Masa Depan Pengembangan Kehutanan Berbasis Masyarakat: Arah Penelitian Di Masa Depan

Dr Boen M Purnama

Oleh: Boen M. Purnama (Ketua Yayasan Sarana Wana Jaya)

Pendahuluan

Puslitbang Sosial Ekonomi Kebijakan dan Perubahan Iklim Badan Litbang dan Inovasi (P3SEKPI-BLI) pada tanggal 12 Januari 2021 menyelenggarakan Foresight Analysis Workshop di Jakarta dengan tema “Jalan ke Masa Depan Untuk Pengembangan Kehutanan Berbasis Masyarakat di Indonesia”.  Workshop tersebut merupakan salah satu kegiatan dari Enhancing Community Based Commercial Forestry (CBCF) in Indonesia Project, kerja sama penelitian antara P3SEKPI-BLI dan ACIAR yang bertujuan mengidentifikasi berbagai langkah agar perhutanan sosial berbasis masyarakat (CBCF) mampu meningkatkan pendapatan petani dan memperluas manfaatnya bagi masyarakat lokal dan industri kayu. Dalam workshop tersebut Yayasan Sarana Wana Jaya (YSWJ) memaparkan topik Masa Depan Pengembangan Kehutanan Berbasis Masyarakat: Arah Penelitian Di Masa Depan. Dalam paparan tersebut kehutanan berbasis masyarakat didefinisikan sebagai upaya menanam pohon-pohon hutan untuk suatu usaha ekonomi oleh masyarakat, yang mana termasuk di dalamnya adalah usaha hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan.

Kehutanan Berbasis Masyarakat Periode 1990-an s/d 2020

Pada periode ini usaha kehutanan berbasis masyarakat (UKBM) di Indonesia dicirikan oleh beberapa hal seperti menanam pohon sebagai saving account, tanpa input manajemen, mengikuti program-program pemerintah, namun ada pula yang merespons perkembangan pasar.

Menanam sebagai tabungan masa depan. Usaha menanam pohon sudah sejak lama dilakukan oleh masyarakat pada lahan miliknya. Berbagai jenis pohon berumur panjang ditanam oleh penduduk. Pengamatan penulis pada tahun 1980 di Sumatera Utara di sekitar kabupaten Kabanjahe, masyarakat umumnya menanam pohon ketika mereka menikah atau anaknya lahir. Menurut mereka penanaman pohon itu lebih merupakan tabungan masa depan yang kelak ditebang bila memerlukan dana untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan  besar, misalnya saat anaknya akan bersekolah ke Jawa.

Relatif tanpa input manajemen. Motivasi masyarakat untuk menanam pohon dengan berorientasi pada usaha ekonomi atau bisnis yang dilakukan dengan cara mengelola tegakan secara baik nampaknya masih belum lazim dalam periode ini. Pada umumnya mereka hanya menanam saja, sama sekali tanpa ada kegiatan pemeliharaan tanaman seperti membersihkan gulma, pemangkasan, penjarangan atau bahkan tanpa menggunakan jarak tanam, serta input manajemen yang sangat kecil.

Pengaruh gerakan menanam pohon. Pada tahun 1990-an, pembangunan hutan rakyat berbasis kayu sengon Paraserianthes falcataria mulai populer di Jawa. Perkembangan penanaman pohon di lahan masyarakat ini lebih didorong oleh berkembangnya pasar kayu sengon sebagai bahan baku industri kotak kayu, penggulung kabel telpon, mebel sederhana, dan pembuatan table top terutama oleh industri kecil yang banyak berkembang di pulau Jawa. Bagaimanapun tren penanaman kayu oleh rakyat telah didorong oleh adanya program RAKGANTANG (Gerakan Gandrung Tatangkalan) di Jawa Barat, lalu disusul dengan munculnya Gerakan Sengonisasi yang lebih Nasional sifatnya.

Reaksi terhadap permintaan pasar. Pengamatan di daerah Banjarnegara Jawa Tengah dan sekitarnya, menemukan fenomena yang menarik dimana pembagian bibit sengon yang diberikan oleh pemerintah, walaupun diterima oleh masyarakat namun tidak semuanya ditanam di lahan mereka. Mereka lebih memilih bibit yang dibeli di pasar, walaupun mahal tapi lebih unggul, baik jenis maupun kualitasnya. Pada saat itu masyarakat lokal sudah bisa membedakan antara jenis sengon merah dan kuning atau putih. Menanam bibit sengon yang dibeli di pasar secara ekonomi lebih menguntungkan, karena harga jual sengon setelah berumur 10 tahun yang berasal dari jenis bibit yang lebih unggul jauh lebih tinggi daripada sengon dari bibit gratis.

Saling terkait antara industri olahan kayu sengon, hutan sengon dan pasar bibit sengon. Keberadaan permintaan pasar akan kayu sengon yang memberi harga cukup menarik menyebabkan meningkatnya animo masyarakat untuk menanam sengon dan perkembangan ini juga mendorong dan didorong dengan munculnya pasar bibit kayu sengon.

Peran pemerintah dan pengaruh pasar. Pemerintah juga mendorong gerakan penanaman sengon di luar Jawa yang mana gerakan ini sebenarnya didorong oleh upaya pemerintah untuk mencegah dan menekan bencana alam akibat banyaknya lahan kritis terutama pada kawasan lindung. Berbeda dengan di Jawa, kegiatan di luar Jawa relative tidak berjalan baik. Faktor utamanya adalah tidak adanya pasar dan permintaan produk hutan tanaman masyarakat tersebut. Pasar lebih mendorong pengembangan penanaman pohon hutan di tanah masyarakat dari pada intervensi pemerintah.

Upaya pemerintah dalam merehabilitasi hutan dan lahan.

  1. Program reboisasi dan rehabilitasi pemerintah. Pada periode 2000 – 2020 banyak upaya pemerintah untuk menggalakkan penanaman pohon dalam rangka gerakan rehabilitasi lahan dan reboisasi serta mendorong pengembangan hutan masyarakat terutama pada lahan milik yang berada dalam kawasan yang berfungsi lindung.

Dimulai dengan Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL) dengan fokus pada DAS berkategori kritis atau lebih dikenal dengan istilan GERHAN pada tahun 2002. Lalu disusul dengan Gerakan Penanaman sejuta pohon, yang mana gerakan itu semakin ditingkatkan menjadi Gerakan Penanaman 1 Miliar Pohon untuk Dunia yang bertujuan untuk berkontribusi terhadap upaya dunia dalam menurunkan pemanasan global sebagai upaya bersama melalui PBB. Terakhir Kementerian LHK meluncurkan gerakan Menanam 25 Pohon per orang Seumur Hidup. Pemerintah mambangun banyak kebun bibit yang dikelola oleh Balai DAS diseluruh Indonesia, dimana rakyat boleh mengambil bibit pohon secara gratis untuk ditanam di lahan kosong milik masyarakat. Gerakan ini telah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk melakukan penanaman pohon  lingkungan menjadi lebih hijau dan sejuk. Animo menanam masyarakat juga meningkat walaupun tidak berarti kegiatan menanam pohon itu bertujuan ekonomi.

  1. Pengembangan hutan rakyat dan hutan tanaman rakyat (HTR). Hutan rakyat lebih merupakan inisiatif masyarakat dalam merespon permintaan pasar akan kayu terutama sengon. Sementara HTR adalah upaya pemerintah untuk memberi kesempatan kepada rakyat dengan cara memberi hak mengelola kawasan hutan dengan luas tertentu dan terbatas dengan membangun hutan tanaman. Ada beberapa permasalah yang dihadapi dalam pemberian HTR antara lain Beban Administrasi. Berbeda dengan Hutan Rakyat yang lebih berkembang, sebaliknya HTR berjalan kurang optimal seperti ditunjukkan dengan minimya izin HTR yang dikeluarkan dan rendahnya kawasan HTR yang disetujui. Salah satu masalah besar yang dihadapi rakyat dalam mengikuti program HTR adalah kesulitan untuk memenuhi persyaratan administrasi seperti keharusan membuat proposal, menyusun rencana penanaman lima tahun dan rencana tahunan. Penyelesainnya antar lain dengan memunculkan ide pendampingan yang bisa dilakukan oleh penyuluh kehutanan, LSM atau konsultan.
  2. Modal kerja. Kebutuhan modal sangat krusial untuk suatu usaha termasuk usaha hutan berbasis masyarakat. Dalam hal ini Departemen Kehutanan (Dephut) dan kemudian menjadi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membangun Badan Layanan Umum (BLU) yang memberikan pinjaman untuk pembangunan hutan bagi masyarakat yang dananya diambilkan dari Dana Reboisasi (DR) yang merupakan hak KLHK. Penggunaan dana BLU masih belum optimal karena selalu ada trade off dengan pelayanan peminjaman yang prudent dengan prinsip kehati-hatian. Kredit semacam itu selama ini yang dikelola pemerintah banyak menjadi kredit macet (NPL). Fleksibilitas mungkin perlu dipertimbangkan dengan tetap memelihara prinsip kehati-hatian. Salah satu yang mungkin dapat dipertimbangkan adalah menjadikan BLU menjadi semacam bank pertanian (Agro Bank) di negara-negara maju, antara lain dengan memperhatikan karakter usaha kehutanan yang berjangka panjang.
  3. Sistem Verifikasi Legalitas Kayu. Untuk memastikan bahwa kayu atau produk kayu olahan yang diproduksi di Indonesia adalah berasal dari hutan yang dikelola secara lestari, termasuk yang berasal dari hutan milik rakyat dan HTR, pemerintah mengembangkan sertifikasi yang disebut Sistem Verifikasi dan Legalitas Kayu (SVLK). Dengan rata-rata luasan yang kecil maka sulit bagi usaha kehutanan berbasis masyarakat seperti Hutan Rakyat untuk memenuhi kewajiban SVLK tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan melalui kerjasama ACIAR dan BLI banyak hambatan dalam penerapan SVLK yang antara lain telah diatasi dengan sertifikasi kelompok operator hutan dan subsidi pemerintah untuk menanggung sebagian biaya sertifikasi. Ke depan sistem ini akan semakin menjadi persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengelola hutan termasuk pengelola hutan berbasis masyarakat mengingat produk olahan kayunya dieskpor ke pasar luar negeri yang mensyaratkan sertifikasi seperti SVLK.

Faktor teknologi dan selera pasar. Selain sengon, jati (Tectona grandis) merupakan pohon hutan yang popular di kalangan masyarakat di Jawa dan banyak ditanam masyarakat. Perkembangan tanaman jati di Jawa di luar kawasan hutan milik Perhutani terutama didorong banyaknya hasil pembibitan dengan teknik tissue-culture dari pohon jati plus atau dari pohon yang memiliki fenotif bagus dengan berbagai merek dagang seperti Jati Mas, Jati Unggul, Jati Super dsb. Jati ini dipanen saat berumur 10 tahun, dan dengan teknologi pewarnaan nampak seperti kayu jati tua, tetapi ternyata harga jatinya tetap rendah karena memang kualitas jati muda. Dalam hal ini teknologi telah mendorong sisi produksi, tapi tidak terhadap selera pasar.

 

Kehutanan Berbasis Masyarakat Periode 2021 Ke Depan

Banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pengembangan UKBM ke depan, dimana sebagian adalah factor-faktor lama yang masih belum menemukan jalan keluarnya, ditambah dengan munculnya hal-hal baru yang mungkin akan dapat mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung terhadap pembangunan UKBM tersebut.

  1. Faktor-faktor tradisional antara lain masalah faktor produksi (on-farm factors) seperti persoalan kualitas bibit tanaman, lahan, keterbatasan modal. Sementara factor off-farm antara lain masalah pasar seperti jumlah permintaan, frekuensi permintaan, harga yang diterima petani hutan atau operator UKBM. Masalah pasar, seringkali menjadi bottle neck dari upaya pengembangan produk baru untuk UKBM. Misalnya pengembangan asap cair, jamur dan produk teknologi hasil litbang yang sesuai untuk usaha berskala kecil seringkali mandeg karena ketiadaan pasar.
  2. UU Cipta Kerja yang bertujuan mempercepat investasi dan peluang kerja bisa saja bias terhadap operator besar mengingat kemampuan beradaptasi operator besar umumnya lebih tinggi dari pada kelompok UKBM. Tentu saja belum ada fakta empiris tentang hal ini sehingga pendampingan keberpihakan dan sekaligus penelitian ke arah tersebut amat diperlukan.
  3. Kebijakan multi usaha. Pemerintah dalam rangka mengoptimalkan pengelolaan hutan merilis kebijakan yang memberikan keleluasaan bagi pengusaha IUPHHK untuk tidak saja berfokus pada produksi kayu, tetapi boleh mengusahakan produk non kayu, pangan dan jasa lingkungan pada kawasan izinnya. Kebijakan ini bisa berdampak pada usaha kehutanan skala kecil atau UKBM misalnya persaingan dalam memproduksi kayu berumur pendek (fast growing species) yang saat ini banyak ditanam pada kegiatan UKBM.
  4. Kebijakan untuk mendorong food estate. Upaya untuk mendorong ketahanan pangan melalui peningkatan produksi pangan dari kawasan hutan bisa menjadi komplementer dari produk pangan yang dihasilkan oleh UKBM yang menerapkan pola agroforestri, akan tetapi mungkin saja menjadi kompetitor kalau produknya dilempar ke segmen pasar yang sama. Oleh karena itu pengembangan pasar dan spesialisasi pasar amat diperlukan.
  5. Pasar karbon. Ke depan pasar karbon akan membuka peluang bagi UKBM untuk dijadikan alternative sumber pendapatan yang bersifat temporer, artinya dalam masa tertentu seperti masa daur sebelum dipanen dimanfaatkan karbonnya.
  6. Jasa lingkungan dan ekoturisme. Kesadaran masyarakat terhadap nilai estetika dan amenities cenderung meningkat akibat perbaikan tingkat pendapatan serta adanya perubahan pereferensi terutama pada kalangan kaum milenial yang lebih menyukai leisure dari pada belanja barang. Hal ini akan berpengaruh positif terhadap permintaan rekreasi dan ekoturisme. Keadaan ini membuka peluang bagi UKBM dengan sedikit upaya melakukan pemolesan lahan UKBM-nya sekaligus menjadi destinasi wisata kehutanan sebagaimana kegiatan wisata pertanian (agro-tourism) yang sempat penulis lihat di Taiwan pada awal tahun 1994 atau yang sekarang banyak berkembang di daerah Yogyakarta dan daerah-daerah lain di Jawa khususnya. Kesukaan para milenial untuk berselfie ria menjadi peluang dimasa depan yang dekat ini.

 

Peran Penelitian Dalam Pengembangan Usaha Kehutanan Berbasis Masyarakat

UKBM pada dasarnya merupakan kegiatan bisnis kehutanan yang penting dari dua aspek. Pertama dari sisi peran sosial ekonomi sebagai sumber pendapatan masyarakat, dan kedua dari sisi lingkungan karena perannya sebagai kawasan yang memiliki fungsi lindung lingkungan terutama pada lahan-lahan yang terletak pada kawasan yang berfungsi lindung. Namun demikian UKBM masih menghadapi kendala yang memerlukan sentuhan penelitian untuk untuk mencapai optimalisasi usaha ekonomi tersebut. Dari uraian ringkas sebelumnya, ada beberapa topik penelitian yang mungkin perlu diperhatikan antara lain adalah:

  1. Banyak kegiatan UKBM lebih merespon terhadap sinyal pasar seperti kasus penanaman sengon dan jati di Jawa. Namun hal ini memerlukan dukungan pihak lain terutama pemerintah melalui kebijakan-kebijakannya. Oleh karena itu pertanyaannya adalah bagaimanakah bentuk intervensi pemerintah yang optimal (an optimal intervention) dalam mendukung kemajuan UKBM ini?
  2. Permodalan selalu menjadi masalah bagi usaha kecil dengan segala keterbatasannya dalam mengkases sumber modal ini. Oleh karena itu kajian tentang kelembagaan dan strategi bantuan modal bagi UKBM termasuk bentuk kelembagaan keuangan seperti apa yang memungkinkan usaha masyarakat ini dapat lebih berkembang kedepan.
  3. Pasar selalu menjadi ganjalan dalam pengembangan usaha masyarakat ini. Maka penelitian dari sisi pengembangan pasar akan sangat diperlukan mencakup tentang preferensi dan kebijakan penerapan teknologi dalam pengembangan produk (product development).
  4. UKBM pada umumnya rentan terhadap persaingan akses terhadap faktor produksi, penetrasi pasar, proses industrialisasi, dimana umumnya marjin profit lebih mudah diraih oleh sektor pengolahan dari pada sektor hulu. Oleh karena itu kajian subsector (sub-sector analysis) usaha kehutanan penting untuk melihat peran UKBM dalam industri beserta kekuatan dan kelemahannya, demikian pula bentuk intervensi yang dibutuhkan.
  5. Keberlanjutan UKBM seringkali tergantung pada alternative ekonomi yang lebih menjanjikan dalam memanfaatkan lahan milik, dari segi supply kayu amat penting untuk menghindari disrupsi supply kayu secara lokal dan nasional. Oleh karena itu, perlu dilakukan Penelitian Dampak Ekonomi Kegiatan Kehutanan Masyarakat Terhadap Tingkat Kesejahteraan Petani Hutan dan Sustainability UKBM.

Penutup

Pada periode 1990-an s/d 2020 UKBM dicirikan oleh menanam pohon sebagai saving account, tanpa input manajemen, mengikuti program2 pemerintah, namun ada pula yang sudah merespon pasar. Dalam Periode 2021 ke depan terdapat banyak faktor yang harus diperhatikan untuk mengembangkan UKBM seperti kendala tradisional (kualitas bibit tanaman, lahan, keterbatasan modal, pasar dan harga jual produk), kemampuan beradaptasi terhadap perubahan kebijakan, daya saing dengan produk serupa, kreatifitas memoles lahan UKBM menjadi destinasi wisata, serta perlu dukungan penelitian kebijakan, kelembagaan permodalan, pengembangan produk, rantai nilai produk, serta manfaat ekonominya.