Oleh: Diah Suradiredja, Edo Ridha Hakim, Markum, Andi Pramaria dan Wiji J. Santoso (Penggiat Perhutanan Sosial)
Perkembangan sejarah tentang Perhutanan Sosial (PS), diawali dengan catatan adanya perubahan paradigma pengelolaan hutan dari pengelolaan hutan oleh negara (forest management by state) ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakat, yaitu pengelolaan hutan yang harus melibatkan dan mensejahterakan masyarakat sekitar hutan. Kebijakan tersebut, saat ini dikenal sebagai Hutan Kemasyarakatan (HKm). Hal mendasar yang diamanahkan dalam kebijakan HKm adalah Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm) berbentuk Izin Pemanfaatan HKm dan mewajibkan pemegang izin untuk menyusun Rencana Pemanfaatan yang dapat dinilai oleh pemerintah, lembaga kemasyarakatan lain dan masyarakat umum.
- Pada Tahun 1995, arah perubahan kebijakan tersebut dituangkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan (Kepmenhut) No 622/1995 tentang Pedoman HKm. Kebijakan itu pada dasarnya untuk mengakomodir masyarakat turut serta mengelola hutan sesuai dengan fungsinya pada hutan produksi dan hutan lindung. HKm masuk dalam program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) sehingga implikasinya diarahkan pada kawasan hutan dengan fungsi produksi dan lindung yang telah rusak, dan pemanfaatannya dibolehkan Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) untuk hutan produksi dan hanya Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) untuk HKm pada hutan lindung.
- Pada Tahun 1997, perbaikan kebijakan dilakukan melalui Kepmenhut dan Perkebunan No 677/1997 tentang HKm. Kepmenhut berintikan pada pengaturan pemberian akses kepada masyarakat melalui lembaga koperasi dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (HPHKm).
- Pada Tahun 1999, dengan ditetapkannya UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, maka Kepmen No 677/1997 disesuaikan menjadi Kepmenhut dan Perkebunan No 865/1999 tentang Penyempurnaan Kepmenhut dan Perkebunan No 677/1997 tentang HKm.
- Pada Tahun 2001, Kebijakan pengelolaan HKm mengalami perubahan yang ditetapkan melalui Kepmenhut No 31/2001 tentang Penyelenggaraan HKm (Kepmen 31/2001). Keputusan ini mengatur tentang penetapan wilayah pengelolaan HKm yang didasarkan pada hasil inventarisasi dan identifikasi oleh Pemerintah Kabupaten/Kota, yang meliputi sumber daya hutan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. Di samping itu, adanya penyiapan masyarakat dalam bentuk kelembagaan, aturan internal, aturan pengelolaan HKm, pengakuan masyarakat melalui Kepala Desa/Lurah, dan lain-lain. Perizinan juga mengalami perubahan dari Izin Pemanfaatan HKm menjadi Izin Kegiatan HKm yang diterbitkan oleh Bupati/Walikota setelah diterbitkan penetapan wilayah pengelolaan dari Menteri dan proses penyiapan masyarakat.
- Pada Tahun 2007, seiring terbitnya UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, maka Kepmen No 31/01 disesuaikan kembali, menjadi Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No P.37/2007 tentang HKm. Perubahan mendasar adalah tata cara penetapan areal kerja HKm; menempatkan peran pemerintah (UPT Dirjen RLPS) bersama eselon I dan Pemerintah Daerah dalam menentukan calon areal kerja HKm dan memfasilitasi permohonan masyarakat setempat; dan usulan Gubernur atau Bupati/Walikota dilakukan verifikasi oleh Tim yang dibentuk oleh Menteri. Peraturan P.37/2007 merupakan landasan bagi penyelenggaraan HKm yang cukup lama dipertahankan. Perubahan yang terjadi dalam peraturan ini, antara lain menyangkut tata cara penetapan areal kerja HKm yang diawali dari usulan masyarakat kepada Bupati/Walikota atau Gubernur. Bupati/Walikota atau Gubernur melakukan verifikasi menyangkut kesesuaian dengan rencana pengelolaan, hasil inventarisasi dengan data dasar masyarakat dan potensi kawasan. Selanjutnya, berdasarkan hasil verifikasi tersebut, Bupati/Walikota atau Gubernur mengusulkan penetapan areal kerja HKm kepada Menteri. Terhadap usulan Bupati/Walikota atau Gubernur tersebut, dilakukan verifikasi oleh Tim verifikasi yang dibentuk oleh Menteri. Tim verifikasi beranggotakan unsur eselon I lingkup Departemen Kehutanan dan Kepala Badan Planologi sebagai koordinator Tim verifikasi dengan fokus pada kepastian hak atau izin yang telah ada serta kesesuaian fungsi kawasan. Pada peraturan ini mulai dikenalkan Izin Usaha Pemanfaatan HKm (IUPHKm). Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan HKm, P.37/2007, mengalami beberapa perubahan melalui P.18/2009. Perubahan tersebut antara lain menempatkan Direktur Jenderal Rehabilitasi Hutan dan Perhutanan Sosial (RLPS) sebagai penanggung-jawab dalam verifikasi serta membagi Hak Pemegang IUPHKm berdasarkan fungsi hutan yang menjadi areal kerja HKm.
- Pada Tahun 2010, dengan adanya perubahan Peraturan Pemerintah No 6 Tahun 2007 melalui Peraturan Pemerintah No 3 Tahun 2008, serta untuk mempercepat penetapan areal kerja HKm, Pemerintah melakukan penyederhanaan prosedur permohonan usulan dan verifikasi dalam rangka penetapan areal kerja HKm, melalui Permenhut 13/2010 tentang Perubahan Kedua atas Permenhut Nomor P.37/2007 tentang HKm. Perubahan mendasar dalam peraturan ini adalah tata cara penetapan areal kerja HKm, dengan menempatkan peran pemerintah (UPT Dirjen RLPS) bersama eselon I dan Pemerintah Daerah menentukan calon areal kerja HKm dan memfasilitasi permohonan masyarakat setempat. Selanjutnya, berdasarkan usulan Gubernur atau Bupati/Walikota dilakukan verifikasi oleh Tim yang dibentuk oleh Menteri. Verifikasi dilakukan dengan cara mengonfirmasi kepada Gubernur atau Bupati/Walikota terhadap kepastian bebas hak atau izin, serta kesesuaian dengan fungsi kawasan. Melalui P.13/2010, Pemerintah mempercepat alokasi ruang bagi HKm dengan menentukan calon areal HKm dan memfasilitasi permohonan masyarakat setempat. Fokus utama dalam HKm melalui P.13/2010 adalah penentuan calon areal kerja HKm dan masih belum menyentuh pada kepastian pemohon. P.37/2007 kemudian mengalami perubahan melalui Permenhut No P.52/2011 tentang Perubahan Ketiga atas Permenhut Nomor P.37/2007 tentang HKm. Peraturan ini dimaksudkan untuk menjamin kepastian calon pemegang izin pada areal kerja HKm yang ditetapkan Menteri, dengan mencantumkan nama-nama pemohon yang diketahui oleh Camat dan/atau Kepala Desa Setempat.
- Pada Tahun 2014, Pemerintah mengganti ketentuan tentang HKm Permenhut No P.88/2014 tentang HKm. Peraturan ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum pada HKm, serta secara tegas mengupayakan adanya peluang lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan serta untuk menyelesaikan persoalan sosial. Proses penetapan areal kerja HKm mirip dengan P.52/2011 dengan mewajibkan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) untuk mencadangkan areal kerja HKm dengan mengacu pada peta indikatif arahan pemanfaatan hutan pada kawasan hutan produksi yang tidak dibebani izin untuk usaha pemanfaatan hasil hutan kayu. Di samping itu, P.88/2014 juga mengatur secara jelas pemanfaatan hasil hutan kayu pada HKm, dengan mengacu pada PP No 12 Tahun 2014 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Kehutanan.
- Pada Tahun 2016, perkembangan lain terjadi, dimana pada saat P.88/2014 diundangkan, telah diundangkan pula UU No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, yang antara lain menarik kewenangan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota ke Pemerintah Daerah Provinsi di bidang Kehutanan, Pertambangan, dan Perikanan, sehingga P.88/2014 tidak dapat diterapkan sepenuhnya dan mengalami perubahan mendasar, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No P.83/2016 tentang Perhutanan Sosial. Dalam P.83/2016, dijelaskan bahwa Skema Perhutanan Sosial meliputi Hutan Desa, HKm, Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Hak, Hutan Adat dan Kemitraan Kehutanan. Perhutanan sosial adalah sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam hutan Negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, HKm, Hutan Hak, Hutan Adat, dan Kemitraan Kehutanan. Peraturan ini mengamanatkan pemberian Hak Pengelolaan Hutan Desa (HPHD), Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) dan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Rakyat (IUPHHK HTR) dengan mengacu pada Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS). Penentuan PIAPS didasarkan atas hasil harmonisasi peta yang dimiliki Kementerian LHK dengan peta yang dimiliki LSM dan sumber-sumber lain, serta dikonsultasikan dengan pemerintah daerah provinsi, kabupaten/kota dan para pihak terkait. Hal yang menarik dalam peraturan ini adalah dimasukannya Rencana Pengelolaan Jangka Panjang KPH sebagai acuan dalam pemberian IUPHKm, serta adanya Pokja PPS (Kelompok Kerja Percepatan PS) untuk memverifikasi permohonan IUPHKm yang berada di luar kawasan PIAPS. Di samping itu, pemberian IUPHKm dilakukan oleh Menteri dan dapat dilakukan pendelegasian kepada Gubernur, jika perhutanan sosial dimasukan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) atau mempunyai Peraturan Gubernur mengenai Perhutanan Sosial dan mempunyai anggaran dalam APBD.
Dari catatan sejarah kebijakan pengelolaan hutan dan HKm, terlihat betapa jalan panjang menuju kepastian ruang kelola masyarakat menjadi seperti tarik ulur. Hal ini dapat dicermati dari kebijakan yang dikeluarkan Kementerian Kehutanan tentang obyek yang sama (HKm) yang dialokasi sebesar 2,5 juta hektare, yang berubah dalam waktu yang relatif cepat dan dialokasikan 12,7 juta hektare untuk PS. Perubahan kebijakan tersebut setidaknya sudah melalui enam periode Pemerintahan/Presiden dengan Sembilan menteri yang bertanggung jawab pada capaiannya.
Dengan demikian, HKm merupakan bagian dari perhutanan sosial dan tidak lagi diatur secara spesifik melalui peraturan tersendiri. Peraturan Menteri ini mempunyai warna yang sangat berbeda sebagaimana tertuang dalam maksud dan tujuan yaitu memberikan pedoman pemberian hak pengelolaan, perizinan, kemitraan dan hutan adat di bidang perhutanan sosial, dengan tujuan menyelesaikan permasalahan tenurial dan keadilan bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat, yang berada di dalam atau sekitar kawasan hutan, dalam rangka kesejahteraan masyarakat dan kelestarian fungsi hutan. Secara jelas peraturan ini ditujukan sebagai pedoman dalam menyelesaikan masalah tenurial secara adil bagi masyarakat setempat dan masyarakat hukum adat. Kesejahteraan masyarakat dan kelestarian fungsi kawasan hutan tetap menjadi perhatian utama dalam penyelesaian masalah tenurial.
Catatan pertinggal.
Keterbatasan akses bagi masyarakat, paling tidak disebabkan 2 hal utama, yaitu (1) regulasi yang mengatur akses masyarakat terhadap sumber daya hutan baru diawali tahun 1995, sejak adanya P.622/1995 tentang Pedoman HKm, (2) sosialisasi regulasi yang mengatur akses masyarakat, masih dilakukan secara terbatas pada petugas birokrasi dan belum menyentuh masyarakat sekitar hutan secara langsung. Sementara, regulasi terhadap pemanfaatan dan penggunaan hutan sudah berlangsung sejak tahun 1970, dalam bentuk Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan lain-lain.
Kenyataan di lapangan, tingkat kepemilikan lahan pertanian yang sempit (0,3 hektare) untuk menghidupi 4-5 orang anggota keluarga dirasa tidak mencukupi, sehingga diperlukan pengelolaan lahan bagi usaha tani yang lebih luas. Diperkirakan jumlah masyarakat miskin yang tinggal di sekitar hutan sebanyak ± 30% atau mencapai ± 235.974 jiwa, dan mempunyai kehidupan yang sangat tergantung dengan hasil hutan secara langsung. Kemiskinan masyarakat sekitar hutan cenderung mempunyai tingkat keparahan yang lebih tinggi, akibat terbatasnya berbagai macam akses seperti sarana dan prasarana komunikasi, kesehatan, pendidikan, infrastruktur, permodalan dan lain-lain sehingga informasi menjadi sangat terbatas dan akses pasar juga sangat terbatas. Akibatnya masyarakat sekitar hutan sulit keluar dari masalah kemiskinan. Hutan merupakan sumber daya penting bagi orang miskin dan mutlak diperlukan sebagai sumber pangan, bahan bangunan dan bahan lain bagi rumah tangga sekitar kawasan hutan.
Hasil nyata yang telah diterima oleh masyarakat melalui program HKm, adalah meningkatnya produksi HHBK, dimana setiap lokasi memiliki keragaman jenis produk tersendiri, menjadikan setiap lokasi memiliki produk unggulannya masing-masing.
Implementasi pengelolaan HHK dan HHBK tentu saja membutuhkan keseriusan dan perencanaan yang matang. Karena produk HHBK tidak hanya menjadi domain satu sektor saja, tetapi dalam pengembangannya memerlukan penanganan yang komprehensif, dari hulu sampai hilir, dan harus didukung oleh good will dari pemerintah pusat maupun provinsi dan kabupaten.
Hampir di semua lokasi HKm di Lombok, sarat ditemui berbagai komoditas HHBK antara lain: jenis buah-buahan, jenis MPTS atau tanaman serba guna (aren, kemiri), dan tanaman lainnya (kopi, empon-empon). Kesemua jenis tanaman tersebut memiliki nilai jual yang tinggi, dan petani dapat memanen secara berkesinambungan sepanjang musim, berdasarkan kategori mingguan, bulanan, musiman dan tahunan.
Secara umum luas lahan kelola HKm cukup bervariasi dengan kisaran 0,25-2,0 hektare . Luas lahan garapan tentunya berdampak terhadap pendapatan petani.Namun realitasnya semakin luas lahan garapan tidak menjamin pendapatan petani selalu lebih besar (Arya, 2014). Faktor utama yang mempengaruhi tingkat pendapatan petani adalah tingginya intensitas petani dalam mengelola lahan garapannya. Beberapa kasus ditemukan, bahwa petani yang memiliki lahan garapan di atas 1 hektare, tidak semua bisa dikerjakan dengan intensif, karena keterbatasan tenaga kerja.
Besaran penghasilan sangat ditentukan oleh jenis komoditas yang ditanam. Beberapa jenis komoditas yang memberikan nilai penghasilan signifikan untuk HHBK adalah: Durian, manggis, nangka, cokelat dan kopi. Tanaman non HHBK yang menjadi andalan petani adalah pisang dan pepaya. Di sini terlihat, sesungguhnya HKm telah membuktikan secara nyata bagaimana kontribusinya terhadap peningkatan penghasilan penduduk dan perubahan struktur sosial khususnya di sekitar kawasan hutan. Jika ditanyakan kepada para penduduk di sekitar kawasan hutan, apakah ada perubahan ekonomi masyarakat sebelum dan setelah adanya HKm, maka mereka akan serentak menjawab ada, dan bisa bercerita cukup panjang tentang perubahan tersebut. Salah satu perubahan nyata adalah, sebagian besar tenaga kerja penduduk sekarang ini sudah terserap untuk menggarap lahan di hutan.
Dampak pertambahan penduduk dan tingginya tuntutan ekonomi dan kebutuhan lain rumah tangga memicu peningkatan pemanfaatan hutan oleh masyarakat di sekitarnya dalam kurun tahun 1970-1990-an. Aktivitas warga di dalam dan di sekitar kawasan hutan yang dilakukan tanpa izin mengakibatkan tekanan terhadap sumberdaya hutan semakin meningkat. Kondisi ini terus berlangsung meskipun melalui TGHK pada tahun 1982 pemerintah telah mengubah status kawasan dari Hutan Produksi menjadi Hutan Lindung. Jika tidak ditangani dengan baik seiring waktu akan menimbulkan bencana kehancuran kawasan hutan dan kemiskinan masyarakat yang semakin parah.