Oleh: Solikin (Peneliti pada Pusat Riset Ekologi dan Etnobiologi, BRIN)
Keanekaragaman pangan sangat penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dalam mendukung ketahanan pangan nasional. Berdasarkan UU No 18 tahun 2012 tentang pangan , ketahanan pangan adalah suatu kondisi dimana setiap orang sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari. Peranan pemerintah dan masyarakat sangat diperlukan dalam mewujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan.
Kebutuhan pangan nasional terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah dan kebutuhan penduduk. Indikator untuk mengukur ketahanan pangan suatu negara dalam mencukupi warganya adalah kecilnya jumlah penduduk yang mengalami kelaparan. Menurut Conway (1997) seseorang digolongkan menderita kelaparan jika konsumsi kalori setiap hari kurang 2200 kalori. Bertambahnya jumlah penduduk dan mulai bergesernya konsumsi masyarakat dari non beras ke beras akan menjadi salah satu ancaman ketahanan pangan. Untuk mendukung ketahanan pangan nasional, penganekaragaman jenis pangan seperti jagung, ubi-ubian dan bahan pangan lain perlu digalakkan.
Indonesia memiliki beragam jenis tumbuhan berpotensi pangan baik berupa ubi-ubian, biji-bijian, sayuran dan buah-buahan. Dioscorea yang dikenal dengan uwi-uwian atau gadung-gadungan termasuk ubi-ubian berpotensi bahan pangan yang cocok dikembangkan di Indoesia. Jenis tanaman ini masih sering dijumpai tumbuh liar atau dibudidayakan penduduk di beberapa daerah di Indonesia, terutama di pedesaan. Walaupun demikian pembudidayaan dan pengembangannya belum dilakukan secara luas di Indonesia. Berdasarkan laporan dari dari Kementerian Pertanian menyebutkan bahwa sentra penanaman uwi terdapat di Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi, dan Maluku. Beberapa negara di Afrika telah membudidayakan dan mengebangkan ubi-ubian secara intensif, bahkan Ghana telah menjadikan komoditi ekspor ke negara tetangganya
Ubi Dioscorea mengandung nilai gizi yang tinggi dan merupakan sumber protein, serat dan mineral yang penting, selain karbohidrat. Ubi Dioscorea juga sangat baik digunakan sebagai makanan bagi penderita diabetes karena memiliki indeks glikemik yang rendah yaitu sekitar 5.1 dibanding nasi dan kentang yang masing-masing memiliki indeks glikemik 72 dan 54. Ubi Dioscorea mengandung karbohidrat 15-25 %, protein 1-2,5 % dan lemak 0,05-0,25%, kalsium 10-62 mg, fosfor 35-53 mg, besi 0,3-1,0 mg, 0,10 mg thiamin, 0,01 mg riboflavin, 0,8 mg niacin dan 10- 15 mg asam askorbat. Kandungan protein ubi gembili (Dioscorea esculenta)dapat mencapai 5.57%.
Ubi Dioscorea juga berpotensi untuk digunakan sebagai bahan pangan olahan lain, seperti yang pernah dilakukan oleh siswa SMKN 3 Malang yang mengolah ubi ‘gembili’ (D. esculenta) menjadi pizza gembili yang lezat. Tepung ‘uwi’ (D. Alata) juga dapat diolah menjadi beragam jenis produk pangan olahan diantaranya sebagai mie, kue kering, cake, bolu kukus, ice cream dan jajanan tradisional lainnya. Peneliti dari BRIN (Fauziah) telah berhasil mengolah tepung uwi (D. alata) menjadi aneka kue seperti kroket, gethuk dan kue lumpur. Produk olahan dari ubi Dioscorea yang paling populer hingga saat ini adalah kripik gadung (D. hispida). Keripik gadung yang renyah memiliki rasa enak dan khas gadung. Kripik ini banyak dijual di pasaran baik dalam bentuk olahan mentah atau dalam bentuk keripik yang sudah dikemas. Yang perlu diketahui bahwa keripik gadung baru bisa dikonsumsi setelah melalui proses pembuangan racun yang terkandung di dalam ubi. Ubi gadung mengandung alkaloid dioscorin (C13H19O2N) yang berwarna kuning dengan titik cair 43,5 oC. Senyawa ini dapat menyebabkan kelumpuhan saraf pusat dengan gejala pusing-pusing, panas, badan terasa lemah dan mengantuk jika tertelan. Oleh sebab itu ubi gadung sering digunakan penduduk di sekitar kawasan hutan pada masa silam untuk berburu binatang seperti babi hutan dan kera. Ubi gadung juga berpotensi sebagai pestidida.
Untuk menghilangkan racun dioscorin dalam ubi gadung, secara tradisional masyarakat lokal mengiris ubi tipis-tipis setelah mengupas kulitnya, kemudian dilumuri dengan abu untuk mengeluarkan racun di dalam ubi dan dikeringkan di bawah terik matahari. Setelah itu dicuci dalam air mengalir beberapa kali untuk membersihkan abu dan racun. Irisan ubi yang telah bersih direndam dalam air selama 3-4 hari. Setelah proses ini,irisan ubi dibersihkan dan dikeringkan.Irisan ubi yang sudah kering sudah relatif aman untuk dikonsumsi baik digoreng sebagai keripik gadung atau dikukus dan dimakan sebagai pengganti nasi.
Yang harus diketahui tentang ubi dioscorea adalah jenis beracun dan tidak beracun jika langsung dimasak. Jenis ubi yang beracun jika langsung dikonsumsi adalah gadung (D. hispida). Sedangkan jenis- ubi yang tidak beracun, dapat dikonsumsi setelah dimasak adalah uwi (D. alata), gembili (D. esculenta) dan uwi katak (D. bulbifera). Ubi uwi dan gembili masih sering dijumpai dijual di pasar tradisional di pedesaan, sedangkan ubi gadung dijual di pasar dalam bentuk olahan keripik, baik mentah maupun yang sudah digoreng.
Keberadaan jenis Dioscorea saat ini semakin langka, dan hanya beberapa masyarakat di pedesaan saja yang masih membudidayakan jenis-jenis tertentu untuk dikonsumsi. Minimnya pengetahuan masyarakat tentang kandungan gizi Dioscorea serta hasil umbi Dioscorea yang belum diolah secara maksimal menyebabkan kurangnya minat masyarakat untuk mengkonsumsi jenis Dioscorea sebagai bahan pangan alternatif non beras. Sehingga hal ini menyebabkan keberadaan jenis Dioscorea semakin langka. Selain itu nilai jual yang masih rendah saat ini menyebabkan sebagian masyarakat semakin enggan untuk membudidayakan Dioscorea secara luas saat ini.
Ciri-ciri morfologi secara umum beberapa tanaman Dioscorea yang perlu diketahui untuk mengenal jenis tanamannya di lapangan :
- Uwi (Dioscorea alata)
Uwi memiliki nama lokal ‘huwi’ (Sunda), ‘ uwi’ (Jawa) ‘obi’ (Madura), ‘lame’ (Sulawesi), ‘ubi’ (Bali), ‘lutu’ (Banda), ‘ima’ (Ternate), ‘heli’ (Ambon), ‘same’ (Makassar dan Bugis), ‘palulu luwangu’ (Sumba). Dalam Bahasa Inggris, ubi ini disebut water yam. Jenis ini berasal dari daerah Asia Tropik seperti Assam, Bangladesh, Kalimantan, Kamboja, India, Jawa, Nusa Tenggara, Malaysia, Myanmar, Nepal, New Guinea, Filipina, Sulawesi, Sumatera, Thailan, dan Vietnam. Kemudian menyebar ke beberapa negara di Amerika latin, Afrika dan Australia.
Tanaman uwi tumbuh membelit batang berlawanan dengan arah jarum jam; batang muda bersegi empat, tepinya pipih dan tipis; daunnya tunggal berbentuk bulat telur, tidak berambut, dengan ujung runcing atau meruncing berwarna hijau atau hijau keunguan, tulang daun menjari, dan tangkai daun pada batang berhadapan, utama bagian tengah hingga ujung. Perbungaannya majemuk, bulir atau malai bulir yang muncul dari ketiak daun. Bunga jantan dan betina terletak pada tanaman yang berbeda. Buah yang dihasilkan dari bunga betina berbentuk kapsul pipih tiga; bijinya bersayap; buah pecah pada saat kering. Ubi banyak memiliki ragam bentuk dan warna seperti putih, oranye muda, krem dan ungu, putih berbercak ungu.
2. Gadung (D. hispida)
Gadung memiliki nama lokal ‘janèng’ (Aceh.),janiang (Minangkabau.), bitule (Gorontalo.), gadu (Bima.), gadung (Bali., Jawa, Betwawi, Sunda.), ghâddhung (Madura.) iwi (Sumba.), kapak (Sasak.), salapa (Bugis.) dan sikapa (Makassar). Dalam bahasa inggris dikenal dengan asiatic bitter yam. Tanaman gadung berasal dari Asia tropik dan Subtropik seperti Pulau Andaman, Assam, Bangladesh, Kepulauan Bismarck, Kalimantan , Kamboja, China Selatan, Hainan, India, Jawa, Nusa Tenggara, Malaysia, Maluku, Myanmar, Nepal, New Guinea, Filipina, Queensland, Sulawesi, Sumatera, Taiwan, Thailan, Tibet dan Vietnam. Tanaman gadung memiliki ciri batang membelit searah jarum jam, batangnya bulat, permukaannya, terutama yang bawah dan pangkal berduri; daunnya majemuk umumnya beranak daun tiga, permukaannya kasap, berambut, berbentuk lonjong, oval dengan ujung meruncing, tulang daun menjari. Bunganya majemuk, malai bulir, muncul dari ketiak daun. Bunga jantan dan Betina terletak pada tanaman yang berbeda. Buah yang dihasilkan dari bunga Betina berbentuk kapsul, pipih tiga dan pecah saat kering, biji pipih bersayap.
3. Gembili (D.esculenta)
Gembili memiliki nama lokal ‘huwi butul’ (Sunda), ‘gembili’, ‘sudo’(Jawa), ’kaburan’(madura)’. Biau (bali), sayawu (Manado). Dalam bahasa inggris dikenal dengan nama Lesser yam, Chinese yam, Asiatic yam.Tumbuhan semusim, batang membelit kekiri,
panjang 5-25 cm, bulat, berduri, permukaan berbulu halus, putih. Daun tunggal, berseling, bulat telur, panjang 6-17 cm, lebar 5- 16 cm, permukaan berbulu, ujung meruncing, dasar menjantung, tepi rata, tulang daun melengkung 9-13, panjang tangkai 5-15 cm. bunga jantan bulir, di ketiak daun, 1-3, panjang 12-55 cm, daun kelopak 3, daun mahkota 3, benangsari fertile 6. bunga betina bulir, di ketiak daun, sulit ditemukan. Umbi dalam tanah memiliki beragam bentuk, permukaan ditumbuhi rambut akar, warna kulit coklat kekuningan, daging kuning muda atau putih, jumlah 5-40, kekuningan, daging kuning muda atau putih, jumlah 5-40, bertangkai 5 – 20 cm, pada pangkal batang sering tumbuh akar duri, coklat, panjang 2-5 cm.