Aman, Buka Hutan 20,6 Juta Hektar

Tumpangsari di kawasan hutan

Wacana pemerintah untuk membuka hutan seluar 20,6 juta hektar untuk pengembangan tanaman  pangan, energi dan air mendapat reaksi keras dari masyarakat luas terutama mereka yang sangat peduli terhadap kerusakan hutan dan lingkungan. Mereka yang menentang itu bukan hanya dari lembaga swadaya masyarakat (LSM), kalangan cendekiawan, politikus tapi juga rimbawan senior.

Mereka berargumentasi jika pembukaan hutan dilakukan semena-mena akibatnya bakal mempercepat terjadinya deforestasi dan bisa menimbulkan bencana alam seperti banjir, tanah longsor seperti yang terjadi di Januari atau awal tahun 2025. Di mana telah terjadi banjir bandang di Grobokan yang memutuskan jembatan kereta apa Semarang- Surabaya dan sejumlah titik terjadinya tanah longsor sehingga menimbulkan banyak masyarakat berdampak.

Kekawatiran itu kini mulai terjawab lega. Pasalnya lahan yang dipersiapkan untuk kegiatan pembangunan pangan, energi air berada di luar kawasan hutan.

Ketakutan penyediaan kawasan hutan untuk dikembangkan menjadi pengembangan tanaman pangan dan energi yang sempat menjadi isu publik karena dampaknya yang bisa menyebabkan deforestasi tak perlu menjadi diragukan dan menjadi penghalang lagi.

Pasalnya rencana pembukaan hutan itu tetap dilakukan dengan perencanaan yang cermat dan matang agar tidak menyebabkan trade off dengan kegiatan lain seperti rehabilitasi hutan, dan pencapaian target penurunan GRK (FOLU NETSINK 2030).

Adalah Pusat Pengkajian Strategis Kehutanan (Puskashut), Yayasan Sarana Wana Jaya (YSWJ) Jakarta, pada Kamis (30/1/25) yang mengambil inisiatif untuk mewadahi polemik itu. Puskashut dengan cerdas memprakarsai untuk menjernihkan polemik yang berkembang di masyarakat melalui sebuah webinar, ujar Ketua Umum YSWJ Dr. Ir Iman Santoso M.Sc.. Tokoh yang diundang mulai dari Firman Soebagjo, SE, MH anggota Komisi IV DPR-RI (Fraksi Golkar), Dirjen Planologi Kehutanan, Ade Tri Ajikusumah SE, Msi yang diwakili Direktur Penggunaan Kawasan Hutan, Ditjen Planalogi Kehutanan, Doni Sri Putra, S.Hut, ME. Dirjen Planologi Ade Tri baru hadir di penghujung acara. Moderator webinar Ketua Puskashut Dr. Ir. Harry Santoso, IPU. Acara dibuka Ketua Umum YSWJ Dr. Ir. Iman Santoso M.Sc. Dalam diskusi itu juga menghadirkan Dr. Ir. Irsyal Yasman selaku anggota Dewan Penguatan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI).

Untuk catatan, pada 30 Desember 2024 Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengeluarkan statement jika pemerintah akan mencadangkan hutan seluas 20,6 juta ha untuk mendukung swasembada pangan, energi dan air.

Kegiatan pembukaan kawasan hutan, ujar Doni tetap memerlukan sinergitas antar lembaga yang kuat terutama terkait kepastian keseriusan lahan. Terutama menyangkut  sarana prasarana dan teknologi untuk mencapai produktivitas tanpa mengurangi tutupan hutan.

Karena itu perubahan orientasi sektor kehutanan harus menjadi pendukung swasembada pangan dan energi agar tidak  menjadi penghambat pengembangan sektor kehutanan. Untuk itu perlu pengembangan sistem monitoring yang efektif guna memastikan keberlanjutan fungsi kawasan hutan.

Doni juga memberi alasan tentang peluang dari kegiatan itu nantinya tetap mengacu bahwa beberapa mekanisme penyediaan lahan dapat menjadi alternatif tanpa mengubah status kawasan hutan. Jadi status kawasan hutan tidak harus berubah” tegas Doni.

Justru sebaliknya harus dapat meningkatkan optimasi manfaat kawasan hutan terutama pada area yang berpenutupan non hutan. Di samping itu juga berpeluang meningkatkan nilai strategis kawasan hutan yang dapat meningkatkan legitimasi kawasan hutan.

Caranya adalah dengan pendekatan multi usaha kehutanan dan perhutanan sosial juga bisa dapat menjadi alternatif utama, sehingga dapat menyelaraskan pembangunan kehutanan dengan program swasembada pangan dan energi serta air.

Di samping itu dapat menjadi peluang untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM) kehutanan dalam pengelolaan hutan multifungsi. Serta mendorong antisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan menjaga keseimbangan ekologi.

Doni mencoba membelah data tentang luas kawasan hutan (daratan) saat ini sekitar 120.219.978,80 hektar, di mana kawasan yang berhutan 74,75 persen sedangkan yang tidak berhutan 25,25 persen.

Dengan data bahwa  luas hutan produksi dan hutan lindung 98.106.678,43 hektar serta luas izin di hutan produksi dan hutan lindung mencapai 38.728.247.00 hektar. Sedangkan  luas hutan produksi dan hutan lindung yang belum berizin masih 59.378. 431,43 ha.

Adapun fungsi kawasan hutan tercatat luasnya mencapai 27. 4934.620,37 ha, hutan lindung mencapai 29.470.064,44 ha dan hutan produksi terbatas 26.765.714,54 ha serta hutan produksi 29.181.837,30 ha dan hutan produksi konversi 12.689.062,15 ha.

Dijelaskan pemanfaatan kawasan hutan sendiri terdiri PBPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan – baca HPH) total luasnya 30.622.543 ha dan perhutanan sosial 8.018.575 ha, dan sekitar 321.836 ha merupakan kemitraan konservasi. Penggunaan kawasan hutan 627.041 ha dan seluas 224.718 berada dalam areal PBPH. Untuk kawasan hutan untuk ketahanan pangan 6.642 ha sehingga luasnya mencapai 39.050.083 ha.

Menurut Doni, pembukaan hutan itu juga tetap mengacu dengan aturan yang jelas seperti Permen LHK No:P.41/MERNLHK/SETKUM1/7/2019 untuk arahan ruang/pemanfaatan kawasan hutan antara lain kawasan hutan konservasi mencapai 26,42 juta hektar ekosistem gambut 41,00 juta hektar kawasan prioritas rehabilitasi 3,96 juta ha, dan kawasan untuk pemanfaatan hutan berbasis korporasi 37,38 juta ha.

Kawasan untuk pemanfaatan hutan berbasis masyarakat 13,16 juta hektar dan kawasan untuk non kehutanan 4 juta ha sehingga jumlah totalnya kawasan hutannya  125,92 juta hektar.

Dari areal kawasan hutan seluas 125,92 juta hektar itu yang dapat di identifikasi dengan tetap memperhatikan beberapa kriteria atau batasan seperti penutupan lahan non hutan, fungsi hutan lindung, hutan produksi dan hutan produksi terbatas dan hutan produksi kesepakatan dan elevasi di bawah 1000 m dpl.

Kecukupan luas kawasan hutannya terhadap daya dukung dan daya tampung dan perizinan dan masyarakat. Bukan sawit nasional bukan juga gambut dan bukan lahan terbangun. Bahkan masih ada lagi lahan belum berizin semua itu bisa untuk dikembangkan lahan pangan dan energi serta air mencapai 12,42 juta ha.

Bahkan terdapat 23,20 juta ha  cadangan lahan dari kawasan hutan untuk pangan energi dan air. Jadi kita pemerintah akan mengembangkan tanaman pangan, energi seluar 20.6 juta hektar maka masih ada sisa.

Doni memastikan kawasan hutan untuk ketahanan pangan energi dan air dipastikan bukan deforestasi karena skema yang akan digunakan adalah prioritas pada areal non hutan dan skema pemanfaatan hutan dengan multi usaha melalui agroforestry, silvopastura dan lainnya.

Selain itu juga akan memanfaatkan lahan PBPH yang  tidak direalisasikan, bisa juga lahan perhutanan sosial dan penggunaan kawasan hutan untuk pangan dan energi dan air serta pelepasan kawasan hutan yang tak berhutan.

Tentang polemik pemanfaatan kawasan hutan untuk pangan, energi dan air dikomentari dengan nada yang positif oleh mantan Dirjen Planologi Bambang Supiyanto bawa lahan yang diperuntukkan pembangunan pangan, energi dan air seluas 20,6 juta hektar tidak perlu dicemaskan karena keputusan itu tetap memperhatikan  azas lingkungan dan menggunakan norma aturan dan baku.

Dukung dengan was-was

Menurut anggota DPR Komisi IV Firman Soebagjo, dirinya tetap mendukung program pemerintah untuk swasembada pangan, energi dan air yang menjadi prioritas Asta Cita Presiden Prabowo Subianto. Dirinya mengaku terinspirasi saat melakukan kunjungan ke FAO di Roma.

Lembaga  pangan dunia itu telah mengingatkan kepada Indonesia agar waspada terhadap krisis pangan dan energi mengingat tahun 2050 jumlah penduduk dunia akan mencapai 9,7 miliar jiwa. Meski sadar akan pentingnya pangan namun kita juga jangan mengorbankan  hutan dan menjadikan hutan  sasaran untuk dirusak.

Namun belum sampai usai menjelaskan paparannya, anggota wakil rakyat itu putus karena internet di kompleks DPR terputus. Namun setelah mendengar pemaparan dari (pemerintah) Ditjen Planologi, Firman merasa puas karena data yang lengkap seperti itu tidak dimiliki.

Kami tidak memiliki data yang akurat dan lengkap seperti yang dipaparkan oleh Kementerian Kehutanan. Ia berharap data yang lengkap dari kementerian kehutanan mudah didapatkan sehingga masyarakat mudah  mengaksesnya.

Kesimpulan 

Moderator Harry Santoso memaparkan tentang kesimpulan mengembangkan tanaman pangan di kawasan hutan harus sesuai dengan kemampuan lahan  (land capability) (USDA, 1961) dan kelas kesesuaian lahan (land suitability) (FAO, 1976), dan kajian ini harus dilakukan lebih dulu. Jangan sampai terlanjur membuka kawasan hutan tapi ternyata lahannya tidak sesuai.

Kelas kesesuaian lahan itu ada tiga, yakni sangat sesuai (highly suitable/S1), agak sesuai (moderately suitable/S2) dan kurang sesuai (marginally suitable/S3). Yang lainnya adalah kelas tidak sesuai (not suitable/N1 dan N2). Jadi pemerintah kalau bisa memilih yang kelas S1 dan S2.

Harry juga menekankan bahwa untuk merealisasi program pangan dan energi di kawasan hutan, selain  ekstensifikasi perlu dibarengi upaya maksimal oleh sektor pertanian untuk melaksanakan intensifikasi (peningkatan produksi pangan per satuan luas dan per tahun), diversifikasi (penganekaragaman pangan selain beras), rehabilitasi lahan tegalan/tidak produktif/terlantar dan pencegahan konversi lahan sawah beririgasi teknis yang luasnya mencapai lebih 100.000 ha/tahun di Jawa untuk penggunaan lain.

Kurang SDM

Sementara itu Dr. Ir. Irsyal Yasman selaku anggota Dewan Penguatan Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) yang menjadi pembicara terakhir menguraikan pengalamannya selama ini dalam pengembangan pangan di kawasan hutan kurangnya petani yang mau mengembangkan tanaman pangan.

Masalah utama adalah ketiadaan petani/penggarap lahan itu sendiri. Di dalam kawasan hutan ujar mantan dirut PT Inhutani I, sulitn mencari tenaga kerja (petani) yang bersedia memproduksi pangan misalnya menanam padi gogo. Mereka umumnya berat untuk menanam padi dengan areal tertentu. Misalnya mereka menggarap 5 hektar mereka umum cukup dengan 2 hektar yang disesuaikan untuk kebutuhan hidupnya selama satu tahun.

“Jika diminta untuk menanam 5 hektar mereka tidak mau karena untuk menjual padinya sulit dilakukan. Mereka umumnya hanya menanam untuk kebutuhan seluas 2 ha saja.

Mereka sesungguhnya bukan malas tetapi jika berhasil memproduksi pangan tidak ada yang menampung. Untuk itu cukup menanam sesuai kebutuhannya sendiri selama satu tahun tadi. Tantangan mengembangkan tanaman pangan di kawasan hutan cukup pelik terutama masalah hama tikus dan babi.

Di dalam kawasan hutan yang tidak punya sarana dan prasarana termasuk tidak ada akses jalan dan pasar menjadi kendala tersendiri dalam pengembangan tanaman pangan. Wajar jika petani tidak mau mengembangkan hasil produktivitasnya. Di dalam hutan tidak ada pasar, tidak ada pembeli sehingga petani tidak menarik untuk berproduksi pangan secara optimal.

Begitu halnya dengan pengusaha HPH (Perizinan Berusaha Pemanfaatkan Hutan) kurang  leluasa mengembangkan tanaman pangan (padi, jagung dan kedele) karena mereka tidak mempersiapkan diri dengan sumber daya manusia (SDM) pertanian. Pengusaha hanya menyiapkan SDM kehutanan sehingga jika dipaksa untuk mengembangkan tanaman pangan akan mengalami kesulitan.  *** AI