
Corporate Affairs Director, Cargill Indonesia Arief Susanto menyatakan seluruh pemangku kepentingan, termasuk sektor swasta memiliki peranan penting dalam menemukan solusi untuk menjawab tantangan rantai pasokan pangan berkelnjutan.
“Kami bekerja sama dengan para petani, pemerintah, industri, pelanggan dan konsumen untuk membangun masa depan pangan yang lebih berkelanjutan. Melalui berbagai pengalaman kami yang dipadukan dengan teknologi baru serta wawasan terkini untuk menciptakan masa depan pangan yang aman, kami memenuhi kebutuhan industri pangan dan konsumen akan bahan pangan yang berkelanjutan, termasuk meningkatkan penelusuran serta transparansi rantai pasokan global,” kata dia dalam pernyataannya yang diterima, Kamis (9/5/2019).
Pernyataan tersebut merespons hasil penelitian Economist Intelligence Unit (EIU) yang memperlihatkan enam megatren yang dapat memengaruhi rantai pasokan makanan. Cargil mensponsori penelitian tersebut.
Penelitian bertajuk “From Farm to Fork” itu menunjukkan, terdapat enam megatren yang dapat memengaruhi kelangsungan rantai pasokan pangan, termasuk urbanisasi, demografi populasi penduduk desa yang menua, kelangkaan sumber daya pangan, integrasi rantai pasokan, ritel modern, stok pangan yang terbuang sebelum sampai ke tangan konsumen (food loss) dan sampah makanan (food waste).
Pengaruh urbanisasi pada kelangsungan rantai pasokan pangan juga terjadi di Indonesia, yang mengalami urbanisasi semakin cepat. Pada 2010, setengah dari total populasi tinggal di kota, bahkan menurut Bank Dunia, 68% populasi akan tinggal di kota pada 2025. Urbanisasi menjadikan pola makan masyarakat makin beragam dan butuh sumber daya pangan lebih besar, terutama ketika mengkonsumsi daging. Sementara itu, perekonomian Indonesia semakin jauh bergeser dari ekonomi agraria karena lapangan pekerjaan pedesaan makin tergeser oleh perkotaan.
Penyediaan infrastruktur yang memadai juga merupakan tantangan bagi rantai pasokan pangan di Indonesia. Berdasarkan hasil studi EIU, infrastruktur yang kurang memadai menyulitkan distribusi dan penyimpanan stok pangan sehingga memicu biaya lebih besar sekaligus memperbesar jumlah stok pangan yang terbuang sebelum sampai ke tangan konsumen (food loss) maupun sampah makanan (food waste).
Di Indonesia, sebagai contoh, terdapat perbedaan harga yang cukup signifikan antara daerah penghasil beras dan daerah yang membutuhkan beras karena infrastruktur yang kurang memadai, keamanan distribusi stok pangan dan topografi. Para pakar mencatat bahwa aktivitas perdagangan dan distribusi pangan dari daerah menjadi tidak efisien jika jaringan transportasi dan kapasitas pelabuhan tidak memadai serta ketiadaan fasilitas penyimpanan. Sugiharto