Arang, benda hitam yang terbuat dari kayu atau tempurung kelapa, selama ini identik sebagai bahan bakar untuk keperluan memasak. Tapi dengan ilmu dan teknologi (iptek) yang dikembangkan Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan (P3H) Badan Litbang dan Inovasi (BLI) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), produk arang makin lebar pemanfaatannya. Termasuk untuk menyuburkan tanaman dan meningkatkan daya tahan dari serangan organisme pengganggu tanaman.
Pembuktian kesaktian arang terlihat saat panen padi hasil iptek arang terpadu di lahan Pondok Pesantren Miftahul Huda Al Musri, Desa Kertajaya, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, Rabu (19/7/2017). Hadir dalam kesempatan tersebut Wakil Bupati Cianjur Herman Suherman, Staf Ahli Menteri LHK bidang Pangan Sabrina, Tenaga Ahli Menteri LHK bidang Kerjasama Masyarakat dan Daerah, Bedjo Santosa, dan Kepala P3H BLI Kementerian LHK Dwi Sudharto.
Penggunaan produk iptek arang terpadu yang terdiri dari arang kompos bioaktif (arkoba) dan cuka kayu berhasil membuat padi tumbuh genjah. Batang padi per rumpun mampu tumbuh dari 2-3 batang pada saat menanam menjadi 26-33 batang pada saat panen.
Tanaman padi pun tidak terserang hama tikus dan serangga. Berbeda dengan halnya jika padi masih menggunakan pupuk dan pestisida kimia. Penggunaan arkoba dan asap cair pun membuat bulir padi lebih berisi tidak banyak yang hampa, tidak mudah patah, dan lebih mengkilat. Volume beras yang diperoleh pun menjadi lebih besar.
Menurut Dwi Sudharto, paket iptek arang terpadu yang terdiri dari pembuatan arang, arkoba, dan cuka kayu, merupakan teknologi sederhana dan murah untuk memanfaatkan limbah kayu, jerami, daun-daunan, sekam padi, dan bahan organik lain. “Dulu limbah seperti ini paling dibakar. Sekarang, bisa diolah menjadi produk yang bermanfaat,” katanya.
Dia menjelaskan, arang dapat membangun kualitas dan kondisi tanah lebih baik, secara fisik, kimia, maupun biologi tanah. Arang dapat merangsang pertumbuhan tanaman, meningkatkan kadar keasaman (pH) tanah, dan nutrisi dalam tanah.
Arang yang diproduksi bisa diolah lebih lanjut menjadi arkoba dengan mencampurnya dengan kompos dan bahan bioaktif. Menurut Dwi, arkoba dapat menambah ketersediaan unsur hara tanah, memacu perkembangan mikroorganisme tanah pada saat diaplikasikan di lapangan, dan meningkatkan nilai tukar kation (KTK) tanah.
Arkoba juga akan mengkondisikan pH tanah pada tingkat yang lebih sesuai bagi pertumbuhan tanaman sehingga cocok untuk rehabilitasi lahan yang mempunyai tingkat kesuburan dan keasaman tanah rendah. “Sementara cuka kayu, dapat digunakan sebagai biopestisida,” kata Dwi.
Selain di Cianjur, P3H BLI Kementerian LHK juga memperkenalkan teknologi ini di sejumlah kabupaten. Termasuk Ciamis, Pangandaran, Pandeglang, Lubuk Linggau, Karo, dan Toraja.
Dwi mengungkapkan, di Karo, cuka kayu dimanfaatkan petani untuk melindungi tanaman jeruk dari serbuan lalat buah. “Dulu tanaman jeruk diselimuti. Bayangkan berapa banyak yang mesti diselimuti. Sekarang cukup semprot cuka kayu, lalat buah hilang,” katanya.
Dwi menyatakan, iptek arang terpadu menjadi alternatif pilihan teknologi usaha pertanian yang mudah, sehat dan murah. Hal itu juga sejalan dengan tren masyarakat yang mengarah pada gaya hidup hijau dan ramah lingkungan. “Masyarakat dunia saat ini meninggalkan produk-produk kimia dan kembali pada hal yang bersifat alami dan organik Nah Iptek arang terpadu ini cocok karena bahan-bahannya organik,” katanya.
Pemanfaatan iptek arang terpadu juga mendukung tercapainya sasaran prioritas pembangunan nasional, yang antara lain berupa peningkatan indeks kualitas lingkungan hidup (IKLH).
Organik
Wakil Bupati Cianjur Herman Suherman mengapresiasi kebijakan P3H BLI Kementerian LHK yang melakukan sosialiasi pemanfaatan iptek arang terpadu di Cianjur. Ini sejalan dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Cianjur yang akan terus mendorong kegiatan pertanian, termasuk pertanian organik. “Pertanian organik ini akan lebih sehat karena produk yang dihasilkan bebas bahan kimia,” katanya.
Dia juga menegaskan, pertanian organik sangat berperan dalam upaya mitigasi perubahan iklim. Dia menjelaskan, penggunaan produk pupuk dan pestisida kimia ikut menambah pelepasan gas rumah kaca sehingga berkontribusi pada pemanasan global.
Herman juga menjelaskan untuk mendukung kegiatan pertanian, Pemerintah kabupaten Cianjur sedang merancang pembentukan perusahaan umum (perum) daerah yang akan mendukung berbagai usaha tani masyarakat. Termasuk menyediakan pembiayaan tanpa riba kepada masyarakat petani. “Selama ini masyarakat tergantung kepada pengijon. Ini yang akan kita hilangkan,” katanya.
Sementara itu, Ketua Kelompok Tani Iti Kurih Ade Syarifudin mengungkapkan, peralihan dari penggunaan produk kimia ke organik biasanya diiringi dengan penurunan produksi. Namun dengan pemanfaatan produk arang terpadu, hal itu tidak terjadi. “Saya hitung-hitung saat ini masih impas. Setelah 5 kali daur tanam, hasilnya pasti lebih baik karena sudah ada perbaikan kondisi tanah,” katanya.
Anggota Kelompok Tani Iti Kurih ada 20 kepala keluarga dengan luas areal garapan 5 hektare. Seluas 4.000 hektare diantaranya sudah melakukan uji coba pemanfaatan produk arang terpadu. Menurut Ade, salah satu keuntungan pemanfaatan produk organik, adalah harga jual beras yang lebih tinggi. Jika beras biasa dihargai Rp10.000 per kilogram, beras organik bisa diharga Rp15.000 per kilogram. “Bahkan kalau di Bandung, bisa Rp20.000 per kilogram,” katanya.
Untuk itu Ade berharap pemerintah juga membantu untuk memasarkan produk-produk organik yang dihasilkan petani, sehingga bisa mendapat harga jual yang optimal. Sugiharto