Pengembangan usaha minyak atsiri di kawasan hutan sangat menjanjikan sebagai bisnis alternatif, khususnya di areal konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI). Selama periode masa tunggu panen pada tanaman pokok, bisnis minyak atsiri bisa menjadi jawaban untuk meningkatkan pendapatan perusahaan dan pendapatan masyarakat di sekitar konsesi.
Ketua Umum APHI Indroyono Soesilo menyatakan usaha minyak atsiri sangat potensial dikembangkan di areal HTI dengan pola agroforestry. “Sesuai ketentuan, dari areal izin HTI seluas sekitar 10 juta hektare, terdapat areal sekitar 20% dari areal izin atau kurang lebih 2 juta hektare, yang dapat digunakan untuk budidaya tanaman penghasil minyak atsiri dengan pola agroforestry,” ujar Indroyono.
Untuk pengembangan usaha minyak atsiri di areal HTI, APHI dan Dewan Atsiri Indonesia (DAI) menandatangani nota kesepahaman di Yogyakarta, Senin (23/4/2014).
Pendekatan agroforestry dimana penanaman campuran dilakukan antara tanaman kayu dan tanaman non kayu kini memang menjadi salah satu bentuk konfigurasi bisnis baru kehutanan yang gencar didorong APHI ke anggotanya. Dengan lamanya masa panen kayu HTI, optimalisasi dan peningkatan produktivitas lahan melalui kegiatan yang menghasilkan pendapatan antara menjadi perhatian utama APHI saat ini.
Indroyono menambahkan, pengembangan usaha minyak atsiri sekaligus menjadi bagian dari upaya meningkatkan pendapatan masyarakat di sekitar areal konsesi melalui kegiatan kemitraan antara perusahaan dengan masyarakat. “Mata rantai usaha minyak atsiri yang meliputi usaha budidaya, penyulingan dan pemasaran dengan teknologi yang sederhana, menjadi peluang usaha yang mampu melibatkan masyarakat secara luas,” tutur Indroyono.
Dengan menggandeng DAI, kata Indroyono, anggota APHI diharapkan memperoleh kesempatan untuk mempelajari teknik budidaya, pengolahan serta akses jaringan pemasaran.
Sementara itu Ketua Umum DAI, Robertus (Robby) J. Gunawan menyambut baik ditandatanganinya Nota Kesepahaman antara APHI dan DAI. Robby menjelaskan, beberapa jenis tanaman penghasil minyak atsiri yang biasa ditemui di kawasan hutan antara lain kayu putih, kenanga, ylang-ylang, masoi, gaharu, nilam dan seraiwangi (Cymbopogon nardus L).
“Dari jenis-jenis tersebut, yang saat ini menjadi tren dan bisa dijadikan sebagai cash crop untuk diintegrasikan dengan tanaman hutan adalah seraiwangi,” tutur Robby.
Menurut Robby, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil minyak atsiri seraiwangi yang cukup besar di dunia, yang dikenal dengan nama Java citronella oil. Indonesia menempati posisi ketiga sebagai produsen minyak seraiwangi, setelah China dan Taiwan.
“Dari kebutuhan dunia 2.000-2.500 ton/tahun, saat ini RRC menyuplai 1.500-2.000 ton/tahun, sedangkan Indonesia baru mampu memasok 450-650 ton/tahun” kata Robby.
Minyak seraiwangi mengandung sekitar 35-45 jenis senyawa, yang penting adalah geraniol 85-90%, sitronelal 11-15%, geraniol asetat 3-8%, sitronelal asetat 2-4% dan sedikit mengandung seskuiterpen serta senyawa lainnya. Minyak seraiwangi banyak digunakan sebagai bahan baku industri sabun, kosmetik, parfum, pasta gigi dan obat-obatan.
“Minyak seraiwangi juga digunakan sebagai pestisida nabati seperti fungisida, bakterisida, insektisida dan nematisida, bahkan saat ini telah dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai bioadditive untuk bahan bakar berbasis minyak bumi (BBM) dan bahan bakar nabati (BBN),” ujar Robby
Dia optimis, kerjasama APHI dan DAI akan berkontribusi untuk mendukung peningkatan ekspor minyak atsiri Indonesia ke pasar dunia, karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif berupa sumber daya lahan hutan yang sangat potensial untuk pengembangkan usaha minyak atsiri.
“Dukungan dan insentif kebijakan dari Pemerintah sangat diperlukan, mengingat usaha minyak atsiri melibatkan kewirausahaan masyarakat skala kecil–menengah,” pungkas Robby. Sugiharto