Ervan Sholeh Hantara lulusan teknik sipil, pernah kerja di proyek besar Surabaya, dan juga menangani limbah, water treatment. Dulu fokus proyek bangunan dan pengolahan limbah padat dan cair, limbah RS, limbah rumah tangga dan perkantoran. Sangat prospek tapi saat krismon, pekerjaan besar tersebut terpaksa dilepas. Kembali ke Yogya, mulai lagi dari nol, jatuh bangun untuk mencukupi kebutuhan hidup, kerja serabutan dan menggeluti lagi burung yang disukainya sejak kecil, Merpati.
Tidak ada yang menyangka, dari hobi burung merpati akhirnya menjadi penangkar burung terkenal, dan membalikkan lagi hidupnya jadi orang sukses, usaha penangkarannya makin berkembang pesat. Tidak tanggung-tanggung, rumah, mobil dan Joglo bisa dibangun dari burung kesukaannya. Bahkan sekarang Ervan yang akrab dipanggil Pawiro menjadi orang yang disegani karena bisa mengidentifikasi dan melestarikan kembali burung lokal yang nyaris punah.
Banyak undangan sebagai narasumber dan pelatih datang padanya. Dengan bendera Pawiro Bird Farm Jogja, di Jl. Manding Kidul Jl Gandekan Rt. 03 Gandikan, Trirenggo, Bantul, DIY, Ervan mengembangkan penangkaran dan usaha burungnya. Bagaimana kiprah Ervan, berikut hasil pertikan wawancara Agro Indonesia:
Banyak burung, kenapa milih merpati?
Sebetulnya burung lain juga suka, kalau merpati itu memang hobi dari kecil. Kalau merpati hias mulai tahun 2009. Mulai saya giatkan lagi merpati hias dan lokal.
Bapak dikenal sebagai perintis, mengangkat dan melestarikan merpati lokal, khususanya Yogya?
Waktu saya giatkan kembali merpati lokal dan hias, hampir bareng, selang beberapa bulan merpati hias ramai. Saya kuatir kalau merpati lokal itu jadi hilang. Sebelum temen-temen mengenal merpati, sebelum ramai merpati hias, saya meramaikan merpati lokal. Jadi memang misinya biar merpati lokal dikenal, tidak cuma merpati import. Salah satu caranya dengan ikut kontes. Jadi mengawali seperti kemarin, dikonteskan bersama merpati hias. Setelah kontes bisa dikenal, itu akhirnya kan bisa dieekspor. Sekarang, merpati lokal sudah dikenal masyarakat, sudah ramai. Harga jualnya juga sudah meningkat dan taraf hidup peternaknya ikut meningkat. Tinggal satu lagi kalau bisa dikenal sampai keluar negeri, tingkat dunia. Di kelas dunia ada organisasinya dan semoga nanti merpati lokal ini mendapat registrasi disana.
Ada berapa jenis merpati lokal yang sudah teridentifikasi?
Ada sekitar 16 jenis. Sebenarnya masih ada yang lain, tapi yang sudah teridentifikasi sekitar 16 jenisan; Jawa Sungut, Kucir Iplik/Merpati Kupu Kupu, Krey, Brongsong, Keter, Bangged, Songkop/Dasi, Wulung, Pajer, Brues, Melati, Jebun, Tapel, Kotang.
Bapak punya berapa jenis?
Kalau sekarang sekitar 10 jenis. Untuk jumlah burungnya ada 1000 an burung hias dan endemik.
Untuk identifikasi bapak lakukan sendiri, keliling Indonesia?
Ya itu saya lakukan sendiri dengan dana sendiri. Tidak keliling Indonesia, tapi wilayah Jawa, terutama Jatim. Karena burung-burung ini banyaknya di Yogya, Jatim, Jateng.
Berarti bisa dibilang endemik ini masih yang seputaran Jawa belum yang di luar Jawa?
Ya. Kalau saya telaah, merpati terkait peradaban yang ada jaman dulu. Burung merpati banyak digunakan sebagai sarana di kerajaan Jawa. Mungkin di luar Jawa tidak ditemukan atau budayanya beda. Ada yang digunakan untuk mengirim pesan. Ada yang mengatakan sebagai tolak bala, anti santet, ada juga yang mengatakan sebagai simbol, atau upacara-upacara tertentu. Misal ada pasok blondong pengareng areng, mau kirim upeti, yang banyak dengan rombongan ratusan orang, yang membawa. Juga untuk mengirim pesan kalau terjadi pageblug, gagal panen, terjadi gangguan keamanan, terjadi pemberontakan, minta bantuan dari kraton, dll.
Merpati juga digunakan untuk upacara bersih dusun, tertib dusun. Seperti yang saat ini masih digunakan di Gamping, upacara Bekakak pada bulan Sapar (kalender Jawa), ngumbulke doro (terbangkan merpati). Itu sebagai simbol atau tanda bahwa masyarakat disana untuk ikut berpartisipasi disamping itu menandakan acara sudah dimulai. Juga ada faktor lain seperti ritual, dilepaskan doro.
Jo Sungut seperti merpati pos?
Ya seperti merpati pos, cuma ini sifatnya jowonan dan tidak sehebat merpati pos. Nah ini kendala, kenapa merpati jo sungut tidak sehebat merpati pos sampai sekarang. Ini sebetulnya jawaban ada pada diri kita. Sebetulnya merpati Indonesia itu ada yang homingnya kuat yaitu merpati Jo Sungut. Cuma waktu itu tidak kita breeding, tidak kita seleksi, untuk menghasilkan burung-burung yang bagus. Malah burung yang bagus ini sering dijual murah dibeleh sama penjualnya masuk ke pemotongan. Penghargaan kita terhadap merpati yang seperti itu belum paham. Doro angel diomahke, beleh sisan, rampung (merpati sulit dipelihara, potong sekalian, selesai.). Padahal itukan bibit bagus. Untuk yang buat ritual-ritual tadi. Maka dari itu kenapa merpati jo sungut tidak sehebat merpati pos yang homingnya kuat. Ya karena bibit unggulnya ditumpas dan tidak ada lomba seperti merpati pos. Kalau merpati pos kan memang international, dan karena tingkat Internasional, lombanya ada dimana-mana, akhirnya berkembang sampai sekarang. Kecepatannya berkembang, intelegensinya, kecerdasannya juga berkembang. Kalau merpati jo sungut sekarang ini baru proses, mengembalikan, mengembangkan originalnya seperti apa. Tidak semua merpati jo sungut bisa terbang malam. Tidak semua merpati jo sungut homingnya kuat. Jadi kita memilih yang bodinya memang bagus, katurangganya juga bagus dan otaknya juga bagus. Masuk ke program melestarikan mencari keunggulannya.
Waktu merintis ada masalah?
Banyak namanya inisiator pasti ada reaktor. Banyak orang bereaksi terhadap kita. Pertama itu merpati tidak diakui di Indonesia, dalam arti diklaim dari luar, dari merpati yang diimpor ke Indonesia. Itu terbantahkan. Saya membantahnya begini, merpati di seluruh dunia tidak ada yang sama dengan merpati di Indonesia. Kalaupun ada, perkembangannya harusnya lebih maju. Karena merpati hias sendiri kualitasnya jauh lebih maju dibandingkan yang ada di Indonesia. Beberapa jenis merpati bentuknya sama, mirip, tapi beda jauh. Seperti ada merpati Belanda mirip Pajer. Yang dari Bangladesh juga mirip Krey tapi jauh beda, beda bentuk, beda rasnya juga. Lalu kalau memang import berarti ada datanya. Apa dibawa penjajah, dibawa pendatang, sejak kapan jenis-jenis yang banyak itu ada di Indonesia, dideteksi, tapi tidak ada data. Ketika tidak terdeteksi apa salahnya kita klaim dari negeri kita sendiri. Daripada nanti seperti batik, keris, diklaim Malaysia. Bisa jugakan kalau ini tidak kita klaim, lama-lama di klaim pihak lain atau negara lain. Kita klaim sekarang, tidak masalah, karena kita temukan di Indonesia.
Kedua di lecehkan, merpati endemik waktu itu dianggap merpati murahan. Merpati belehan (merpati potong) yang benar-benar tidak dihargai sama peternaknya sendiri, sama warga kita sendiri. Jumlahnya itu banyak dan hampir punah ketika masuk ke pemotongan. Waktu itu teman-teman masih suka merpati tinggian. Merpati lokal banyak kelemahannya tidak sesuai yang mereka inginkan. Tapi itu memang seperti itu adanya. Dikatakan doro belehanlah, doro cemungut. macem-macem yang merendahkan merpati lokal. Saya jadikan itu power, saya semakin semangat mengenalkan merpati lokal, merintis dari kontes ke kontes juga melalui media. Saat kontes juga dipertanyakan, dikonteskan bingung apanya yang dinilai. Saya maju terus, yang dinilai ya katurangganya pasti ada bedanya dengan merpati lain. Bisa membedakan ini merpati baik dan buruk itu kan karena ada bedanya. Waktu tahun 2012 saya jadi ketua cabang Indonesia Fancy Pigeon Community (IFPC) Yogyakarta, saya perjuangkan ikut kontes. Turun kontes pertama kali ikut kontes di Yogya dengan merpati hias. Akhirnya merpati lokal ini lambat laun dikenal. Bahkan harganya semakin naik. Dari harga Rp25 ribu sampai tembus Rp15 juta. Ada yang sampai transaksi sebesar itu. Kalau dulu tidak ada penghargaan, tidak ada harganya, dipandang sebelah mata. Sekarang sudah bernilai.
Masalah yang lain ekspor. Merpati ini dinginkan oleh orang-orang luar, cuma orang luar inginnya tidak banyak, hanya sepasang, 2 pasang, itu tidak cocok di harga jual dan di ongkos kirim. Juga kendala bahasa. Masalah saat mendata, karena saya lakukan dengan biaya sendiri sampai survey ke Jember, Tulungagung, Lumajang, Jawa Timur. Bikin artikel juga, terdata 14 jenis merpati lokal yang saya simpan dalam website saya. Mungkin bisa lebih dari itu, tetapi sebagian sudah sulit dicari. Yang ingin info jenis-jenis merpati lokal Indonesia bisa dilihat di website saya pawiro birdfarm.com
Kalau sekarang kendalanya orang bikin pakem sendiri-sendiri yang disuka. Sulit untuk disatukan standar kontesnya. Jadi kalau kontes bikin standar, teman lain tidak suka, tidak mau ikut. Jadi memang belum ada standar baku kontes merpati lokal. Karena memang belum diakui dunia. Jadi memang kontes standar biasa. Standar burung untuk kontes, standar burung yang bagus, sudah ada. Tapi belum semua mengakui. Sesuai selera pribadi, walaupun disatukan untuk satu misi ada, tapi masih sulit. Itu kendala untuk maju ke depan.
Kalau sekarang sudah berharga, dan prospek?
Ya sudah jadi, sudah ramai, dan trend lomba juga sudah jadi, sudah banyak lomba, sudah dikenal. Dari 2009-2011 sudah mulai dipilih-pilih. Tahun 2013 harganya sudah bagus, sudah naik. Dari harga Rp50-60 ribu/sepasang akhirnya rata-rata jadi Rp500 ribuan/sepasang. Dan harga itu bisa tembus sampai puluhan jutaan. Kalau bicara merpati, ini dimulai dari hobi, harga hobi sangat unik, tidak akan bisa menduga kisaran harga.
Kalau harga bisa setinggi itu, artinya bukan hanya sebagai klangenan untuk usaha juga sangat prospek?
Kalau bicara prospek kita harus tahu segmen, berarti kita harus main kualitas, kita harus main yang dibutuhkan. Kalau sekedar untuk seneng hiburan, lebih cenderung ke hobi. Kita berangkatnya memang untuk hobi walaupun endingnya untuk bisnis, tapi awalnya tetep hobi. Jadi ketika tidak laku tidak masalah. Misal burungnya banyak, burungnya jelek-jelek, tidak ada yang beli, tidak masalah karena niatnya hobi. Untuk burung-burung seperti ini, merpati seperti ini, itukan bukan untuk konsumsi, bukan hewan konsumsi yang dinilai atau diminati dagingnya untuk diterima atau ada pengepulnya. Jadi ini kan merpati dari hobi ke hobi. Bukan dari peternak ke pengepul, kemudian ada muaranya yang jelas hanya sebagai bahan konsumsi. Kebutuhan konsumsi atau kebutuhan penghobi itu tidak bisa di grafik yang sama. Kalau konsumsi kan kita tinggal ngitung, kebutuhan manusia makan merpati 1 tahunnya berapa ton atau berapa ekor, seperti makan ayam tiap hari berapa ekor yang dipotong itukan jelas. Tapi kalau kebutuhan hobi, kalau kita sudah seneng, selesai. Nanti kan tinggal mencetak yang bagus, dan kalau mencetak yang bagus, ada yang suka, ada yang ingin, terjadilah transaksi. Dan ini tidak bisa diratakan, tidak bisa dibuat grafik yang sama. Contoh kalau tren pas tanaman, tanaman semua. Kalau trendnya pas akik, akik semua, tren-nya louhan, louhan semua, trendnya merpati, merpati semua. Tetapi itu tidak menjadi kebutuhan pokok yang rutin yang dibutuhkan. Jadi kalau muaranya memang bisnis ke hobi ya semacam kolektor. Aku punya begini walaupun perawatan mahal, mau tak jual murah, ya terserah saya. Walaupun saya baru dapat kemarin sore, banyak yang suka, mau dibeli mahal, saya tidak boleh, ya tidak masalah.
Bisnis hobi itu bisnis yang ekslusif tidak bisa diprediksi. Dan memang orang-orang eklusif saja yang memang bisa punya pasar. Tidak seperti bisnisnya konsumsi yang semua orang bisa menikmati atau mencetak. Di bisnis hobis, tidak semua orang bisa mencetak dan tidak semua orang bisa menjual. Tidak punya client tidak punya bayer yang sesuai. tidak semua orang bisa disamaratakan Karena memang eksklusif, pembelinya eksklusif peternaknya juga eksklusif,
Harapan ke depan?
Merpati Jo Sungut, Iplik ini menjadi semacam budaya atau semacam yang di up kan lagi. Menjadi budaya jawa yang uri-uri lagi. Pemda, pemerintah silahkan mau mengapresiasi dalam bentuk apapun bebas. Mau dalam bentuk pelestariannya dalam bentuk festivalnya dalam bentuk lombanya atau dalam bentuk budaya-budaya lain atau suport ke peternak monggo. Untuk merpati wilayah Yogya seluruhnya merpati Iplik, Jo Sungut, bisa dilestarikan dikembangkan. Untuk Pemda Bantul, ada burung Puter Lumut, seyogyanya kalau itu sudah dicanangkan menjadi satwa Bantul, silahkan bagi peternak atau orang-orang yang berkiprah atau berkecimpung di pelestari Puter Lumut. Kita tidak berharap mendapat sebuah apresiasi, piagam atau sertifikat atau apa. Tapi kita berharap pemda bisa memfasilitasi kearah kemajuan yang lebih maju lagi. Misalnya ini menjadi suport kalau ini dilombakan. Nantikan tidak menutup kemungkinan seperti anggungan-anggungan lain, seperti Perkutut, Puter, Puter Lumut, Terkuku, juga bisa dilombakan. Itu bisa mengangkat peternak, sekaligus melestarikan burungnya.
Syukur-syukur ada penghargaan sendiri bagi peternak-peternak yang sudah sukses, breeding dapat fasilitas dalam bentuk uang tunai maupun kandang atau bentuk pembinaan lain, itu lebih seneng. Tapi kalau misal tidak bisa seperti itu, menjadi support atau penyelenggara event lomba juga bisa. Dengan menyelenggarakan lomba nanti bisa membuat peternak makin bergeliat dan nanti peternak yang sudah terdata sudah jelas menghasilkan, bisa dijatah masalah relesae. Tiap periode release berapa ekor, berapa pasang nanti dari pemdanya bisa dimananya dan itu jelas. Artinya jelas dilestarikan dalam artian nanti pengawasan pemda sendiri, teguran untuk pemburu dan penjaring dari hasil realse nanti ditindak tegas. Bukan dioyak-oyak. Setelah dilepas ada pengawasan yang jelas, atau bisa juga di pemda, di komplek perkantoran Bantul, ditempatkan beberapa pasang Puter Lumut, supaya orang juga tahu burung icon kabupatennya.
Visi misi?
Kalau kita yang penting berangkat dari hobi kita bisa bersinergi dengan semuanya. Hobi jadi ajang silaturahmi yang mendatangkan keuntungan, manfaat bagi penghobi, keluarga dan semuanya. Untuk keluarnya kita tetap ingin melestarikan budaya, satwa yang dulu jadi satwa icon, menjadi kebanggan masyarakat Yogya dan masyarakat Indonesia seluruhnya.
Anna Zulfiyah