APP Siap Putus Kerjasama Pemasok

KEBAKARAN HUTAN RIAU

Mendapat tudingan bertubi-tubi, manajemen Sinar Mas dan anak-anak usahanya membantah terlibat dalam kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan. Kelompok usaha milik keluarga Widjaja yang baru dinobatkan sebagai salah satu keluarga terkaya Asia versi majalah Forbes itu bahkan berani mengambil langkah untuk memutus kerjasama dengan perusahaan yang terbukti melakukan pembakaran.

Direktur Asia Pulp and Paper Suhendra Wiriadinata menyatakan, kebakaran hutan menimbulkan kerugian ekonomi, lingkungan dan yang terpenting mengancam kehidupan masyarakat. Hal ini tidak pernah bisa diterima. “APP grup dengan tegas tidak mendukung kebakaran hutan,” kata Suhendra dalam pernyataan tertulisnya, Kamis (8/10/2015).

Menurut Suhendra, pihaknya bekerja sepanjang hari, mengirim 2.900 pemadam kebakaran terlatih dan helikopter untuk memadamkan kebakaran hutan yang terjadi. “APP akan memutuskan hubungan kerjasama dengan pemasok kayu yang terbukti bersalah melakukan pembakaran dengan sengaja,” katanya.

Terkait peringatan dari Badan Lingkungan Hidup Nasional Singapura (NEA), Suhendra menjelaskan APP berkomitmen penuh terhadap transparansi dalam hal kebakaran hutan yang terjadi di wilayahnya. Pihaknya juga dengan cepat menanggapi permintaan data dan informasi dari NEA sesuai dengan tenggat waktu yang diminta. APP pun mengundang pejabat NEA untuk mengunjungi daerah operasional APP di Indonesia untuk menunjukkan penerapan kebijakan tanpa bakar di area pemasok APP, yang telah diterapkan sejak tahun 1996.

Sementara terkait langkah jaringan swalayan menarik produk APP, Suhendra menyatakan, pihaknya memahami mengapa Fairprice memandang perlu untuk segera bertindak, dan merasakan urgensi yang sama dalam upaya mengatasi masalah kabut asap ini. “Tetapi akurasi juga adalah hal yang penting. Kebakaran hutan merupakan sebuah isu yang sangat rumit dan baik pemerintah Singapura dan Indonesia masih menyelidiki situasi ini. Kami siap untuk melakukan lebih dan berkomitmen untuk bekerja dengan semua otoritas terkait untuk mengatasi isu kebakaran hutan dan asap ini,” katanya.

Dukungan APKI

Sementara itu Asosiasi Pulp dan Kertas Indonesia (APKI) menilai, langkah jaringan supermarket menarik produk tisu APP tidak tepat.

“Mereka harus mengerti, ini kan bencana alam, dan pengusaha pulp dan kertas juga sudah pasti tidak menginginkan kejadian ini. Bagaimana mungkin kita bakar lahan, kalau kita butuh kayunya? Kalau kita bakar, lalu untuk produksi, kita dapat bahan baku darimana?” kata Wakil Ketua Umum APKI, Rusli Tan.

Rusli meyakini, langkah di Singapura tersebut tidak akan berdampak besar terhadap ekspor produk pulp dan kertas Indonesia. Industri pulp dan kertas mengaku tidak terlalu khawatir akan kebijakan yang diambil NTUC FairPrice tersebut.

Dia menambahkan, tindakan Singapura tersebut hanya berlangsung sementara. Pasalnya, produk tisu Indonesia merupakan yang terbaik dibanding produk-produk dari negara lain, baik dari sisi kualitas maupun harga. “Ini terlalu politis,dan tidak lama lagi mereka akan impor. Itu cuma sensasi sementara. Kita tidak perlu terlalu takut dengan ancaman-ancaman seperti ini. Dalam teori dagang, kalau produk kita bagus dan kompetitif, konsumen akan datang,” kata dia.

Rusli mengungkapkan, kebakaran lahan yang terjadi justru menjadi kerugian bagi industri pulp dan kertas. “Pengusaha jauh lebih gelisah. Karena kami sudah terlanjur investasi besar untuk mendatangkan mesin-mesin produksi. Tetapi sekarang hutannya terbakar, bagaimana kami bisa mendapatkan bahan baku?,” kata dia.

Menurut Rusli, bencana kebakaran lahan ini seharusnya tidak terjadi jika pemerintah bisa lebih tanggap dari awal. “Kita sebenarnya sudah tahu sejak awal tahun, bahwa akan ada musim kering yang panjang pada tahun ini, dan harusnya sudah diantisipasi dari jauh-jauh hari. Apalagi kita tahu, bahwa lahan gambut kalau muslim kemarau menjadi sangat mudah terbakar. Sayangnya pemerintah kurang tanggap, dan harusnya ada sosialisasi kepada petani-petani agar jangan membuka lahan sembarangan di musim seperti ini,” papar dia.

Sementara itu Global Head Indonesia Forest Campaigner Bustar Maitar mengatakan masalah asap ini situasinya sudah campur aduk antara politik, pencemaran, asap dan sebagainya. “Sehingga orang bisa menafsirkan bermacam-macam,” katanya.

Dia malah meminta fokus persoalan pada pemadam api tidak mencari siapa yang salah, meski diakui penegakan hukum harus dijalankan. Ketika disinggung jika HTI kelompok Sinar Mas, dia tidak berani tegas mengatakan cabut izin konsesinya. “Silakan saja pengadilan yang memutuskan,” katanya. Sugiharto

30 Perusahaan Kena Sanksi

Pemerintah terus mengusut keterlibatan korporasi dalam sejumlah kasus kebakaran lahan dan hutan. Jumlah perusahaan yang bakal kena sanksi dipastikan bertambah.

Menteri Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya menyebut, ada 30 perusahaan lagi yang bakal dikenai sanksi menyusul 4 perusahaan sebelumnya.

“Kemarin sudah 4 dibekukan dan dicabut ini sedang disiapkan 30 perusahaan,” ujar Siti di Jakarta, Selasa (6/10/2015).

Pada September lalu, 4 perusahaan telah mendapat sanksi administrasi dari pemerintah. Keempat perusahaan itu adalah PT Tempirai Palm Resources dan PT Waringin Agro Jaya di Sumatera Selatan. Sedangkan di Riau, PT Langgam Inti Hibrido yang dibekukan izin operasinya, dan PT Hutani Sola Lestari yang dicabut izinnya.

Perusahaan-perusahaan itu dibekukan izinnya hingga ada keputusan akhir pengadilan, diwajibkan membayar ganti rugi, diharuskan meminta maaf dan mengembalikan lahan yang dimilikinya kepada pemerintah.

Dikatakan Siti, sanksi serupa bisa saja diberikan kepada 30 perusahaan tersebut. Namun, saat ini, pemerintah masih mempersiapkan prosedur administrasinya sebelum mengumumkan sanksi terhadap 30 perusahaan itu.

“Dia (perusahaan) harus diberita acara lalu orangnya harus diajak ngomong, kita tanda tangan, dia tanda tangan. Itu prosedurnya seperti itu. Jadi jalan terus kita lakukan,” kata Siti.

Siti menargetkan dalam waktu satu pekan, seluruh proses selesai sehingga seluruh perusahaan yang mendapat sanksi itu bisa langsung diumumkan. “Minggu ini sih mudah-mudahan selesai. Saya lagi minta, Presiden mintanya cepat,” ujar dia.

Lebih lanjut, Menteri LHK menjelaskan, jumlah perusahaan yang saat ini sedang diteliti pemerintah bertambah dari yang sebelumnya 420 perusahaan menjadi 1.200 perusahaan. Kementerian Lingkungan Hidup berkoordinasi dengan Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR) yang juga berwenang menerbitkan Hak Guna Usaha (HGU) untuk perusahaan-perusahaan perkebunan di areal terbakar.

Pemerintah menyiapkan 3 jenis sanksi terhadap perusahaan-perusahaan yang terlibat dalam aksi pembakaran. Untuk sanksi ringan, perusahaan atau individu yang tidak bertujuan membakar, akan mendapat peringatan tertulis dan harus melakukan rehabilitasi kerusakan, restorasi, serta menyatakan permintaan maaf di media pada publik dan berjanji tidak mengulanginya.

Pada tingkat sedang, KLHK akan membekukan izin perusahaan, mengenakan denda, mewajibkan perusahaan melakukan rehabilitasi, dan menyatakan permintaan maaf pada publik lewat media.

Perusahaan yang mendapat sanksi yang berat harus membayar denda, menjalani proses hukum di pengadilan, masuk dalam daftar hitam, dan izinnya dicabut. Sugiharto