Pemerintah menganggarkan Rp77,6 triliun pada APBN 2017 untuk mendukung pencapaian komitmen pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia sebesar 29% pada tahun 2030. Anggaran yang dialokasikan naik jika dibandingkan APBN Perubahan 2016 yang sebesar Rp72,2 triliun.
“Tercatat 123 output dari 6 kementerian atau lembaga atas anggaran yang dialokasikan untuk pengurangan emisi GRK,” kata Kepala Pusat Kebijakan Pembiayaan Perubahan Iklim dan Multilateral Kementerian Keuangan Pardjiono pada acara Aksi Pengendalian Perubahan Iklim Goes to Campus di Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Selasa (5/9/2017).
Acara tersebut diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa UI dan Dewan Nasional Pertimbangan Pengendalian Perubahan Iklim (DPPPI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) . Acara dibuka oleh Staf Ahli Menteri LHK bidang Ekonomi Sumber Daya Alam yang juga Sekretaris DPPPI Agus Justianto.
Menurut Pardjiono selain menyediakan APBN, ada juga kebijakan fiskal yang bertujuan mendorong sektor swasta untuk terlibat pada investasi pengurangan emisi GRK terutama untuk sektor energi yang merupakan salah satu penyumbang emisi GRK terbesar. Mekanisme yang disiapkan diantaranya adalahtax holiday, tax allowance, pembebasan PPN untuk barang modal, PPh Ditanggung Pemerintah untuk Geothermal, dan Pembebasan Bea Impor untuk Barang Modal.
“Pemerintah sangat mendorong sektor swasta untuk lebih berperan serta dalam pembiayaan aksi perubahan iklim,” kata Pardjiono.
Untuk pendanaan Internasional, tersedia beberapa opsi salah satunya adalah Green Climate Fund (GCF). Di Indonesia lembaga yang sudah mendapat akreditasi dari GCF adalah perusahaan pelat merah, PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI). Direktur Utama SMI Emma Sri Martini mengungkapkan, sejauh ini GCF telah berkomitmen untuk menyalurkan pendanaan sebesar 10,3 miliar dolar AS. “Untuk Indonesia, total dana yang disetujuii untuk proyek yang layak sebanyak 2,8 miliar dolar AS,” katanya.
Emma menambahkan, sebagai satu-satunya BUMN pembiayaan pembangunan infrastruktur, pihaknya berkomitmen untuk menyediakan pendanaan pada proyek-proyek pembangunan bersih. Misalnya untuk transportasi rendah emisi dan proyek energi baru dan terbarukan.
Sementara itu Direktur Mobilisasi sumber Daya Sektoral dan Regional Kementerian LHK Achmad Gunawan Widjaksono mengungkapkan, pemerintah saat ini juga sedang menyiapkan pembentukan Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup. Lembaga tersebut akan menjadi penampung pendanaan dari berbagai sumber untuk disalurkan pada proyek-proyek terkait adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.
Dia menyatakan, berbagai sumber-sumber pendanaan yang tersedia diharapkan bisa direspons oleh berbagai entitas di tanah air baik badan usaha, pemerintah daerah atau masyarakat sipil. Menurut Achmad, entitas tersebut sebagai non party stakeholder (NPS) sangat penting untuk mencapai komitmen pengurangan emisi sebanyak 29% seperti yang sudah tertuang dalam dokumen kontribusi nasional yang diniatkan (NDC) Indonesia pada Persetujuan Paris.
Kebijakan Pajak
Sementara itu Titi Muswati Putranti dari Tax Centre Fakultas Ilmu Administrasi UI menyatakan formulasi kebijakan pajak yang tepat oleh pemerintah dapat menjadi dasar implementasi dan evaluasi kebijakan ke arah industri rendah karbon yang berkelanjutan.
Titi juga menyatakan, komitmen pemerintah ke arah industri rendah karbon harus dipandang suatu hal yang menyeluruh. “Kebijakan pajak seyogyanya dibuat secara komprehensif, tidak terjebak pada isu sektoral dan hanya untuk kebutuhan komitmen penurunan emisi GRK sebagai komitmen kebijakan global semata,” katanya.
Titi mengungkapkan, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pihaknya, pemerintah layak untuk mencoba melakukan reformasi dan modifikasi sektor perpajakan diantaranya dengan melakukan implementasi pajak karbon. “Melalui pajak karbon ini diharapkan pemerintah mampu mendorong sektor ekonomi untuk mengurangi emisi,” katanya. Sugiharto