Tentara Pengelola Sampah Organik

Menteri Kehutanan Republik Korea Kim Jae Hyun (kanan) mendengar penjelasan Senior Advisor Forest for Life Indonesia Profesor Agus Pakpahan tentang proses teknologi biokonversi untuk mengurai sampah dengan memanfaatkan larva serangga black soldier fly.

Tak ada bau berlebihan di bangunan yang disebut sebagai bioreaktor, di tempat uji coba pengelolaan sampah di  Desa Langsir, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat (NTB). Bahkan, kalau saja petugas penjaga tak membuka terpal yang menyelubungi satu bagian struktur bangunan yang ada di dalamnya, sulit menyangka kalau di balik terpal itu sesungguhnya adalah sampah.

Inilah salah satu keunggulan dari teknologi biokonversi untuk pengelolaan sampah organik yang sedang diujicoba pemerintah Provinsi NTB bekerja sama dengan sebuah organisasi peduli lingkungan hidup dan kehutanan, Forest For Life (FFL) Indonesia. Proyek uji coba yang juga didukung oleh Yayasan Korindo, Yayasan Jaya ESNI dan Pemerintah Republik Korea itu diresmikan oleh Sekda Pemerintah Provinsi NTB Roshadi Sayudi, Senin (9/7/2018). Dukungan pemerintah Republik Korea yang besar terhadap implementasi teknologi biokonversi terlihat dari kehadiran Menteri Kehutanan Republik Korea Kim Jae Hyun.

Senior Advisor FFL Indonesia Profesor Agus Pakpahan menjelaskan, teknologi biokonversi akan mengubah sampah menjadi pupuk cair, pupuk kompos, dan protein untuk pakan ternak melalui proses biologis. “Teknologi ini memanfaatkan serangga Hermetia illucens atau yang populer sebagai black soldier fly (BSF),” katanya.

Jika dialihbahasakan secara harafiah, BSF memang berarti lalat tentara hitam. Meski demikian, Agus menegaskan, serangga ini berbeda jauh dengan lalat pada umumnya yang jorok dan menjadi sumber penyakit. BSF justru serangga yang sangat bersih. “BSF tidak memiliki mulut untuk makan sehingga tidak akan hinggap di makanan. Serangga ini justru akan membantu menghilangkan negleted tropical desease, yaitu penyakit-penyakit yang disebabkan virus, bakteri atau parasit,” kata Agus.

serangga Black Soldier Fly
serangga Black Soldier Fly (pixabay.com)

Siklus hidup BSF dewasa, selama 5-8 hari, hanya untuk kawin, bertelur dan selanjutnya mati. Setelah 3-4 hari, telur BSF akan menetas dan menjadi larva. Nah, siklus BSF saat menjadi larva inilah yang dimanfaatkan untuk mengolah sampah berupa sisa makanan, sayuran, dan bahan organik lainnya. Larva BSF akan memakan sampah organik tersebut dan menghasilkan cairan yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk cair sedangkan bahan padat yang dihasilkan bisa dimanfaatkan untuk kompos.

Larva BSF selanjutnya bisa dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak. Larva yang dimanfaatkan adalah saat memasuki tahap larva dewasa dan pra kepompong. Sekitar 21 hari setelah menetas. Menurut Agus, kandungan protein larva BSF dewasa sangat tinggi, lebih dari 54%. “Sangat bagus untuk bahan pakan ternak,” katanya.

Sebagai bahan pakan ternak, larva bisa diberikan langsung kepada ternak atau dikeringkan terlebih dahulu untuk kemudian dijadikan tepung. Tepung larva BSF bisa menggantikan tepung tulang yang merupakan komponen utama pembuatan pakan ternak.

“Nantinya dari setiap ton sampah yang dikelola, akan menghasilkan 10%-20% bahan pakan ternak, dan sisanya berupa pupuk cair dan kompos,” kata Agus.

Solusi Banyak Persoalan

Ketua FFL Indonesia Hadi S Pasaribu menyatakan, teknologi biokonversi sangatlah efisien, murah, dan bisa menyelesaikan banyak persoalan di Tanah Air. Selain persoalan pengelolaan sampah, teknologi ini bisa membantu mengurangi penyakit tropis. Teknologi ini juga bisa mengurangi ketergantungan terhadap tepung tulang impor untuk bahan pakan. Saat ini sebagian besar kebutuhan bahan pakan ternak masih diimpor.

“Dengan tersedianya bahan pakan dari teknologi biokonversi, diharapkan harga daging dan telur akan semakin terjangkau sehingga asupan protein masyarakat bisa semakin meningkat,” katanya.

Persoalan lain yang juga bisa diselesaikan dengan teknologi ini adalah soal penggunaan bahan kimia berlebihan dalam kegiatan pertanian. Ini mengakibatkan kualitas lingkungan hidup yang terus menurun. Persoalan ini juga membuat banyak hama dan penyakit tanaman malah semakin kebal dan sulit dikendalikan.

Menurut Hadi, dengan memanfaatkan pupuk cair dan kompos organik, maka produk pertanian akan lebih sehat tanpa bahan kimia berlebih. “Lingkungan juga akan terjaga keseimbangannya,” kata dia.

Ditanya kemungkinan akan adanya ledakan serangga BSF dengan pengembangan teknologi biokonversi, Hadi menepis kemungkinan itu. Menurut dia, BSF adalah serangga asli daerah tropis yang berarti secara alami sudah ada di Indonesia. Dalam prosesnya, teknologi biokonversi juga akan mengontrol berubahnya larva menjadi serangga dewasa. Hanya yang akan dijadikan indukan saja yang akan dibiarkan tumbuh lepas dari kepompong. Sebagian besar larva akan dimanfaatkan sebagai bahan pakan ternak.

“Teknologi ini sebenarnya sudah berkembang di Amerika dan Eropa. Padahal, BSF merupakan serangga asli Negara Tropis seperti di Indonesia,” katanya.

Larva Black Soldier Fly
Larva Black Soldier Fly

Replikasi

Proyek ujicoba pengelolaan sampah organik dengan memanfaatkan teknologi biokonversi di NTB memanfaatkan lahan terbengkalai yang pernah dimanfaatkan untuk penggemukan sapi. Ada beberapa bangunan yang disiapkan, selain bioreaktor yang menjadi sentral pengelolaan sampah organik, ada juga rearing house yang disiapkan sebagai rumah bagi indukan BSF, dan bangunan hatchery untuk penetasan telur BSF. Proyek ujicoba ini dirancang untuk bisa mengelola sampah organik sebanyak 2-4 ton per hari untuk selanjutnya terus dikembangkan.

Sekda Pemerintah Provinsi NTB Roshadi Sayudi berharap pengembangan teknologi biokonversi bisa membantu menyelesaikan persoalan sampah di NTB. Dia mengungkapkan, meningkatnya sektor pariwisata di NTB berkontribusi pada meningkatkan sampah sisa makanan, sisa sayur mayur dan bahan organik lainnya dari berbagai hotel dan restoran yang ada. “Puluhan ton sampah setiap hari dihasilkan dari hotel dan restoran. Apa yang kita kembangkan ini merupakan bagian dari upaya untuk menuju tuntasnya persoalan sampah,” kata dia.

Menteri Kehutanan Republik Korea Kim Jae Hyun, menyatakan apresiasi atas komitmen pemerintah daerah untuk mendorong pengelolaan lingkungan hidup yang lebih baik bekerja sama dengan semua pemangku kepentingan termasuk perusahaan swasta dan masyarakat.

“Keberhasilan proyek ini diharapkan bisa direplikasi di tempat lain,” katanya.  Dia berharap,  pengembangan teknologi biokonversi bisa membuka lapangan kerja baru dan meningkatkan perekonomian setempat.

Asal tau, sebelum menjadi Menteri Kehutanan Republik Korea, Kim Jae Hyun lama berkutat sebagai aktivis Forest For Life Korea. Inilah organisasi lingkungan hidup dan kehutanan terbesar di Republik Korea. Organisasi ini banyak berperan dalam mendukung hijaunya Negeri Ginseng. Organisasi ini yang kemudian menjadi inspirasi lahirnya FFL Indonesia.

Aktivis FFL Korea yang kini bekerja di Korindo, Kim Namhong menambahkan pengembangan teknologi biokonversi di NTB bisa menjadi usaha sosial yang mendukung makin hijaunya NTB. Menurut dia, hasil pengelolaan sampah dengan teknologi biokonversi bisa dimanfaatkan untuk kegiatan penghijauan di NTB.

Menurut Kim Namhong, pihaknya juga siap mendukung pembangunan unit pengelolaan sampah dengan teknologi biokonversi di tempat lain seperti di Asiki, Boven Digul, Papua. Di sana, teknologi biokonversi bisa mendukung pengembangan usaha peternakan dan pertanian  yang bermanfaat untuk peningkatan kecukupan gizi masyarakat setempat. Sugiharto

Senior Advisor Forest For Life Indonesia Agus Pakpahan memberi penjelasan tentang rearing house kepada Sekda NTB Roshadi Sayudi dan Menteri Kehutanan Republik Korea Kim Jae Hyun
Senior Advisor Forest For Life Indonesia Agus Pakpahan memberi penjelasan tentang rearing house kepada Sekda NTB Roshadi Sayudi dan Menteri Kehutanan Republik Korea Kim Jae Hyun