Berburu Rente Impor Gula

Kebijakan impor gula kembali menuai protes petani tebu. Apalagi, impor raw sugar (gula mentah), yang akan dijadikan gula kristal putih (GKP), dilakukan melampaui kebutuhan konsumsi nasional sesuai angka taksasi produksi 2018. Aksi berburu rente (rent seeker) lebih dominan?

Setelah kasus impor beras yang kurang transparan dan mengejutkan, kini kebijakan impor gula juga sama kisruhnya. Dengan dalih produksi gula konsumsi (gula kristal putih atau GKP) hanya 2,2 juta ton, sementara konsumsi sekitar 2,9 juta ton atau defisit 700.000 ton, pemerintah malah membuka kran impor gula mentah (raw sugar) 1,1 juta ton atau setara 1 juta ton GKP.

Keputusan itu dibuat lewat rapat koordinas terbatas (Rakortas) dan telah ditindaklanjuti Kementerian Perdagangan menerbitkan surat perizinan impor (SPI) yang dibagi habis kepada produsen gula BUMN dan Perum Bulog. BUMN yang dimaksud adalah tiga anak perusahaan PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), tujuh BUMN industri gula, yakni tiga anak perusahaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN), PTPN X, XI, dan XII, serta PT Gendhis Multi Manis (GMM).

Kebijakan ini yang membuat marah Andalan Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI). Pasalnya, volume impor yang diberikan terlalu besar dan membuat harga gula petani makin terpuruk. Berdasarkan catatan APTRI, gula konsumsi 2018 bakal surplus 2,4 juta ton. Hitungannya, sisa stok gula 2017 ada 1 juta ton, rembesan gula rafinasi 800.000 ton, produksi GKP 2018 sebanyak 2,1 juta ton, plus impor 1,2 juta ton. Total ada 5,1 juta ton. Sementara konsumsi sendiri hanya 2,7 juta ton.

“Stok sebanyak itu masih berlebih untuk menutupi kebutuhan GKP dalam lima bulan pertama 2019 (sebelum masuk musim giling pada Mei), yang uumlahnya sekitar 1 juta ton,” ujar Ketua Umum APTRI, Soemitro Samadikoen, Jumat (26/10/2018).

Itu sebabnya, izin impor raw sugar yang dibuka pemerintah di saat musim giling sekarang ini langsung merugikan petani. Mereka melepas gula seharga Rp9.000/kg, sementara biaya produksi Rp10.600-Rp11.000/kg. Menurut Soemitro, kerugian petani tebu tahun 2018 mencapai Rp2 triliun, dengan asumsi rugi Rp2.000/kg dikali stok 1 juta ton petani.

Sayangnya, Kementerian Pertanian yang hadir dalam Rakortas tak pernah terdengar menentang. Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Kementan, Agus Wahyudi hanya menyebut impor belum direalisasi menunggu kondisi di lapangan. “Direalisasikan berdasarkan kondisi lapangan. Memang putusannya impor 1 juta, tapi belum ada realisasi,” kilah Agus saat dihubungi Sabtu (27/10/2018).

Menurut Direktur Eksekutif Indef, Enny Sri Hartati, terjadinya perbedaan data antara Kementan dengan Kemendag membuka lebar peluang impor. Apalagi, ada perbedaan yang jauh antara harga dalam dan luar negeri. “Disparitas yang terlalu jauh inilah, maka muncul perburuan rente ekonomi,” ujar Enny. AI