut hadir dalam rombongan Direktur Pencegahan Kerusakan Perairan Darat KLHK Sakti Hadengganan dan Ketua Umum MKTI Soetino Wibowo.
Ada tiga kelompok hutan yang dibangun di perumahan seluas 300 hektare itu. Kelompok pertama adalah dari jenis pohon kayu-kayuan. Sengon, akasia, gmelina, jati, dan mahoni adalah diantara jenis pohon yang ditanam di sana.
Kelompok tanaman kedua adalah dari jenis pohon multiguna (multi purposes tree species/MPTS). Jenis-jenis yang ditanam diantaranya rambutan, nangka,kelengkeng, alpukat, mangga, dan durian. Ada juga kelompok tanaman tanaman langka yang diambil dari seluruh penjuru Indonesia.
Penggiat penanaman di lokasi perumahan Grup ISPI Eka Widodo Soegiri menyatakan, setidaknya telah ada 28.000 batang pohon yang ditanam sejak tahun 2013. “Jenis pohon yang ditanam sudah lebih dari 100 jenis,” katanya.
Eka menuturkan, bukan hal mudah melakukan penanaman di perumahan MGC. Pasalnya, lahan di perumahan tersebut masuk kategori tanah tandus dan marjinal. Lama dieksploitasi sebagai sawah, membuat lahan di sana jenuh dengan pestisida dan pupuk kimia. Karakter tanahnya pun unik dengan porositas tinggi yang membuat air langsung ‘hilang’ setelah disiram.
Namun saat hujan deras, air malah bisa menggenang. Sebab di bagian dalam, tanahnya lempung yang keras. Mirip beton. Tantangan lain adalah panas matahari yang menyegat di wilayah yang berada tak jauh dari Pantai Utara Jawa itu. Ini bisa membuat tanaman dengan mudah mati kekeringan. “Kalau sudah jam 12, matahari seperti di atas jidat,” kata Eka bekelakar menggambarkan panasnya matahari.
Burung
Untuk mengatasi tantangan itu, teknik penanaman khusus di kembangkan. Pertama dengan membangun saluran non permanen untuk mengairi tanaman. Saluran ini dilengkapi dengan sekat yang bisa dibuka tutup untuk memastikan tanaman selalu mendapat pasokan air yang cukup tanpa harus kebanjiran.
Cara kedua, tanaman tidak ditempatkan di lubang tanam. Melainkan ditempatkan pada gundukan tanah yang sebelumnya sudah ditambah dengan pupuk kandang. Bila diperlukan, ditempatkan alat irigasi tetas yang terbuat dari botol bekas.
Teknik tersebut diterapkan untuk berbagai jenis tanaman multi guna. Untuk pohon kayu-kayuan seperti sengon, akasia, atau gmelina, teknik penanaman tetap normal dengan menggunakan lubang tanam.
Agar penanaman berhasil, maka setiap pohon yang mati, langsung disulam dengan bibit baru. “Setiap pohon dipasang label nomor yang terdokumentasikan pada buku induk. Berdasarkan label itu, maka kondisi setiap pohon terekam secara pasti,” kata Eka.
Eka menuturkan, saat ini hutan yang dibangun telah menjadi daya tarik kehadiran berbagai jenis satwa terutama burung berkicau dan burung migran. Saat sore, katanya, banyak burung turun mendekat di situ buatan yang terletak persis di samping kelompok tanaman pohon kayu-kayuan. “Ini menjadi atraksi yang menarik bagi mereka peminat aktivitas pengamatan burung,” katanya.
Menurut Eka, pada awalnya tujuan dari penanaman ribuan pohon di sana adalah untuk menghijaukan perumahan MGC. Ini didukung dengan komitmen kuat dari manajemen pengembangan perumahan MGC.
Belakangan, hutan yang dibangun malah menambah daya tarik bagi calon pembeli perumahan MGC. “Tinggal di rumah yang jendelanya menghadap hutan dengan burung-burung berkicau kan nyaman sekali,” kata Eka.
Tak cuma itu, hutan dan situ buatan yang dibangun kini berkembang menjadi daya tarik wisata. Salah satu area yang diberi nama South Lake, bahkan dikunjungi hingga 7.000 orang setiap bulannya.
Urun Daya
Direktur Pengendalian Kerusakan Perairan Darat KLHK Sakti Hadengganan mengapresiasi apa yang dilakukan di perumahan MGC. Menurut dia, penanaman pohon besar-besaran dan pembuatan situ penampung air tawar berkontribusi dalam mencegah kerusakan perairan darat, seperti sungai, mata air, dan danau.
Dia mengimbau agar seluruh pengembang perumahan untuk ikut mencegah kerusakan perairan darat. Menurut dia, pengembang perumahan memiliki aset lahan luas yang bisa dimanfaatkan untuk konservasi perairan darat.
“Pohon dan situ juga bisa meningkatkan nilai perumahan yang dikembangkan,” kata Sakti.
Sakti juga menjelaskan bahwa kerusakan perairan darat menjadi perhatian karena kondisi ketersediaan air saat ini, dimana beberapa pulau menunjukkan kondisi kritis ketersediaan air. Menurut data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) tahun 2010, pulau yang berada dalam kondisi defisit air adalah Pulau Jawa, kondisi kritis Pulau Bali dan Nusa Tenggara, hampir kritis Pulau Sulawesi dan Pulau Sumatera dan kondisi pulau yang masih dalam surplus adalah Pulau Kalimantan.
“Saat ini kondisi perairan darat di Jawa sudah keadaan defisit sementara di Sumatera sudah dalam keadaan kritis. Untuk itu urun daya para pihak diperlukan,” katanya.
Menurut dia, tanpa pelibatan para pihak, khususnya pelaku usaha yang telah menikmati jasa lingkungan maka pemulihan kerusakan sumber daya alam khususnya rehabilitasi lahan akan memerlukan waktu yang cukup panjang.
Oleh karena itu, perlu dikembangkan model Public-Private Partnership, Imbal Jasa Lingkungan ataupun pola pola insentif lain. “Prinsipnya, pemanfaatan sumber daya alam oleh swasta harus diimbangi dengan urun daya untuk meningkatkan daya dukung dan daya tampung lingkungan,” jelas Sakti.
Sakti mencontohkan, peran swasta dalam konservasi perairan darat bisa dilihat di Cidanau, Banten. Di sana perusahaan pemanfaat air mengeluarkan imbal jasa kepada masyarakat yang menjaga hulu sungai. Contoh ini, katanya, bisa direplikasi ke tempat lain.
Ketua Masyarakat Konservasi Tanah Indonesia (MKTI) Soetino Wibowo menyatakan upaya yang dilakukan pengembang Mutiara Gading City bisa menjadi model untuk aplikasikan oleh pengembang lain terutama yang berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Bekasi.
Dia menuturkan perlu upaya yang kuat dari para pihak karena Sungai Bekasi saat ini dalam keadaan kritis. Ini bisa dilihat dari perbedaan yang jauh antara debit air saat banjir (Q Max) dan saat kering (Q Min). “Saat ini sungai Bekasi dalam keadaan bahaya. Konservasi tanah dan air harus dilakukan di hulu,” katanya. Sugiharto