Dalam beberapa waktu belakangan ini nilai tukar rupiah melemah di hadapan mata uang dollar Amerika Serikat (AS). Akhir pekan lalu, di pasar spot, valuasi rupiah merosot ke level Rp 13.565/dolar AS.
Gejolak pelemahan rupiah dipicu menguatnya spekulasi kenaikan suku bunga The Fed. Petinggi Federal Open Market Committee (FOMC) meyakini adanya kesempatan kenaikan suku bunga The Fed pada Juni mendatang sejalan dengan data-data ekonomi AS.
Gelojak tersebut dipicu oleh kondisi semakin tingginya kemungkinan Inggris keluar dari Eropa. Selain itu, gejolak nilai tukar rupiah juga dipicu oleh stok bahan bakar minyak di AS yang sedikit menurun.
Menanggapi gejolak nilai tukar rupiah, pemerintah Indonesia masih bersikap optimis dan tidak khawatir. Alasannya, fundamental ekonomi Indonesia tahun ini lebih kuat dibanding tahun lalu. Hal tersebut tercermin dari inflasi yang rendah, yaitu sebesat 3,6% year on year (YoY) sampai akhir April 2016.
Selain itu, defisit neraca transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) kuartal pertama mengalami perbaikan menjadi 2,1% dari produk domestik bruto (PDB).
Di sisi lain, pemerintah juga melakukan langkah-langkah dan berkomitmen untuk melakukan reformasi struktural dengan berbagai kebijakan untuk perbaikan infrastruktur, sumber daya manusia, perbaikan kelembagaan termasuk menjaga daya saing Indonesia, dan efisiensi perizinan di Indonesia.
Pemerintah akan mengeluarkan kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty. Kebijakan ini dipercaya bisa menambah likuiditas yang cukup besar ke pasar keuangan dan surat utang.
Jika ada tambahan likuiditas, maka permintaan akan instrumen investasi tinggi. Dengan begitu maka harga semua instrumen akan meningkat, akibatnya yield akan tertekan.
Terlepas dari kekuatan ekonomi nasional yang dinilai masih kuat, ada baiknya pemerintah juga sebaiknya tidak terlena dengan kondisi yang ada. Pelemahan nilai tukar rupiah harus diwaspadai dengan seksama karena dampaknya akan terasa bagi masyarakat banyak.
Perlu diketahui kalau Indonesia masih bergantung pada pasokan dari luar negeri untuk memenuhi pelbagai kebutuhan di dalam negeri, khususnya soal bahan pangan.
Saat ini, kita masih harus mengimpor daging sapi, beras, gula, kedelai, garam. Komoditas tersebut merupakan bahan kebutuhan sehari-hari masyarakat Indnesia.
Jika mata uang dolar AS mengalami kenaikan, maka secara otomatis harga barang impor tersebut juga akan mengalami kenaikan. Buntutnya, harga komoditas pangan di pasaran juga akan mengalami kenaikan.
Tanpa adanya kenaikan nilai tukar dolar saja, harga komoditas pangan di dalam negeri diperkirakan akan mengalami kenaikan sekitar 10% pada saat memasuki bulan Ramadhan dan Idul Fitri. Jika nilai tukar dolar menguat, tentunya kenaikan harga komoditas pangan pada saat Ramadhan dan menjelang Idul Fitri dikhawatirkan akan mengalami kenaikan yang lebih besar lagi.
Untuk itu, selain melakukan kebijakan di sektor moneter, pemerintah juga perlu mengambil langkah-langkah di sektor riil, seperti menjamin ketersediaan pasokan komoditas pangan di dalam negeri, melancarkan distribusi dan menjaga stabilisasi harga melalui operasi pasar.