Panen raya padi yang terjadi ternyata tidak membuat serapan beras Perum Bulog melonjak. Bahkan, gudang-gudang Bulog lebih banyak menampung beras impor, yang sampai Maret 2016 sudah terealisasi 1,5 juta ton. Beras lokal? Sampai akhir April 2016 baru terserap 856.000 ton.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman kembali menyuarakan optimismenya bahwa produksi beras melimpah. Bahkan, saat panen raya di Desa Balirejo, Kecamatan Ankonang, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, Rabu (4/5/2016), Amran menyebut stok beras di gudang Bulog sudah lebih dari 2 juta ton. “Itu baru satu bulan, masih ada masa panen satu bulan lagi,” ujar Amran.
Mentan benar. Hanya saja, apakah beras 2 juta ton lebih di gudang Perum Bulog itu beras lokal? Tidak, ternyata. Mayoritas justru berasal dari petani asing alias beras impor! Tidak percaya? Simak penjelasan Direktur Pengadaan Bulog, Wahyu. “Sampai akhir April, beras yang diserap Bulog mencapai 856.000 ton. Alasan klise, pengadaan Bulog rendah karena harga gabah di tingkat petani di atas HPP,” papar Wahyu.
Lalu, dari mana sisa jutaan ton beras lainnya? Wahyu mengaku, per akhir Maret 2016 pihaknya sudah selesai menuntaskan izin impor yang diberikan pemerintah pada 2015 sebanyak 1,5 juta ton. Nah, jika serapan lokal ditambah dengan serapan impor, maka tidak aneh jika di gudang Bulog pun kini tersedia lebih dari 2 juta ton beras.
Persoalannya, tahun ini Bulog mendapat tugas harus menyerap beras/gabah petani sebanyak 4 juta ton. Sanggupkah Bulog menyerap sisa gabah/beras petani minimal 1,5 juta ton lagi dari target yang sudah terealisasi 856.000 ton? Berat, memang. Apalagi, Bulog tidak bisa asal serap beras/gabah. “Mandat kami beli gabah jika harga di tingkat petani di bawah HPP,” tegas Wahyu.
Asal tahu, dengan kondisi panen raya saat ini saja, harga gabah petani masih di atas harga pembelian pemerintah (HPP). Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengkonfirmasi hal itu. Rata-rata harga gabah kering panen (GKP) kualitas terendah di tingkat petani saja (dengan kadar air lebih dari 25% dan kadar hampa di atas 10%) selama Maret-April sebesar Rp3.794,05/kg dan Rp3.708,85/kg. Angka itu masih di atas HPP GKP yang dipatok Rp3.700/kg.
Kondisi ini semua terjadi akibat data produksi padi yang keliru. “Saya sudah ingatkan sejak awal 2015, tapi pemerintah tetap ngotot produksi surplus dan tidak mau impor, meski ada El Nino. Data BPS juga bohong karena 75% berasal dari Kementan dan jajaran di bawahnya,” ujar guru besar Fakultas Pertanian IPB, Dwi Andreas Santosa. Kalau sudah begini, jangankan bicara swasembada, untuk menstabilkan harga beras pun menjadi berat. AI