
Perubahan iklim membawa kerugian di berbagai sektor, termasuk sektor pertanian. Untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap komoditas hortikultura, paling tidak ada tiga strategi yang perlu dilakukan.
Sekretaris Ditjen Hortikultura Retno Sri Hartati menyatakan strategi kebijakan pembangunan hortikultura terkait perubahan iklim yaitu antisipasi, mitigasi, dan adaptasi.
Menurut dia, strategi antisipasi dengan mengadakan pengkajian terhadap perubahan iklim untuk meminimalkan dampak negatif. Lalu, mitigasi untuk mengurangi resiko terhadap peningkatan emisi gas rumah kaca.
“Strategi adaptasi dilakukan melalui penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif terhadap perubahan iklim,” kata Retno Sri, yang mewakili Dirjen Hortikultura, Prihasto Setyanto pada acara Virtual Literacy Gedor Horti, di Jakarta, Senin (13/7/2020)
Menurut dia, langkah konkret yang dilakukan dalam rangka penanganan dampak perubahan iklim melalui pengumpulan data dan informasi iklim dari UPTD BPTPH se-Indonesia.
Koordinasi dengan BMKG tentang prakiraan cuaca untuk tiga bulan ke depan dan antisipasi ketersediaan air hujan. Menyusun Early Warning System (EWS) manajemen pola tanam ke dinas pertanian se-Indonesia.
Selain itu tentunya melakukan koordinasi dengan perguruan tinggi dan instansi terkait informasi daerah rawan kekeringan dan kebanjiran.
Murtiningrum, dosen Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada mengatakan, penerapan teknologi hemat air pada komoditas hortikultura sangat penting dilakukan mengingat aktivitas pertanian bergantung pada ketersediaan air sepanjang musim tanam.
“Petani dapat menerapkan teknologi irigasi tetes dan irigasi curah untuk antisipasi musim kemarau,” ungkapnya.
Sementara itu Budi Kartiwa, dari Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Badan Litbang Pertanian mengatakan model pengelolaan air harus mendapat perhatian yang utama.
Menurut Budi produktivitas lahan dapat ditingkatkan dengan melakukan optimalisasi pengelolaan air, dengan memperhatikan empat faktor utama seperti potensi ketersediaan air, eksploitasi sumber daya air, distribusi air dari sumber menuju lahan, dan teknik penyiraman.
Sawabiana, ketua kelompok Tani Lestari Mulyo, Desa Selopamioro, Imogiri, Bantul, Yogyakarta, menjelaskan bahwa kelompok binaannya mengelola seluas 120 ha dengan menggunakan teknologi irigasi sprinkler.
“Teknologi ini sudah kami gunakan kurang lebih 2 tahun. Biaya yang kami keluarkan untuk luasan 1.000 m2 sekitar Rp3,5 Juta. Keistimewaan dari irigasi sprinkler ini adalah hemat tenaga, bensin dan air,” ungkapnya.
Sawabiana menambahkan bahwa dengan luasan 2.000 meter persegi membutuhkan waktu sekitar 1 jam bila dibandingkan penyiraman dengan selang yang membutuhkan waktu setengah hari.
Di samping itu pada lokasi pertanaman juga tidak ditemukan adanya ulat, karena lingkungan di sekitar pertanaman lebih lembab sehingga telur ulat gagal menetas.
Sumarna, ketua kelompok tani Pasir Makmur, Desa Srigading, Sanden, Bantul yang telah menerapkan teknologi irigasi kabut. Untuk luasan 1.000 meter persegi dibutuhkan waktu 1 jam dengan debit air yang dikeluarkan sekitar 300-400 liter per menitnya.
“Irigasi kabut juga dapat mengendalikan hama, terutama ulat daun yang menjadi momok petani,” pungkasnya.
Sumarna menambahkan, penyiraman di pagi hari dengan irigasi kabut juga bisa menghilangkan embun upas. Di sisi lain ada penghematan biaya, karena selang kabut dengan pemakaian dua musim tanam biaya modal sudah bisa kembali.
“Nilai usia dari selang kabut ini selama 5 tahun standar pabrik, namun sampai saat ini kami pakai sampai 6 tahun. Jadi penghematannya sangat banyak, dua musim tanam sudah balik modal, yang empat tahun selanjutnya sudah free,” katanya.
Jamalzen