Cetak sawah baru yang dimulai sejak tahun 2000-an oleh Kementerian Pertanian, lewat Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP), mulai menuai hasil. Bahkan, keberadaan areal sawah baru itu juga ikut berkontribusi terhadap produksi pangan nasional.
Sawah baru hasil dari program cetak sawah Ditjen PSP itu kini sudah bisa ditanami dua kali setahun (IP-200), bahkan ada yang tiga kali setahun (IP-300). Produksi ini jelas memberikan kontribusi terhadap produksi beras nasional.
Misalnya areal panen padi di Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Areal sawah di wilayah adat Meepago ini merupakan penghasil beras kedua setelah Kabupan Merauke.
Kelompok Tani Ngudi Rejeki dan Kelompok Tani Bahagia di Kampung Bumi Raya, Distrik Nabire Barat adalah kelompok pelaksana kegiatan Cetak Sawah Tahun Anggaran 2012 yang merupakan bantuan dari Satker Direktorat Pengelolaan Lahan dan Air, Ditjen PSP, Kementan.
Kepala Dinas Pertanian Kabupaten Nabire, Syarifudin menjelaskan, panen dilaksanakan pada Kamis (9/4/2020) di hamparan seluas sekitar 600 hektare (ha). “Padi yang ditanam adalah varietas Ciherang dan varietas Cigeuilis dengan provitas rata-rata 3,5 ton/ha (dalam bentuk beras),” katanya.
Kebutuhan pengairan pada areal tersebut didukung dengan tersedianya Bendungan Kalibumi. Bendungan ini dapat melayani kebutuhan air untuk 6.400 ha. Selain itu juga didukung oleh ketersediaan alat mesin pertanian (Alsintan) dari Kementan.
Dengan bantuan Alsintan itu, petani dapat melakukan pertanaman tiga kali dalam setahun. “Pemanfaan Alsintan bantuan yang telah diterima, baik untuk pengelolaan lahan mapun panen dirasakan sangat membantu meringankan beban petani apabila akan dilakukan secara manual,” tegasnya.
Manfaat yang sama juga dirasakan petani di Kabupaten Mukomuko, Provinsi Bengkulu, di mana areal sawah baru dibangunkan Kementan. Dari total 956.92 ha lahan sawah baru yang dicetak sejak tahun 2017, kini sudah ditanam 6-8 kali dengan produktivitas rata-rata 7 ton/ha. Salah satunya di Desa Sumber Makmur, Kecamatan Lubuk Pinang, Kabupaten Mukomuko.
Lahan yang dikelola kelompok Tani Makarti Mukti ini memiliki luas tanam 97,24 ha yang merupakan hasil kegiatan cetak sawah tahun 2018. Luas yang dipanen saat ini 17 ha dengan produktivitas rata-rata 7,5 Ton/ha. Diperkirakan akan dilakukan panen raya di areal tersebut pada awal Mei 2020.
Dijadikan LP2B
Terkait dengan mulai masuknya panen, Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo (SYL) juga telah memerintahkan jajaran Kementan agar memantau produksi sektor pertanian selama masa pandemi COVID-19.
Saat ini, mulai masa panen raya Maret-April 2020. Petani harus dipastikan memperoleh harga jual yang layak, sehingga terjaga kesejahteraannya.
Syahrul mengatakan, jika berbicara soal lapangan, maka yang perlu disiapkan adalah bibit dan benih yang baik, budidaya yang tepat, serta manajemen air yang efektif dan efisien, karena dengan itu semua produktivitas akan meningkat. “Ini adalah bagian dari konsolidasi, tekad dan kemauan kita agar besok kita siap kerja lebih baik dan terarah,” katanya di Jakarta, Rabu (15/4/2020).
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Kementan Sarwo Edhy menambahkan, Kementan terus melakukan evaluasi keberjalanan program cetak sawah. Kementan harus memastikan lahan sawah baru yang dicetak benar-benar digunakan dan menghasilkan produksi padi.
“Kita evaluasi terus apakah lahan yang dicetak sejak 2014-2019 sudah dimanfaatkan atau belum, ini penting untuk menjaga dan meningkatkan produktivitas pangan,” kata Sarwo Edhy.
Kegiatan cetak sawah ini juga didukung dengan ketersediaan alat dan mesin pertanian (Alsintan) bantuan dari Kementerian Pertanian melalui Ditjen PSP. Diketahui, areal Kelompok Tani Makarti Muti ini telah melakukan penanaman sebanyak dua kali dan akan masuk pada musim yang ketiga.
“Pemanfaatan Alsintan bantuan yang telah diterima baik untuk pengelolaan lahan dan panen akan sangat membantu, sehingga petani dapat melakukan penanaman tiga kali dalam setahun atau IP 3,” tuturnya.
Dalam hal menjamin ketersediaan lahan, Kementan juga terus memperkuat koordinasi dengan pemerintah daerah untuk pencegahan alih fungsi lahan. Sesuai Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2013 tentang Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), alih fungsi lahan sawah tidak diperbolehkan tanpa seizin pemerintah.
“Lahan-lahan sawah yang sudah ada, yang sudah dicetak, agar ditetapkan menjadi Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan, tidak boleh dialih-fungsikan. Kita harus terus menjaga ketersediaan pangan, “ katanya.
Kegiatan cetak sawah Kementan terbagi dua. Pertama, cetak sawah yang sebenarnya, dalam arti mengubah lahan tidur menjadi sawah serta optimalisasi lahan.
Kedua, optimalisasi lahan, yakni menambah areal luas tanam melalui optimalisasi lahan yang tidak produktif. Cetak sawah baru dilakukan bekerja sama dengan TNI di lahan-lahan tidur di luar Jawa, antara lain Lampung, Sumatera Selatan (Sumsel), Pulau Kalimatan, dan Papua.
Tahun 2015, Direktorat Perluasan dan Perlindungan Lahan, Ditjen PSP telah membuka sawah baru seluas 20.070 ha, tahun 2016 berhasil mencetak sawah seluas 132.129 ha, dan 2017 seluas 60.243 ha.
Tahun 2018, targetnya hanya sekitar 12.000 ha. Sebagai gantinya, Kementan akan menggarap rawa pasang surut. Lahan pasang surut seperti di Sumatera Selatan dan Kalimantan sudah dioptimalkan, sehingga dapat menambah produksi pangan nasional.
Menambah Produksi Beras
Dengan demikian, Kementan melalui Ditjen PSP, dalam kurun waktu tiga tahun telah berhasil mencetak sawah baru seluas 212.442 ha. Sedangkan target cetak sawah tahun anggaran (TA) 2018 seluas 12.000 ha.
Cetak sawah seluas 212.442 ha yang telah berhasil dicetak itu menambah luas baku lahan sawah di tanah air. “Minimal akan mampu menambah produksi beras nasional sebanyak 673.326 ton/tahun dengan rata-rata produksi 3 ton/ha. Secara berkesinambungan produksi dan produktivitas tersebut akan bertambah,” kata Sarwo Edhy
Menurut dia, hal ini tidak terlepas dari upaya memberdayakan masyarakat agraris atau bisa disebut juga masyarakat pedesaan di Indonesia sebagai masyarakat yang paling rentan terhadap perubahan budaya.
Sumber daya manusia pedesaan umumnya memiliki kemampuan adaptasi terhadap lingkungan yang rendah, sehingga rentan terhadap dampak lingkungan.
“Mereka memang penghasil produk pertanian, tapi segi kualitas dan kuantitas masih sangat terbatas. Hal ini akibat sistem pertanian yang masih subsisten dan daya beli masyarakat pedesaan yang rendah,” ungkapnya. Di tengah semua keterbatasan itu, perlu ada upaya untuk mendorong pengembangan cetak sawah baru yang lebih modern serta memanfaatkan penggunaan alat mesin pertanian (Alsintan) canggih dalam bercocok tanam. PSP