Oleh: Pramono DS (Pensiunan Rimbawan )
Dengan adanya Undang-undang Cipta Kerja No. 11 tahun 2020 UUCK dan kemudian peraturan turunannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 23/2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan, para rimbawan, pengamat kehutanan, mahasiswa dan masyarakat luas pada umumnya, harus hati hati dan cerdas dalam memahami dan menafsirkan pasal yang ada di dalamnya dan hubungan kasualistik antara pasal yang satu dengan pasal yang lainnya.
Tidak mudah memahami perubahan 18 pasal dari UU No. 41/1999 yang turunananya menjadi satu PP dengan 302 pasal tanpa memahami lebih dahulu mengenai substansi pengetahuan dasar kehutanan.
Namun demikian, di samping pemahaman substansi kehutanan sebagai persyaratan dasar, syarat lain adalah pemahaman secara tekstual dan kontekstual yang kadang sering dilupakan oleh kita semua. Pemahaman tekstual adalah apa yang tersurat di dalam regulasi, itulah yang harus dipedomani atau dilaksanakan di lapangan, bila dilanggar tentu mendapat sanksi baik administratif maupun sanksi hukum.
Sedangkan pengertian kontekstual adalah penafisiran dan pengembangan dari pengertian tekstual hubungan antar pasal dalam satu regulasi maupun antar pasal dalam satu regulasi dengan pasal yang ada di dalam regulasi turunannya, sepanjang masih dalam koridor pengertian tekstualnya.
Beberapa pengertian tekstual dan kontekstual yang merupakan anomali dapat disebut disini diantaranya adalah kegiatan restorasi ekosistem (RE) dan kegiatan food estate dalam hutan lindung.
Kegiatan Restorasi Ekosistem
Kegiatan RE sebenarnya kegiatan yang tiba-tiba nyelonong masuk dalam regulasi kehutanan di Indonesia yang hanya bersandar pada peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 159/2004 era M. Prakosa.
Secara tekstual UU 41/1999 tidak mengenal adanya kegiatan restorasi ekosistem. Dalam pasal 28 UU 41/1999, disebutkan bahwa pemanfaatan hutan produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.
Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.
Secara kontekstual Permenhut 159/2004, tidak mampu menjelaskan kenapa kegiatan restorasi dimasukkan dan digolongkan dalam mekanisme dan prosedur pemberian Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) pada hutan alam. Padahal pemegang izin restorasi ekosistem di kawasan hutan produksi, dalam melaksanakan kegiatan dilarang memanfaatkan pohon dan atau bagian dari pohon yang berada di dalam kawasan yang sedang direstorasi.
Ini bertentangan dengan prinsip IUPHHK dalam kawasan hutan produksi pada hutan alam yang yang memanfaatkan kayu dari pohon atau bagian pohon untuk ditebang sesuai dengan prinsip-prinsip kelestarian sesuai dengan silvikultur yang telah ditentukan sebelumnya.
Di samping itu, Permenhut ini juga menyalahi aturan karena tidak menunggu lebih dulu terbitnya PP yang mengatur pemanfaatan kawasan hutan sebagaimana yang diamanatkan oleh UU 41/1999 pasal 39 yang berbunyi ketentuan pelaksanaan tentang pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan sebagaimana diatur lebih lanjut dengan PP.
Meskipun terlambat disusun, namun dengan terbitnya PP 6/2007 tentang tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan serta pemanfaatan hutan, pasal 34 ayat (1) disebutkan bahwa pemanfaatan hasil hutan kayu dalam hutan alam pada hutan produksi dapat dilakukan melalui kegiatan usaha: a) pemanfaatan hasil hutan kayu; atau b) pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem, maka kegiatan restorasi ekosistem diakomodasi dan dipayungi oleh regulasi PP ini.
Dalam penjelasan ayat (1b) disebutkan bahwa usaha pemanfaatan hasil hutan kayu restorasi ekosistem dalam hutan alam ditujukan untuk mengembalikan unsur hayati serta unsur non hayati pada suatu kawasan dengan jenis asli sehingga tercapai keseimbangan hayati dan ekosistemnya.
Dengan terbitnya PP 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan, 2 Februari 2021 sebagai turunan UUCK maka berakhirlah masa berlakunya beberapa PP yang menjadi turunan UU 41/1999 yang telah digunakan sebelumnya. PP yang terdiri dari 302 pasal ini, nampaknya sangat komprehesif dan representatif dalam memperbaiki dan menyempurnakan PP sebelumnya yang tercerai berai dan di sana sini banyak tumpang tindih pasal-pasalnya.
Beberapa masalah krusial yang kontroversial dalam UUCK dapat dijawab dengan tuntas dalam PP ini tanpa harus digantung atau menunggu dengan terbitnya Peraturan Menteri. Ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri dalam PP ini sifatnya normatif.
Sayangnya meskipun PP ini adalah dianggap cukup lengkap dalam mewadahi penyelenggaraan kehutanan, namun terdapat kegiatan kehutanan pemanfaatan hutan produksi melalui kegiatan izin usaha pemanfaatan usaha hasil hutan kayu restorasi ekosistem (IUPHHK-RE) dalam PP ini maupun penjelasannya, yang secara tekstual tidak lagi ditemukan adanya kegiatan restorasi ekosistem.
Secara kontekstual, Redaksi Forest Digest dalam tulisannya yang berjudul Nasib Restorasi Ekosistem dalam PP 23/2021 UU Cipta Kerja (Pojok Restorasi, 23 Maret 2021) menafsirkan bahwa kegiatan restorasi digolongkan kedalam kegiatan sebagai salah satu pemanfaatan hutan berupa usaha jasa lingkungan. Mereka yang mendapatkan izin usaha jasa lingkungan bisa memakainya untuk multiusaha. Jenis usahanya banyak. Salah satunya adalah usaha penyerapan karbon.
Tafsiran demikian juga belum pasti dan sepenuhnya benar karena dalam PP 23/2021 pasal 141 ayat (2) usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dipisah dan tidak sama dengan usaha pemanfaatan jasa lingkungan (salah satu kegiatan adalah penyerapan dan/atau penyimpanan karbon).
Lantas bagaimana nasib IUPHHK-RE yang selama ini telah berjalan dengan jumlah perusahaan sebanyak sekitar 16 buah, dengan luas total sekitar 600.000 ha? Masihkah peraturan Menteri Kehutanan no. P. 159/2004 tentang restorasi ekosistem tetap berlaku sampai sekarang?
Kegiatan Food Estate di Hutan Lindung
Secara tekstual dalam UU 41/1999 dan PP 6/2007, tidak ditemukan adanya kegiatan food estate di kawasan hutan hutan lindung. Namun secara tekstual pula, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menerbitkan peraturan menteri LHK No. P 24/2020 yang membolehkan food estate dalam hutan lindung.
Secara kontekstual, esensi pemanfaatan hutan lindung adalah pemanfaatan kawasan hutan yang tidak mengurangi fungsi utama hutan dan dengan tidak mengambil hasil hutan berupa kayu, seperti budidaya jamur, penangkaran satwa, dan budidaya tanaman obat dan tanaman hias. Pemanfaatan jasa lingkungan pada hutan lindung adalah bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya, seperti pemanfaatan untuk wisata alam, pemanfaatan air, dan pemanfaatan keindahan dan kenyamanan. Pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam hutan lindung adalah segala bentuk kegiatan untuk mengambil hasil hutan bukan kayu dengan tidak merusak fungsi utama kawasan, seperti mengambil rotan, mengambil madu, dan mengambil buah. (Penjelasan pasal 26 ayat (1) UU 41/1999).
Lalu pertanyaannya, dimana food estate ditempatkan dalam pemanfaatan hutan lindung? Pemanfaatan kawasan hutan, pemanfaatan jasa lingkungan atau pemungutan hasil hutan bukan kayu? Rasa-rasanya, food estate bukan termasuk dalam ketiga katagori tersebut (paradoks 1).
PP 26/2020 tentang rehabilitasi dan reklamasi hutan pasal 20 ayat (1b) menegaskan bahwa rehabilitasi hutan pada kawasan hutan lindung, ditujukan untuk memulihkan fungsi hidrologis DAS dan meningkatkan produksi hasil hutan bukan kayu serta jasa lingkungan. Rehabilitasi hutan diselenggarakan antara lain melalui kegiatan reboisasi intensif atau agroforestri. Reboisasi agroforestri dilakukan pada lahan kritis dengan tutupan lahan terbuka, semak belukar, kebun, kebun campuran, pertanian lahan kering dan terdapat aktivitas pertanian masyarakat.
Dari penjelasan KLHK tersebut, dapat disimpulkan bahwa kegiatan food estate dalam hutan lindung akan melegalkan perambahan hutan dalam kawasan hutan lindung yang selama ini memang telah marak terjadi (paradoks 2).
Dalam UUCK, secara tekstualpun tidak ditemukan adanya kegiatan food estate, baru dengan terbitnya PP 23/2021 dapat ditemukan adanya kegiatan food estate. Skema food estate dalam PP baru ini, tidak sinkron dengan Permen LHK yang terbit satu tahun sebelumnya. Dalam PP 23/2021, food estate dalam kawasan lindung dapat diizinkan melalui kegiatan pemanfaatan kawasan hutan lindung (pasal 129) meliputi kegiatan antara lain wana mina (silvofishery); wana ternak (silvopastural); tanam wana tani (agroforestry); dan wana tani ternak (agrosilvopastural); dengan catatan tidak mengurangi, mengubah, atau menghilangkan fungsi utamanya; tidak menimbulkan dampak negatif terhadap biofisik dan sosial ekonomi; tidak menggunakan peralatan mekanis dan alat berat; dan tidak membangun sarana dan prasarana yang mengubah bentang alam.
Dalam praktiknya kegiatan food estate menggunakan intervensi teknologi pertanian modern yang tidak selaras dengan ketentuan dan catatan pemanfaatan kawasan hutan dalam hutan lindung.
Kegiatan Perhutanan Sosial
Secara tekstual dalam UU 41/1999 tidak ditemukan adanya kegiatan perhutanan sosial, namun dalam penjelasan pasal 5 ayat (1) ditemukan adanya kegiatan hutan kemasyarakatan yang merupakan salah satu kegiatan dari perhutanan sosial.
Dalam PP 6/2007, secara tekstualpun juga tidak ditemukan adanya kegiatan perhutanan sosial. Dalam bagian kesebelas tentang pemberdayaan masyarakat setempat pasal 84 disebutkan bahwa pemberdayaan masyarakat setempat dapat dilakukan melalui hutan desa; hutan kemasyarakatan; atau kemitraan , dimana ketiga kegiatan tersebut adalah bagian dari kelima kegiatan perhutanan sosial selain hutan adat dan hutan tanaman rakyat. Baru pada peraturan menteri LHK P. 83 tahun 2016, secara tekstual kegiatan perhutanan sosial secara khusus diatur di dalamnya.
Mengingat betapa pentingnya kegiatan perhutanan sosial sebagai program unggulan presiden Joko Widodo dalam membangun rakyat dari pinggiran dengan reforma agrarianya maka dalam UUCK bidang kehutanan secara tekstual kegiatan perhutanan sosial dimuat dalam pasal 29A dan 29B yang berbunyi pemanfaatan hutan lindung dan hutan produksi dapat dilakukan kegiatan Perhutanan Sosial. Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan berusaha pemanfaatan hutan dan kegiatan perhutanan sosial diatur dalam PP.
Secara tekstual dalam PP 23/2021, kegiatan perhutanan sosial diatur dalam Bab VI tentang pengelolaan perhutanan sosial dari pasal 203 sampai pasal 247. Dalam pasal 247 diatur tentang ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Perhutanan Sosial diatur dalam Peraturan Menteri. Rancangan peraturan menteri LHK tentang ini sedang dalam proses sosialisasi dan uji publik yang nantinya diharapkan sebagai pengganti permen LHK 83/2016 yang sudah dianggap kadaluwarsa.