Banjir Kalsel, KLHK: Izin Tambang di Hutan Hanya 5,79%

Banjir di Kalsel [presidenri.go.id]

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menanggapi polemik keberadaan pertambangan yang dituding sejumlah pihak sebagai penyebab banjir besar di Kalimantan Selatan.

Menurut KLHK, luas izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk kegiatan pertambangan di Kalimantan Selatan ada 87 unit seluas ±55.078 hektare (ha). Luas IPPKH tambang sebesar 5,79 % dari total luas kawasan hutan lindung dan hutan produksi di Kalsel yang mencapai 950.800 hektare.

Kepala Biro Humas KLHK Nunu Anugrah dalam pernyataan pers, Sabtu (23/1/2021), menjelaskan dari 87 unit IPPKH tambang yang ada di Kalsel, sejumlah 55 unit IPPKH dengan luas ±43.744 ha, terbit sebelum 20 Oktober 2014.

Sebanyak 30 unit IPPKH seluas  ±19.209 ha telah dilakukan perpanjangan atau revisi IPPKH. ”Sementara IPPKH yang terbit setelah tanggal 20 Oktober 2014 sampai dengan tahun 2020 adalah sebanyak 32 unit, dengan luas kurang lebih  ±11.334 ha,” katanya.

Sebagai catatan total luas kawasan hutan hutan di Kalsel mencapai  ±1.664.000 ha yang mencakup hutan produksi, lindung, dan konservasi. Hanya kawasan hutan produksi dan lindung yang berdasarkan undang-undang bisa diterbitkan IPPKH.

Lebih lanjut, Nunu mengungkapkan, berdasarkan data penutupan lahan KLHK tahun 2019, dari total IPPKH pertambangan di Kalsel seluas  ±55.078 ha yang terindikasi telah beraktivitas di lapangan adalah seluas  ±30.841 Ha.

Luas bukaan tambang pada areal IPPKH tersebut lebih kecil jika dibandingkan bukaan tambang di luar kawasan hutan (APL) seluas  ±53.456 Ha.

Nunu menjelaskan IPPKH merupakan penggunaan kawasan hutan untuk kegiatan di luar sektor kehutanan guna mendukung pembangunan. Permohonan penggunaan kawasan hutan wajib dilengkapi dengan rekomendasi gubernur dan dokumen lingkungan, serta yang tidak kalah penting adalah mempunyai izin sektor yang masih berlaku.

Dalam hal pertambangan, maka harus ada izin sektor tambang (IUP/PKP2B/KK) yang merupakan kewenangan Kementerian ESDM dan Pemerintah Daerah.

“Oleh karena itu, pengawasan dan pembinaan terhadap kegiatan pertambangan tidak sepenuhnya dilakukan oleh KLHK,” jelas Nunu.

Kajian Khusus

Nunu menyatakan, adanya polemik tentang analisis banjir Kalsel dapat dipahami,  karena ada keinginan secara cepat mencari sebab dan untuk segera mengatasinya.

Pragmatisme itu terjadi di tengah kemelut bencana banjir besar dan luas dengan korban ratusan ribu  orang yang harus mengungsi.

Bagi pemerintah, katanya, tidak mudah asal menunjuk, tanpa mempelajari sebab–akibat atau hubungan kasualitas yang dilandasi oleh pengetahuan selain fakta-fakta lapangan diantara peran Kementerian dan Lembaga.

Oleh karena itu, KLHK melakukan kajian khususnya dengan lokus Daerah Aliran Sungai (DAS) Barito di Kalsel.

“Sangat jelas bahwa banjir pada DAS Barito Kalsel yaitu pada  Daerah Tampung Air (DTA) Riam Kiwa, DTA Kurau dan DTA Barabai karena curah hujan ekstrim, dan sangat mungkin dengan recurrent periode 50 hingga 100 tahun. Apalagi saat analisis per tanggal 18 Januari, tentu masih ada dimensi landscape dan rainfall yang masih harus dilihat. Tentu saja ada aspek lain seperti sistem drainase wilayah, tutupan lahan, dan menyusur lagi soal perizinan. Semua harus secara sistematis diidentifikasi dan didalami,” ungkapnya.

Lebih lanjut, Nunu menjelaskan, DAS Barito dengan luas total kurang lebih 6,2 juta ha, merupakan DAS lintas provinsi, meliputi Provinsi Kalimantan Tengah seluas kurang lebih 4,4 juta ha, Provinsi Kalimantan Timur seluas kurang lebih 8 ribu ha, Provinsi Kalimantan Barat seluas kurang lebih 590 ha, dan di Provinsi Kalimantan Selatan sendiri seluas kurang lebih 1,8 juta ha atau setara 29%.

Sugiharto